Nadya menatap dirinya di cermin toilet, wajahnya basah karena dibasuh beberapa kali untuk menghilangkan amarah yang masih menguasainya. Kamu sudah siap Nad, bertemu lagi dengan Dimas, setidaknya Dimas mendapatkan pembalasannya meski berupa injakan kaki, tarik napas dan tenangkan diri. Nadya mengingatkan dirinya sendiri. Ia menarik napas berulang kali sehingga dirinya tenang.
Setelah merasakan ketenangan pada dirinya, kekuatan untuk menghadapi Dimas muncul kembali. Nadya menarik napasnya lagi dan mengangguk kepada dirinya sendiri di cermin kalau dirinya sudah siap. Ia mengambil tissue di atas wastafel dan menghapus air dari wajahnya. Sekali lagi ia melihat cermin untuk memastikan kalau wajahnya sudah tidak basah. Ia membuang tissue itu ke dalam tempat sampah dan mengambil kacamata yang ia taruh di atas wastafel, ia keluar tanpa memakai kacamatanya.
Di tengah jalan menuju meja cafe di mana teman temannya berkumpul Nadya melihat Dimas tertawa dan kelihatan bahagia. Tiba tiba amarahnya muncul lagi, ia menghentikan langkahnya dan duduk di kursi cafe yang kosong untuk menenangkan diri. Ia menaruh kacamatanya di atas meja dan mengangkat kedua tangan untuk menutupi wajahnya berharap dengan begitu amarahnya hilang dengan cepat.
Nadya memutar tubuhnya untuk menumpukan kedua tangannya di atas meja cafe namun sikunya menyenggol benda keras sehingga mengagetkannya. Nadya menurunkan kedua tangannya untuk melihat benda keras yang disenggolnya. Buku. Secara spontan ia menggeser buku itu sehingga berhadapan dengannya. Buku siapa ini. Philosophy. Apakah ini buku Filosofi? Meski matanya minus tapi ia bisa membaca judul buku itu karena matanya masih melihat benda benda dengan jelas jika dari dekat, hanya dari jauh saja yang kurang jelas.
Buku ini sangat tebal, covernya berwarna biru, tulisan di depannya berwarna emas. Buku seperti ini pasti sangat mahal di pasaran, bahkan orang harus pesan terlebih dulu untuk mendapatkan buku seperti ini. Nadya tahu karena dari covernya saja bahannya berbeda dengan buku buku lain, dan hanya beberapa buku yang memakai cover seperti ini, dan buku buku itu harganya semua mahal.
Sebelum Nadya mengikuti rasa ingin tahunya mengenai buku yang ia temukan, ia membaca dulu pengarang buku itu. E.S.Eyed. Tiba tiba Nadya mengangkat sebelah alisnya, sederhana sekali nama pengarangnya. Tidak sabar untuk mengetahui isinya Nadya membuka buku itu.
Belum saja dua lembar kepala Nadya sudah pusing. Buku itu bahasa Inggris semua dan Nadya angkat tangan kalau sudah berhubungan dengan bahasa Inggris. Meski begitu Nadya masih membukanya lembar demi lembar karena penasaran, siapa tahu menjadi inspirasi novelnya. Tiba tiba Nadya tertawa dengan ucapannya.
“Mencari inspirasi di buku seperti ini, kamu pasti tidak waras.” Gumam Nadya berbicara sendiri.
Nadya begitu serius membaca seakan berusaha memahami tulisan bahasa Inggris itu yang tidak dimengertinya sama sekali sehingga ia tidak menyadari kalau seseorang sudah duduk di seberang meja cafe memperhatikan dirinya.
Merasa ada yang memperhatikan dirinya, Nadya tahu ia tidak duduk sendirian lagi. Nadya mendongak dari buku itu ingin tahu siapa yang tidak sopan duduk satu meja bersamanya. Tiba tiba matanya terbelalak dan tanpa sengaja bibirnya terbuka karena terkejut.
Orang asing itu sangat tampan, pakaiannya rapi, jas hitam dan kemeja putih yang kancing atasnya sengaja dibuka. Sepertinya orang asing itu sedang istirahat dari pekerjaan kantornya. Orang asing itu memakai kacamata hitam sehingga Nadya tidak bisa melihat matanya namun hidung mancung, kulit putih dan perawakannya yang tinggi dengan tubuh atletis membuat semua orang yang melihat akan terpesona, dan wangi parfume orang asing itu sangat enak di hidungnya seakan memancarkan aura jantan yang terpancar dari tubuh orang asing itu.
Jantung Nadya tiba tiba berdetak cepat, ia seakan bingung antara pergi begitu saja dari orang asing itu atau duduk diam dan mengajaknya mengobrol, tapi itu tidak mungkin. Pertama ia tidak bisa bahasa Inggris dan kedua pengaruh orang asing itu yang membuat jantungnya berdetak cepat. Nadya tidak bisa melakukan apapun, ia hanya terdiam sambil membelalakkan matanya pada orang asing itu, dalam hati ia berharap orang asing itu tidak berbicara padanya.
Ethan tidak tahu kalau ada orang yang membaca bukunya. Ia baru ingat bukunya ketika membicarakan soal buku dengan Panji sehingga ia kembali keluar dari ruangan yang ditata meriah itu untuk mengambil bukunya yang ia taruh di atas meja cafe. Perempuan yang ia lihat di tempat parkir dengan mantan pacarnya itu sedang membuka lembar demi lembar bukunya dan tampak tertarik untuk membacanya. Ethan sengaja hanya duduk dan memperhatikan. Perempuan itu cantik kalau tanpa kacamatanya, beberapa helai rambutnya lepas dari ikatannya dan membingkai wajahnya yang putih kemerahan sehingga membuatnya tambah cantik. Keinginan untuk merapihkan helai helai rambut ke belakang telinga perempuan itu membuat Ethan terkejut. Belum pernah ada seorang perempuan yang menggugah keinginannya dengan cepat. Apakah karena terlalu lama ia tidak pernah memperhatikan perempuan sehingga ia seperti ini. Ethan tidak tahu. Tapi memang tidak ada seorang perempuan pun yang menarik perhatiannya termasuk Adel selain pe
Dimas berdiri di samping meja cafe, ia tampak terkejut melihat Nadya berpegangan tangan dengan seorang bule, dan bule itu lebih tampan darinya. Kepercayaan dirinya sebagai laki laki tampan tiba tiba merosot, tapi ia tidak akan membiarkannya. Dimas segera menegakkan tubuhnya dan melipat kedua tangannya di depan dada dengan angkuh, kedua matanya terpancar rasa sombong, ia tidak mau bule asing itu membuat dirinya tidak percaya diri. Dimas menatap Nadya dengan pandangan mengejek meskipun Nadya sekarang menunduk dan tidak melihat ke arahnya. “Aku tidak menyangka ternyata kamu perempuan seperti itu,” kata Dimas menggelengkan kepalanya pura pura tidak percaya. “Kamu sebenarnya cantik, coba deh kamu dandan sedikit aku pasti tidak akan memutuskanmu,” lanjut Dimas acuh tak acuh. Dimas tidak melihat perubahan sorot kedua mata Nadya yang berubah marah karena Nadya menunduk. Nadya segera menurunkan pandangannya dari Ethan ke ar
Ethan mengajak Nadya ke ruangan yang disediakan orang tua Panji untuk menyambutnya. Ruangan itu di tata sangat meriah seakan ada yang berulang tahun. Balon dan pita dipajang di mana - mana. Kata penyambutan dengan warna warni ditempel di dinding dengan kata “Welcome Our Beloved Ethan.” Meja yang penuh dengan berbagai jenis makanan, tidak terkecuali makanan dan minuman kesukaan Ethan dihidangkan oleh kedua orang tua Panji yang jago dalam membuat masakan. Tentu orang tua Panji tidak sendirian menata ruangan ini sehingga ruangan ini tertata dengan cepat. Setelah berada di dalam ruangan Ethan belum melepaskan genggamannya. Nadya mengerutkan keningnya terlihat bingung. Bagaimana ia harus bicara dengan Ethan untuk melepaskan tangannya sedangkan ia tidak bisa berbahasa Inggris. Seakan mendapatkan ide, Nadya sengaja menarik tangannya sehingga me
“Nadya?”“Halo Kak Panji.”Sebelum Panji bicara lagi tiba tiba pintu terbuka dan Mita menghambur masuk.“Nad, aku dengar dari………” Ucapan Mita terhenti ketika melihat sosok yang dikenalnya dan sangat dirindukannya.“Ethaaan!” Jerit Mita seraya berlari ke arah Ethan dan memeluk Ethan dengan erat.“Halo Mita.” Ethan membalas pelukan Mita.“Oh my God is that real you?” Tanya Mita setelah melepaskan pelukannya, ia masih belum mempercayai apa yang ia lihat.“Sure it’s me,” jawab Ethan sambil te
Kedua mata Ethan tidak bisa berpaling dari Nadya, ia tidak tahu kenapa seperti itu, namun entah mengapa dirinya selalu ingin melihat Nadya. Mungkinkah ia benar benar penasaran pada Nadya. Terus terang ia tidak dapat memungkiri dirinya sendiri ingin melihat lagi Nadya tanpa kacamata, dan bahkan ia ingin melihat Nadya dengan rambutnya yang terurai. Pikiran gila. Dalam hati Ethan berdecak tidak percaya apa yang ia pikirkan tentang Nadya, perempuan yang baru dikenalnya. Tiba tiba Panji angkat bicara sehingga Ethan memaksakan dirinya berpaling ke arah temannya. “Kalian sedang reunian?” Tanya Panji. “Iya.” “Lalu sedang apa kalian di sini?” Tanya Panji lagi. “Oh ya ampun!” Mita menepuk jidatnya. Karena sangat senangnya melihat Ethan, ia sampai lupa niatnya ke sini. “Tadi aku mau bilang Dimas melihatmu ke sini jadi aku mau memastikannya, aku pikir kamu ke toilet.” lanjut Mita kepada Nadya, kedua matanya bertanya tanya. Nadya tahu pertanyaan yang terpancar dar
Selama beberapa jam Nadya terus melamun sambil menatap keluar jendela. Kedua tangannya ditumpu di atas meja belajar untuk menyangga dagunya. Bahkan laptopnya belum disentuh sejak ia pulang dari reunian. Tidak seperti biasanya ia selalu tidak sabar untuk membuka laptop dan mulai menulis sampai kacamatanya miring dan ikatan rambutnya mengendur sehingga rambutnya banyak yang terlepas. Namun kali ini keinginan itu seolah menghilang bahkan ia membiarkan rambut panjangnya terurai, biasanya ia tidak suka rambutnya diurai karena membuat ia risih dan gerah, dan biasanya ia selalu memakai kacamata tapi kacamata itu kini masih di kamar mandi setelah tadi ia mandi dan menyimpan kacamata itu di sana. Nadya hanya ingin duduk mematung dan melamunkan apa yang tadi ia alami, dan apa yang ia rasakan. Rasa yang tiba tiba muncul setelah pintu ruangan itu tertutup dan Ethan tidak lagi terlihat. Nadya tahu dari Mita kalau Ethan berasal dari Australia. Ethan pasti sekarang sudah kembali ke A
Bersamaan dengan itu hp di tangan Nadya bergetar memberitahu kalau ada pesan baru yang masuk. Nadya melihat pesan itu. Nomer baru. ia tidak kenal nomer itu, ia membuka pesan itu dan melihat tulisannya.Hai Nadya Nadya langsung membalas pesan itu.Maaf ini siapa?Aku EthanNadya tercengang, jantungnya mulai berdegup kencang. Ia hanya menatap layar hp tanpa bergerak sama sekali. Tiba tiba hp itu berdering sehingga mengagetkan Nadya sekaligus menyadarkannya. Nadya segera menerima panggilan telepon dari Ethan.“Halo,” jawab Nadya pelan, dan terlalu pelan.“Kamu kenapa?”Sebelum menjawab Nadya berdehem untuk mengeraskan suaranya sedikit. “Tidak apa apa.”Lama tidak ada sahutan dari Ethan, Nadya menunggu sehingga jantungnya semakin berdegup kencang.“Simpan nomerku.”“Kamu pasti kena roaming.”“Aku mas
Sudah setengah hari Nadya masih berkutat dengan laptopnya sehingga kacamatanya sudah bergeser miring dan rambutnya yang dikuncir terlepas kemana mana. Ia berusaha mengejar ketinggalannya yang kemarin tanpa menulis sama sekali. Ia bahkan tidak sempat makan, hanya segelas latte dan keripik singkong untuk mengisi perutnya jika lapar. Ia juga tidak mendengar panggilan dan pesan yang masuk ke hpnya yang ditaruh di atas tempat tidur.Ketika bel rumahnya berbunyi beberapa kali barulah ia mendongak dari laptop dan berpaling seraya mendengarkan bel rumahnya berbunyi lagi apa tidak. Bel itu berbunyi lagi Nadya membetulkan kacamatanya lalu berdiri untuk membukakan pintu. “Mita.” Nadya melihat Mita berdiri di depan pintu rumahnya tampak agak kesal. Kedua tangannya dilipat di depan dada. Seperti biasa Mita selalu tampil cantik dengan gayanya yang modis. Rambutnya yang pendek dan di cat coklat terurai indah di atas bahunya. Jaket kulit warna biru telur asin menutupi kaos be