Share

I Saed Lupyu
I Saed Lupyu
Penulis: Castortwelvy

Satu

Tidak siapa pun tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Satu minggu, satu bulan, satu tahun, atau bahkan satu detik kemudian adalah misteri.

Begitu juga dengan apa yang terjadi padaku. Aku tak pernah tahu bahwa aku akan mengenalmu. Tak pernah menyangka aku akan masuk ke dalam kehidupanmu. Tidak pernah sekali pun terpikirkan bahwa pada akhirnya, kau adalah milikku.

**

Satu.

Aku mengerjap dua kali. Mulutku membulat membentuk huruf O besar. Melongo! Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Ini benar-benar gawat! Ini bahaya.

Ada dua gadis berhijab yang sedang berdiri di depanku. Salah satunya memegang sebuah kertas formulir. Awalnya aku tak begitu tertarik untuk mengajak mereka mengobrol atau sekadar menyapa. Namun, ternyata, kedatangan mereka padaku lebih daripada itu, bahkan sukses memaksaku untuk mengutarakan semuanya, lebih dari sekadar sebuah sapaan.

Gadis berhijab yang sedang memegang kertas formulir itu mengatakan bahwa aku baru saja diikutsertakan dalam sebuah lomba antarkelas.

“Ya, kamu harus ikut. Bagiamanapun caranya.”

“Kok, bisa, sih main pilih begitu aja?” kataku kesal. Aku memarahi dua gadis yang sedang berdiri di depanku. Salah satu dari mereka yang wajahnya tampak mengerikan dengan senyum iblisnya menunjukan secarik kertas formulir yang di dalamnya terdapat namaku.

“Enggak ada pilihan lagi, Adis. Kamu mau, ya kelas kita dihukum karena enggak ada satu orang pun yang ikut lomba?” tanya gadis berhijab warna merah yang memiliki senyum iblis sambil menyerahkan formulirnya kepadaku.

“Tapi, kan enggak dadakan kayak begini juga. Kalian bahkan enggak tanya pendapatku dulu. Kalian enggak tanya aku siap apa enggak!” ucapku agak emosi. Mataku memelotot ke arah mereka, tapi dua gadis itu tampak tidak merasa bersalah sama sekali.

“Ya, itu, sih risiko kamu, ya! Aku juga udah tanya-tanya sama anak di kelas, kasih tahu sama semua orang siapa yang harus ikut lomba. Tapi, semuanya ngusulin kamu. Katanya, kamu bisa. Lagian, kan lombanya cuma pidato bahasa Inggris. Kamu pasti bisa. Oke?”

“Tapi---“

Gadis bernama Arrani itu menepuk pundakku sebelum aku sempat menyelesaikan penolakkanku, lalu melenggang meninggalkanku. Satu gadis lainnya tersenyum, kemudian mengikutinya di belakang.

“Oh, ya, kalau kamu sampai kalah, akan ada hukuman dari anak-anak kelas buatmu. Ahmad bilang, dia siap lakukan apa pun buat hukum kamu,” ucap Arrani sebelum benar-benar pergi meninggalkanku. Dia sempat tersenyum seperti iblis. Aku melongo sambil melihat dirinya yang kini berjalan memasuki area ruang guru.

Bencana! Ini benar-benar bencana. Apa yang harus kulakukan?

Lomba? Ah, yang benar saja! Kenapa mereka tidak menanyakan pendapatku dulu?

Aku tahu sekolah memang sedang mengadakan acara tahunan di akhir ajaran sekolah berupa ertandingan antarkelas. Beberapa kelas mengajukan perwakilan untuk mengikuti setiap lomba yang diadakan. Salah satunya, ya lomba pidato bahasa Inggris itu. Namun, ini ... mengejutkan! Aku bahkan tidak pernah berniat untuk mengikuti lomba apa pun sebelumnya. Tidak sama sekali.

Adiysta Adelio Cetta! Nama itu terpampang jelas di formulir, ditulis langsung oleh Arrani dengan bolpoin hitam. Lomba bahasa Inggris? Oh, mengerikan!

Aku menepuk jidat karena rasa pusing hinggap begitu saja di kepala. Tiba-tiba aku merasa mumet sendiri seperti benang kusut bergulung-gulung di dalam otak. Padahal, kan lombanya saja belum dimulai.

Aku buru-buru merogoh saku celana, mencari benda pipih di sana dan berusaha menghubungi salah satu temanku yang andal dalam masalah ini. Di saat-saat seperti ini, hanya dia yang bisa kumintai bantuan. Semoga saja.

Setelah mengetikkan namanya di buku telepon, kemudian kutekan tombol hijau, membuat sambungan menuliskan kata berdering, kemudian berubah menampilkan kata menghubungkan, beberapa detik kemudian orang itu  mengangkat sambungannya.

“Ya, Dis, ada apa?” tanyanya langsung. Rasanya lega seketika saat dia menjawab teleponku. Oh, Malaikatku.

“Aku butuh bantuanmu. Kamu di mana sekarang? Bisa datang ke kantin sekarang juga?” kataku langsung ke intinya. Dia berdeham sekali, kemudian menjawab iya. Aku mengangguk, lantas menutup sambungan dan bergegas menuju kantin sekarang juga.

**

Di saat-saat seperti ini, sekolah memang tidak begitu ramai, hanya ada beberapa anak yang ikut dalam lomba dan mereka yang menjadi penonton saja. Sisanya? Entahlah, mereka mungkin memilih untuk tidur di rumah ketimbang harus ikut bersorak-sorak, menghabiskan suara saja!

Seharusnya aku jadi salah satu dari anak yang tidak datang ke sekolah pagi ini, tidak usah ikut sorak-sorai menghabiskan suara, tapi karena ada perbaikan nilai yang harus kuselesaikan, mau tidak mau aku harus datang ke sekolah lagi. Nahasnya, nasib baik itu tak juga datang, bahkan nasib buruk yang terus-terusan datang padaku.

Ada tiga hal buruk yang datang menimpaku hari ini. Pertama, aku harus menyelesaikan tiga mata pelajaran yang nilainya masih jauh di bawah KKM, kedua aku mendapat kabar bahwa diriku diikutsertakan dalam lomba bahasa Inggris, dan hal buruk ketiga adalah akan ada hukuman jika aku kalah dalam lomba.

Hey, mereka menentukan seenaknya!

Sebelum pergi ke kantin, aku menyempatkan untuk ke kamar mandi. Aku harus merapikan penampilanku dulu yang acak-acakan. Semalam aku begadang, dan mataku terlihat menghitam, belum lagi wajahku yang berminyak mungkin akan membuat dia merasa ilfeel. Aku tidak mau hal itu terjadi.

Setelah sampai di kamar mandi, aku hanya membasuh wajahku agar terlihat lebih segar, setidaknya tidak seperti orang yang tidak mandi. Kelopak mataku terlihat kecil dan hitam. Pipiku akhir-akhir ini semakin melebar. Aku tembem!

Ayolah, Adis, kau masih kalah jauh jika ingin bersanding dengan orang itu. Kau perlu setidaknya dua puluh lima kali perawatan wajah dan berendam di kolam susu selama satu bulan agar bisa dikatakan seimbang dengannya. Wajahmu itu kumal, jerawatan, hitam. Sementara dia? Dia itu ... istimewa.

 “Aku pikir kamu enggak bakal ke Sekolah, Dis?” katanya sambil duduk di kursi saat kami sudah berada di kantin. Dia baru saja datang beberapa saat lalu. Aku yang lebih dulu sampai di kantin.

“Kalau aku jadi kamu, aku juga enggak bakal datang ke sini, Sae. Kamu enggak tahu bagaimana rasanya jadi aku yang low brain ini,” keluhku sambil terkekeh geli. Dia menggeleng, lalu tersenyum tipis. Senyum yang selalu sukses membuat gadis-gadis menjerit histeris.

“Remedial, ya?” tanyanya sambil menaikan alis mata, keningnya berkerut. Aku mengangguk. Dia tertawa setelahnya. Mungkin kata itu tidak pernah ada dalam kamusnya. Jadi, ketika mendengarnya dia merasa aneh.

“Kan, sudah aku bilang, kalau aku jadi kamu, aku enggak bakal datang ke sini. Rebahan di kasur lebih menyenangkan, Sae.”

Sae menggeleng sambil tersenyum, sebelum akhirnya dia menjawab,“Kamu saja yang enggak tahu, Adis. Aku juga ada, kok nilai yang harus diremedial. Mungkin menurutmu ini enggak masuk ke dalam hitungan remedial, tapi buatku nilai di bawah sembilan itu harus diperbaiki. Dua mata pelajaranku dapat nilai delapan puluh lima, dan itu harus diremedial,” katanya santai, seakan-akan itu bukan sesuatu yang aneh. Padahal, kan nilai di bawah sembilan yang dia maksud itu besar!

Aku menganggukkan kepala tanda mengerti, meskipun sebenarnya tidak benar-benar paham apa yang dia ceritakan dan tidak tahu harus bagaimana merespons. Sae mengembuskan napas pelan setelah panjang lebar bercerita.

“Terserah kamu saja, deh. Intinya aku butuh bantuan kamu sekarang,” kataku.

“Apa itu?” tanyanya. Aku terdiam beberapa jenak, menarik napas panjang, kemudian diembuskan perlahan sambil menatap matanya yang tampak hitam legam.

Sae itu sempurna. Dia tampan, cerdas, juga baik hati. Prestasinya dalam akademis dan non-akademis segudang. Dibandingkan denganku yang buluk dan kumal ini, aku tidak ada apa-apanya. Kami jelas-jelas jauh berbeda. Dia bagai piala emas yang ditaruh dalam kotak kaca dan diletakan di lemari, jauh dari jangkauan, sedangkan aku hanya celana dalam yang diletakan di atas karung ampar di pinggir jalan, dijual harga sepuluh ribu tiga biji. Namun, meski begitu, kami bisa menjadi sahabat dekat. Itulah alasanku meminta bantuannya.

Aku sebenarnya tidak tahu mengapa seorang Arsenio Saelandra Bahari mau berteman dengaku.

Seperti apa yang kukatakan tadi, prestasinya bukan hanya yang ada di sekolah, tapi juga sering mendapat berbagai penghargaan di luar sekolah. Sae juga ikut acara semacam bimbingan belajar. Kedua orangtuanya rela menghabiskan jutaan rupiah agar anaknya bisa mendapat pendidikan yang layak.

“Soal kegiatan belakangan ini,” kataku.

“Jadi, apa yang bisa aku bantu?” katanya sambil mengembangkan senyum. Kedua tangannya di taruh di meja. Dua matanya membulat sempurna ketika dia tersenyum. Bibirnya tebal. Namun, mungil, sangat cocok dengan wajahnya yang bulat. Rambutnya bertekstur ijuk, halus, dan terlihat merah karena terlalu banyak terpapar sinar matahari.

“Kelas kita ikut lomba pidato,” ucapku. “Kamu tahu soal itu, kan?”

“Ya, terus? Bagus, kan? Aku juga tadi lihat kelas kita lagi tanding voli, tuh.”

“Memang bagus, sih kalau dilihat dari sisi lain. Tapi, kalau dilihat dari sudut pandangku, itu enggak bagus sama sekali.” Aku menggerutu kesal. Sae tampak menahan senyumnya yang terus berkedut di ujung bibirnya.

“Jangan bilang kamu yang jadi perwakilannya? Serius kamu ikutan lomba pidato, Adis?” tebak Sae sambil mulai tertawa. Satu telunjuknya terarah padaku.  Dia tampak puas mengejek dan menertawakanku.

“Aish. Kamu sama nyebelinnya kayak mereka. Haduh.”

“Sori. Sori. Aku kaget aja, Adis. Memangnya kamu bisa?” tanya Sae menghentikan tawanya yang pecah.

“Karena itulah aku manggil kamu ke sini,” jawabku sambil mengembuskan napas pelan.

“Aku harus apa?”

“Bantu aku!”

“Caranya?”

“Bantu buatkan aku pidato bahasa Inggris! Ya?”

Dia tak menjawab. Wajahnya terlihat serius berpikir, dua bola matanya terarah ke atas, bibir mungil itu maju sedikit, sebentar kemudian tertarik ke sisi kanan dan kiri, tersenyum.

“Ya? Aku mohon. Arrani bilang, mereka mengandalkanku. Apa yang mereka harapkan dariku, sebenarnya?” tanyaku setengah bergumam, tapi Sae tampak mendengarnya, membuat wajahnya merengut.

“Baik, akan kubantu. Kapan lombanya kalau begitu?”

“Dua hari lagi,” jawabku sambil menunjukan formulir yang tadi Arrani berikan padaku.

“Masih ada waktu. Itu cukup.” Sae menganggukkan kepalanya beberapa kali.

“Kalau begitu, kamu kapan bisa bikinya?” tanyaku memastikan, menarik lagi formulir itu dari hadapan Sae, lalu menggulung dan memasukkannya ke tas di sampingku.

“Kok, aku yang bikin, sih?” tanyanya tampak tidak terima dengan wajah terkejut.

“Katanya mau bantu?”

“Kalau aku yang bikin, artinya aku bikinin, bukan aku bantu. Kalau aku bilang bantu, ya kamu yang bikin, Adis. Aku jadi pembimbing, bukan pembuat. Mengerti?”

Dia tertawa. Aku kesal. Menyebalkan.

“Kok, gitu, sih? Itu namanya aku yang bikin, dong.”

“Yang lomba, kan, kamu?”

Aku mendengus sebal. Sebenarnya yang diucapkan Sae ada benarnya. Aku hanya meminta bantuannya, bukan meminta membuatkan isi pidatonya. Jadi, aku pikir aku sendiri yang harus menyelesaikan isi pidato itu dengan bantuannya.

“Ya, kan?” katanya sambil masih tersenyum, tapi terlihat lebih mengejek.

Aku hanya mengangguk mengiakan.

“Nah, begitu, dong!” Dia tertawa senang.

Aku dan Sae sudah seperti kakak-adik yang tidak bisa dipisahkan. Kami selalu saling bantu dan kompak dalam segala hal. Maksudku, apa yang Sae lakukan, pasti aku juga melakukannya. Beberapa orang bahkan menganggap kami memang saudara kandung.

Dia orang yang selalu membantuku dalam kondisi apa pun. Jika Sae sedang dalam masalah, aku juga dengan senang hati ada di sisinya untuk membantu. Sifat baik hatinya sudah ada sejak dia masih kecil. Didikan kedua orangtuanya yang berbudi luhur dan menjunjung tinggi kesopanan menjadikan Sae pribadi yang tahu sopan santun.

Menjadi anak bungsu dan satu-satunya lelaki di antara saudarinya menjadikannya anak paling disayang. Semua yang Sae inginkan selalu dituruti, tapi hal itu tak lantas membuatnya menjadi manja.

Aku tahu, apa yang dilakukan kedua orangtuanya demi masa depan Sae. Demi kebaikannya nanti. Ayahnya bahkan rela menghabiskan uang banyak hanya agar anak lelakinya itu bisa sekolah dan masuk di perguruan tinggi.

Awal aku bertemu dengannya saat sedang masa pendaftaran siswa baru. Saat itu kami berada dalam ruangan yang sama. Aku masih ingat, Sae diantar oleh ayahnya untuk mengikuti testing. Sekonyong-konyong aku bertanya sambil mengenalkan diri. Beruntung, Sae meresponsnya dengan baik, dan kami bersahabat sampai sekarang.

“Remedialmu sudah, kan?” tanya Sae membuyarkan semua lamunanku. Aku mengerjap, lalu menatap dua maniknya yang berbinar. Wajah lelaki itu selalu tampak segar dan bersinar.

“Ah, iya. Aku juga sudah mau pulang.”

“Kalau begitu, kamu harus melakukan sesuatu untukku. Anggap saja ini bayaran untuk isi pidatomu. Bagaimana?” tanyanya.

Aku menoleh ke arah tas di sampingku, tergeletak bagai bangkai penuh lalat, kemudian menoleh ke arah Sae setelahnya. Dia tampak tersenyum dengan bibir merah merekah, menunggu jawabanku.

“Ini adil, kan?” katanya sambil menaikturunkan alis matanya yang hitam tebal.

“Jadi, apa yang harus aku lakukan?” tanyaku merasa tidak enak hati. Sesuatu yang buruk pasti akan terjadi.

“Sini, aku bisikkan sesuatu,” jawabnya sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku. Wajah kami begitu dekat sampai aku bisa merasakan embusan napas segar dari mulutnya. Ludahku meluncur begitu saja, dan aku sudah tidak bisa berpikir dengan jernih detik itu juga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status