Share

I'am Not Cinderella
I'am Not Cinderella
Penulis: Shofi Nur Hidayah

Karyawan Paling Onar

Seorang perempuan berambut cokelat sebahu mengendap-endap di balik kubikel kerjanya. Matanya awas memperhatikan sekeliling, takut kalau-kalau ada yang melihat kehadirannya.

"Kamu ngapain di situ Julea?"

Pertanyaan yang tenang itu membuat gadis bernama Julea mendongak kaget, dia tersenyum kecut kepergok sembunyi oleh atasannya sendiri.

"A-anu buk saya–" 

Ucapan Julea terhenti karena wanita yang berdiri di depannya ini menghela nafas panjang dan buru-buru memotong ucapannya. 

"Apa Julea kamu akan katakan kalau kena macet atau kamu harus menolong Ibu kamu dulu sebelum ke kantor sehingga saat ini kamu telat hampir dua jam?" Wanita dengan setelan jas rapi dan ber name tag Sarah itu bersidekap dan melotot tajam pada Julea yang menundukkan kepalanya dalam.

"Maaf buk," jawabnya penuh sesal. 

Semua orang yang ada di ruangan itu hanya diam melihat Julea yang dimarahi habis-habisan oleh atasan mereka. 

"Ingat Julea kamu ini Wakil Devisi perencanaan, seharusnya kamu mencerminkan kedisiplinan di tempat ini bukan malah bertindak seenaknya!" Sarah menunjuk wajah Julea yang sudah pucat pasi.

Dia hanya menundukkan kepalanya dalam, dia menekuri lantai marmer tempat dia berdiri sekarang. 

Menyadari tatapan Julea yang fokus pada lantai membuat Sarah jengah. 

Dia juga ikut menoleh ke bawah dan mendapati Julea memakai sneakers putih padahal sudah jelas kalau di kantor itu semua karyawati wajib memakai heels. 

"Ya Tuhan Julea Anastasia, sampai kapan saya harus katakan pada kamu untuk memakai heels saat berkerja kenapa kamu malah memakai sneakers!" Bentakan Sarah menggelegar di seluruh ruangan. 

Hampir semua orang yang ada di sana terlonjak kaget, termasuk Julea sendiri. Dia menyadari kebodohannya datang ke kantor dengan memakai sneakers.

"Tidak buk, saya akan pakai heels kok. Iya saya pasti pakai heels cuma itu ada di meja saya nanti pasti saya pakai," jawabnya gugup. 

Sarah menghembuskan nafasnya berat, dia mengusap-usap perutnya yang membuncit. Matanya nyalang menatap Julea yang cengar-cengir di depannya tanpa rasa berdosa.

"Jangan sampai saya lihat kamu pakai sneakers lagi hari ini dan seterusnya Julea. Saya bosan membela kamu di depan Pak CEO!" Sarah memelankan suaranya dan sedikit mencondongkan tubuhnya agar bisa berbicara jelas dengan Julea.

"Ba-baik buk," jawabnya cepat.

"Hmm baiklah, kembali bekerja!" 

Mendengar perintah itu Julea langsung lari terbirit-birit menuju kubikel kerjanya dan langsung membuka laptop dan beberapa berkas yang sudah menumpuk di atas meja.

Sarah masih memperhatikan gerak-geriknya hingga ketika Julea fokus bekerja barulah dia pergi.

Menyadari kepergian Sarah, Julea mengembuskan nafasnya lega. Dia bersandar pada kursi dan mengusap wajahnya kasar.

"Argh! Bisa gila aku kalau terus-terusan begini," ucapnya bermonolog.

Hal itu memancing perhatian teman yang ada di sebelah kubikelnya. Wanita dengan rambut hitam legam yang dibiarkan terurai itu mendekati Julea dengan menarik kursinya.

"Kamu sih kenapa bikin masalah terus sama Bu Sarah?" Tanyanya kesal.

Julea menoleh padanya dan tersenyum kecut. 

"Kamu pikir aku mau punya masalah sama dia?" Julea balik bertanya. 

"Udahlah Jule kamu harusnya fokus sama pekerjaan dan jangan telat-telat lagi, oh ya itu kenapa kamu malah pakai sneakers lagi perasaan kemarin udah ganti pakai heels deh?" Wanita itu bertanya lagi. 

Tentu itu membuat Julea makin frustasi mengingat kemungkinan resiko yang akan dia hadapi beberapa hari kedepan tanpa sepatu itu. 

"Sialnya sepatu  itu hilang Marsha," tukasnya lalu cemberut. 

Wanita bernama Marsha itu membulatkan matanya sempurna. 

"Serius, kok bisa. Hilang di mana?" 

"Terkahir kali aku pakai sepatu itu pas meeting tempo hari. Aku yakin heels itu masih ada di sana, tapi gimana cara buat masuk ke sana lagi?" Julea menatap sahabatnya cemas.

Marsha memijit pelipisnya perlahan dia juga ikut pusing menghadapi masalah Julea ini. Karena semakin banyak masalah yang ditimbulkan gadis itu maka satu devisi akan terkena imbasnya termasuk dirinya. 

"Bisa-bisanya sih kamu lepas sepatu pas lagi meeting kantor makanya hilang kan!" Marsha kesal dan itu memancing emosi Julea yang memang sejak tadi pagi sudah ingin meluap.

"Kok malah kamu yang marah sih Mar, harusnya yang kesel dan marah-marah itu aku. Karena itu sepatu aku! Mana masih baru lagi," cicitnya. 

Mereka lalu terdiam dan hanyut dengan pikiran masing-masing. 

Terutama Julea yang masih memikirkan bagaimana mendapatkan sepatu barunya lagi untuk menghindari omelan dari Sarah atasannya di devisi perencanaan. 

Sebuah ide gila lalu muncul di kepala Julea, dia menyunggingkan senyum miring dan menatap Marsha penuh arti. 

"Ngapain lihat-lihat begitu sih," ucap Marsha yang geli melihat ekspresi temannya. 

"Kamu teman aku kan Marsha Wijaya, mau ya bantuin aku?" Julea bertanya dengan nada manis yang dibuat-buat. 

"Iya aku teman kamu tapi –"

"Ah teman jadi harus saling bantu iya kan? Kamu harus bantuin aku buat cari sebelah sepatuku hari ini. Sebelum ketahuan lagi sama Bu Sarah ya mau ya?" Julea memohon. 

Dia menangkupkan tangannya di depan dada dan membuat ekspresi menyedihkan di wajahnya agar Masrha iba dan mau menolongnya. 

"Ck kenapa harus cari sepatu itu sih Julea, mendingan kamu beli yang baru lagi. Itu lebih simpel!" Marsha memberi jawaban yang paling tepat dan tanpa resiko. 

Bukan tanpa sebab dia mengatakan itu karena meeting room di kantor mereka bersebelahan dengan ruang CEO mereka yang terkenal sangat dingin dan galaknya luar biasa. 

Marsha tidak mau berurusan dengannya hanya karena menolong Julea mencari sepatu. 

"Simpel dari mana hah! Aku beli sepatu itu aja perlu perjuangan. Aku harus nabung selama tiga bulan, memangkas uang makan dan hidup sangat pas-pasan demi sepatu heels impian. Kamu tidak ingat hak itu?" Julea mengerutkan keningnya. 

Marsha menghela nafasnya berat, dia menarik kursinya lagi agar lebih dekat dengan Julea.

"Tapi itu jauh lebih baik dan aman dari pada kamu cari sepatu itu di meeting room. Kamu mau ketemu Pak CEO dan dapat masalah lagi," nasehatnya yang membuat Julea dilema. 

Apa yang di katakan Marsha memang seratus persen benar tapi merelakan sepatu heels pertamanya bukanlah hal yang mudah. Julea ingat bagaimana perjuangannya mendapatkan sepatu itu. 

"Ingat Julea Pak CEO itu galak dia persis seperti kulkas dua pintu dingin banget. Kamu mau kena masalah, dengar-dengar pak CEO juga sering duduk di meeting room sendirian. Yakin kamu mau ke sana?" Marsha mengingatkannya lagi.

Sontak bulu kuduk Julea berdiri dia ingat bagaimana tatapan tajam dan menusuk dari pria itu juga jangan lupakan soal aura mendominasi yang dimilikinya.

Julea pernah bertemu dengan CEO itu sekitar satu bulan yang lalu, itu juga dia lakukan karena ada meeting penting antara CEO dan juga para ketua devisi dan Julea datang untuk menggantikan Sarah karena wanita itu sering bolak-balik rumah sakit selama hamil. 

Dia tidak akan melupakan kesan pertama yang dia dapatkan dengan pria dingin dan arogan sepertinya. 

"Tapi bagaimana dengan sepatuku Marsha?" Julea merengek dan menarik-narik tangan Marsha sebagai  pelampiasan amarahnya.

Saat tengah sibuk memikirkan bagaimana cara mendapatkan sepatunya kembali, seorang karyawan datang menemuinya dengan langkah terburu-buru. 

"Bu Wakil Devisi, anda di panggil oleh Pak CEO untuk segera menemuinya di ruangan." Karyawan itu mengatakannya dengan nada yang tenang. 

Berbanding terbalik dengan keadaan hati  Jueka yang sudah jungkir balik tidak karuan mendapatkan perintah itu. 

"Apa?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status