Dengan langkah yang dipaksakan Julea berjalan malas ke ruangan CEO tempat dia bekerja yang ada di lantai tiga kantor periklanan terbesar di kota itu.
Julea menghela nafas berat saat dia sampai di depan ruangan CEO. Dia menatap gagang pintu kaca yang ada di sana sejenak.
"Ya Tuhan kalau saat ini aku harus mati karena menghadapi CEO yang kejam itu maka aku ikhlas, tapi biarkan aku jadi hantu yang akan mengganggu hidupnya." Julea bergumam sambil mengusap-usap gagang pintu.
Seolah-olah dia sedang berbicara dengan seseorang yang bisa dia ajak curhat tentang bagaimana kejamnya CEO di tempat itu.
"Siapa yang akan kamu ganggu Bu wakil Devisi?"
Julea mendongak ketika suara bass itu memasuki indra pendengarannya. Dia melongo karena ternyata CEO kejam yang dia maksud sudah berdiri tepat di depannya.
Mereka hanya terhalang oleh pintu kaca saja, dan pastinya wajah merah Julea terlihat olehnya.
"Ti-tidak Pak, tidak ada. Bapak pasti salah dengar," kilahnya sambil mengibaskan tangan.
Tanpa menjawab apapun pria itu kembali duduk di kursi kebanggaannya, dia duduk menyilangkan kakinya dan menatap tajam ke arah Julea yang masih saja mematung di balik pintu.
Mau tidak mau dia harus masuk meskipun jantungnya berdebar tidak karuan.
"Duduk Julea Anastasia!" Perintahnya.
Dengan ragu-ragu Julea akhirnya duduk di kursi yang ada di depan CEO itu dengan terus meremas-remas ujung kemejanya.
Brak!
Sebuah berkas proposal di lemparkan begitu saja di atas meja membuat Julea kaget bukan main. Hari ini dia sudah senam jantung setidaknya tiga kali.
Pertama saat bertemu dengan Bu Sarah tadi pagi, kedua saat kepergok membicarakan CEO di depannya ini dan terkahir karena berkas proposal yang dilempar kasar di depannya.
"Apa ini pekerjaanmu? Sudah aku katakan untuk membacanya dari awal apa kamu tuli?" Tanyanya dengan nada yang tidak bersahabat.
Julea menundukkan kepalanya dalam, dia melihat papan nama yang terpampang di atas meja dan membacanya seksama. Jujur saja dia tidak tahu nama lengkap dari CEO yang baru ini karena saat pertama kali masuk menggantikan CEO yang lama dia terus saja menyembunyikan nama lengkapnya.
Orang-orang di kantor periklanan itu hanya memanggilnya dengan Dewa Kerja. Karena sifatnya yang workaholic dan sangat mencintai perkejaan serta sebutan Dewa karena parasnya yang tampan mempesona bak Dewa Yunani.
'Andrew Nugraha,' Ucap Julea dalam hati membaca papan nama itu.
"Apa kamu masih mendengar ucapan saya Julea?" Tanya Andrew dengan nada yang dingin.
Julea tergagap dibuatnya dia sedikit mendongak dan sempat terjadi kontak mata diantara keduanya.
"Ah i-iya Pak saya masih mendengarkan." Julea menjawabnya sopan.
"Perbaiki semuanya dari awal sekarang!" Andrew memerintah.
"Ta-tapi Pak, ada banyak perkejaan yang harus saya kerjakan pak dan itu–" Julea tidak melanjutkan kalimatnya karena melihat tatapan mengerikan dari Andrew.
"Saya sudah katakan bukan agar kamu membaca trend yang ada saat ini sebelum membuat proposal. Jangan harap saya akan menandatangani proposal yang tidak berguna seperti ini!" Andrew mengambil iPad miliknya dan mengabaikan Julea.
Mata gadis itu sudah berkaca-kaca dia ingat bagaimana pekerjaan yang berat itu akan segera selesai. Belum lagi tugas-tugas yang diberikan Bu Sarah selalu ketua di Devisi perencana yang hobi sekali menyiksanya.
Lalu sekarang dia harus mengulang semua pekerjaan itu. Apa ini tidak termasuk dengan penindasan para pekerja?
"Lain kali kamu perhatikan bagaimana membuatnya sebelum mengajukan dana milyaran seperti ini. Kalau seperti ini kamu membuat proposal atau kotoran?" Tanyanya sarkas.
Hal itu membuatnya membulatkan mata sempurna, nyalinya juga mendadak ciut menghadapi CEO galak ini.
Kata-kata yang keluar dari mulutnya sangat kejam dan pedas. Dia tidak memiliki peri kemanusiaan atau setidaknya sikap yang sedikit lembut dengan bawahannya.
Tapi kenapa seluruh karyawati yang ada di perusahaan itu begitu tergila-gila dengannya. Ya Julea akui Andrew memang tampan tapi jika galak dan angkuh sepertinya sama saja bohong.
"Baik pak akan saya perbaiki semuanya," jawab Julea akhirnya.
"Hmm ya sudah sana kembali!" Perintah Andrew mutlak.
Dengan mengubur semua kekesalan yang ada di dalam hatinya Julea berdiri dan hendak kembali ke kubikelnya mengerjakan pekerjaan yang tidak pernah ada habisnya ini.
Baru saja dia melangkah sekitar dua meter Andrew sudah memanggil namanya lagi.
"Wakil Ketua Devisi Julea Anastasia, apa anda lupa bagaimana peraturan berpakaian di perusahaan ini?" Tanyanya dingin.
Julea memejamkan matanya merutuki nasib sial yang datang padanya hari ini. Pasti Andrew mengatakan itu karena melihatnya tidak memakai heels.
"Mati aku," lirih Julea lalu berbalik lagi menatap Andrew dengan menampilkan wajah paling manis yang dia miliki.
Harap-harap dengan begitu Andrew luluh dan mengurungkan niat untuk memarahinya.
"Saya tidak lupa pak hanya saja ...."
"Hanya saja apa?" Andrew memotong perkataan Julea dengan cepat.
Julea diam mana mungkin dia menjawab jujur kalau dia hanya punya sepasang sepatu heels dan itu juga harus hilang sebelah karena meeting tempo hari.
"Anda tidak lupa bagaimana peraturannya bukan?" Andrew mendekati Julea yang gugup.
"Tidak Pak saya tidak lupa dengan hal itu," jawabnya lantang.
"Bagus cepat katakan apa peraturannya?" Andrew memerintah, dia juga terkesan mendesak.
Julea memberanikan diri untuk menatap wajah Andrew, dia tidak mau ditindas oleh atasannya hanya karena sepatu.
"Peraturannya adalah semua karyawati di perusahaan Nugraha harus memakai heels demi menjaga citra perusahaan yang rapi dan tertib." Julea mengingat dengan lengkap peraturan paling menjengkelkan itu.
Mana ada peraturan konyol seperti itu di perusahaan lain?
Mungkin bagi perempuan lain itu bukanlah masalah yang besar tapi tidak dengan Julea yang jujur tidak pernah bisa memakai heels seumur hidupnya. Dia juga tidak punya jenis sepatu yang akan menyiksa kaki perempuan itu.
Dan parahnya dia harus diet ketat serta memangkas uang makannya dalam tiga bulan pertama kerja demi mendapatkan sepatu dan mewujudkan peraturan perusahaan paling aneh di muka bumi.
"Lalu kenapa kamu justru memakai sneakers saat kamu tahu bahkan hafal di luar kepala tentang peraturan itu?" Andrew menurunkan suaranya agar lebih pelan.
Akan tetapi itu terdengar mengerikan bagi Julea. Dia memejamkan matanya karena takut.
"Itu karena sepatu saya hilang sebelah pak," cicitnya.
"Apa?" Andrew menaikkan sebelah alisnya tidak mengerti.
Julea membuka matanya dan menatap wajah Andrew bingung.
"Benar pak sepatu saya hilang sebelah," ucapannya mengulangi lagi kalimatnya yang mungkin tidak terdengar dengan jelas oleh Andrew.
Andrew tersenyum sekilas dia membalikkan badannya sejenak untuk tertawa mendengar alasan konyol dari bawahnya itu.
Tapi mana mungkin Andrew percaya begitu saja?
Ingat kalau dia bukanlah pria yang mudah untuk di tipu meskipun oleh perempuan cantik.
"Saya tahu kalau kamu sedang membual Julea Anastasia, jadi saya tidak mau tahu. Pakai sepatumu dan kembali lagi ke sini dalam waktu lima belas menit dari sekarang!" Andrew memerintah, dia juga memasang stopwach di jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangannya.
Julea tergagap dia tidak tahu lagi harus bagaimana, jelas-jelas dia sudah mengatakan kalau sepatunya hilang sebelah. Tapi kenapa Andrew justru memerintah agar dia kembali dengan sepatu itu!
"Pak saya mohon, tapi jujur sepatu itu hilang pak!" Julea meninggikan suaranya secara spontan. Bahkan terkesan seperti membentak.
Andrew yang baru pertama kali mendengar bentakan dari seorang perempuan menaikkan sebelah alisnya dan dia mencengkeram lengan Julea.
"Kamu berani membentak saya Julea?"
Lagi-lagi dia menatap tak percaya. Dengan tatapannya yang bergerak-gerak gelisah dan bibir yang mengatup rapat menahan tangis. Dipandanginya lagi wajah itu dengan seksama. Tak ada lagi senyum manis atau seringainya yang dulu dia benci, muram dan tak lagi bercahaya seperti biasanya. Sungguh! Biar pun kali ini dia harus melihat hal-hal yang tidak dia sukai dari sosok didepannya. Akan dia terima dengan senang hati, asalkan sosok itu kembali. Lama bertarung pada pikirannya sendiri, dia sentuh wajah itu dengan tangan yang gemetaran. Berulang kali tak sempat jarinya menyentuh kulit yang telah memucat itu. Dia tak sanggup! Atau bahkan masih tak percaya. Dia tak percaya pada suratan takdir, tapi inilah kenyataannya. Dengan perasaan terguncang, dia coba lagi memegang wajah manis yang pernah memerintahkannya pergi. Dan kali ini tangisnya benar-benar pecah. Tangisnya meraung-raung disamping tubuh yang telah terbujur kaku itu. Dia peluk erat-erat tubuh itu, dia usap lagi pundak kecil yang
Julea masih tetap merengek, dia menampilkan ekspresi paling memelas untuk menyakinkan Andrew. "Ayolah Andrew aku mohon, sebentar saja." Julea berkata lirih, dia masih berusaha membujuk Andrew. Sedangkan Andrew hanya melihat datar ke arah Julea, entah kenapa hari ini Julea sangat menguji kesabarannya. padahal sebelumnya perempuan itu tak akan melawan jika Andrew berkata tidak. "Jule, kau bisa ke taman dan melihat bintang kapan saja. Karena masih ada banyak waktu lain, untuk malam ini kau tidur saja ya. Besok kau haris operasi," ucap Andrew berusaha memberikan pengertian. Tapi Julea adalah Julea, dia tidak akan berhenti begitu saja hanya karena ucapan Andrew. Perempuan itu malah mendecik sebal, dia menyilangkan kedua tangannya didepan dada. Andrew yang melihat itu hanya bisa menghela nafas kasar, menghadapi Julea yang tengah marah memang membutuhkan kesabaran yang lebih. "Julea, ku mohon dengarkan aku ya... ini semua juga demi kebaikan mu," Ucapnya lagi. kali ini dengan mengusap l
Herfiza mengusap punggung putranya dengan lembut, dia merangkulnya penuh kasih sayang dan kehangatan. "Nak, apa yang terjadi di dunia ini tidak bisa selalu sama seperti apa yang kita inginkan. Tuhan selalu punya rencana yang indah dibalik ujian ini, yakinlah." Herfiza mengatakannya dengan tenang, meskipun dia masih khawatir dan kalut akan kesehatan Julea. Andrew menoleh, dia mengerutkan keningnya. "Tapi apa ini ujian yang baik untuk ku? Aku terlalu banyak menimbulkan masalah di hidup Julea sehingga berimbas pada kesehatannya. ini bukan sekedar takdir Tuhan mam, ini salahku." Herfiza menarik diri, dia menggenggam tangan Andrew erat-erat. "Sekali lagi berhenti menyalahkan dirimu sendiri, jika pun kau merasa bersalah seharusnya tidak seperti ini caranya!""Lalu apa yang bisa aku lakukan?" tanya Andrew dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Herfiza menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Bangkit, berikan kekuatan pada Julea agar dia bisa segera sembuh. K
Hampir satu jam lamanya Jukea berada di dalam UGD, sedangkan keluarganya sduah harap-harap cemas menunggu kabar baik dari dokter yang menanganinya. Andreas sendiri yang masih tercengang dengan fakta penyakit sang kakak ipar masih terdiam menenangkan diri. Sedangkan Andrew sudah hilir mudik di depan pintu UGD. "Apa tadi semuanya lancar Andreas?" Tanya Marsha dengan lirih, dia juga menepuk pundak Andreas perlahan. Pria itu menoleh, dia mengangguk samar. Mereka berbincang dengan nada yang rendah, tak ingin menganggu anggota keluarga yang lain. Marsha juga tidak mau dianggap tak tahu situasi dan kondisi di saat yang genting seperti ini malah membicarakan hal yang lain. "Semuanya berjalan lancar, Pricilla juga sudah diamankan polisi tadi. Semua orang tak ada yang menentang pembelaan dari kami, bahkan Tuan Gardian yang ayah Pricilla juga diam. Dia tertunduk malu atas sikap putrinya itu," jelas Andreas sembari menunduk. Marsha manggut-manggut paham, dia lega setidaknya usaha Julea untuk
Setelah melihat Pricilla yang digandeng polisi untuk diamankan, Julea merasakan sakit kepala yang luar biasa. sebenarnya dia telah merasa kepalanya berat sejak dua jam lalu, tapi dengan sekuat tenaga dua bertahan. "Aka, apa kau baik-baik saja?" tanya Andreas yang melihat Julea meringis menahan sakit. Julea menoleh dan menggeleng, dia hanya memegangi kepalanya dan mulai berjalan menjauh dari tempat pesta. "Tidak Andreas, aku baik-baik saja. Jadi ayo pulang," ajaknya. tak mau membuat Julea kesakitan, Andreas mulai berjalan cepat. Dia lekas mengeluarkan mobilnya dan membawa Julea pergi dari mansion mewah keluarga Pricilla. Ditengah jalan tiba-tiba Julea menyemburkan isi perutnya dengan tidak sengaja. 'Hoek!'Sontak itu membuat Andreas panik, apalagi saat melihat wajah Julea yang pucat. "kak kau kenapa, apa tadi kau sempat minum? apa kau mabuk kak?" cecarnya yang khawatir. "Engh! Tidak, aku tidak ingat." Julea menjawabnya lemas, dia sebenarnya tak minum alkohol. Tapi entah bagaiman
Mata semua orang terbelalak tak percaya, tak sedikit dari mereka bahkan menutup mulutnya dengan tangan. Apa yang disampaikan Andreas malam ini adalah kejutan yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Pengakuan Andreas itu juga membuat Pricilla kaget bukan main. Pasalnya, dia telah menggoda pria yang salah. "Pantas saja respon yang diberikannya berbeda, ternyata dia bukan Andrew." Pricilla membatin, dia tertunduk malu. Gardian memalingkan wajahnya, malu atas apa yang dilakukan sang putri. Lalu dengan cepat dia menarik tangan Pricilla dan mendorongnya hingga jatuh terjerembab di taman yang berumput. "Argh! Papa sakit," cicit Pricilla dengan mata yang berkaca-kaca. "Kau memang pantas mendapatkannya Pricilla, bahkan seharusnya kau mendapatkan hukuman yang jauh lebih besar daripada ini! Aku malu telah menjadi ayahmu!" Gardian berkata marah, deru nafasnya memburu seiring dengan darahnya yang mendidih. Di saat yang bersamaan, ada sorotan proyektor yang menampilkan apa saja yang sudah dila
Temaram lampu taman menyinari tubuh Pricilla yang terpantul di air kolam renang yang jernih. Perempuan berambut panjang itu menoleh saat mendengar langkah kaki Andreas yang mendekat ke arahnya. Senyuman tipis terbit diwajahnya yang terpoles apik dengan make up bold. "Akhirnya kau datang juga Andrew," ucapnya senang. Andreas tak menanggapi, dia hanya tersenyum sekilas saat mendengar Pricilla menyebut nama sang kakak. Beruntung jika perempuan yang menjadi rivalnya malam ini tak mengenali dirinya. "Si jalang itu tertipu juga, sama seperti sang ayah!" Andreas membatin, dia merasa satu langkah lebih dekat menuju kemenangan. Pricilla melangkahkan kakinya mendekat saat Andreas memilih untuk berhenti. Dia lekas mengalungkan tangannya ke leher Andreas dengan tanpa malu. "Aku senang kau mau datang ke sini dan mengabaikan Julea," ucap Pricilla dan menyandarkan tubuhnya pada dada bidang Andreas. Pria itu merasa jijik atas sikap agresif dari perempuan yang nyaris menjadi kakak iparnya. Tapi A
Andreas sempat menoleh pada Julea sebelum mereka turun dari mobil. Andreas cemas, karena mau bagaimana pun kalau dia gagal malam ini maka masalahnya akan bertambah besar. "Kak," cicitnya. Julea menoleh dan mengangguk serta mengepalkan tangannya, bermaksud memberinya kekuatan. "Kau pasti bisa Andreas, yakin lah!" Perintahnya. Lalu Andreas menghela nafas kasar beberapa kali, setelahnya dia turun dari mobil terlebih dahulu. Pintu mobil dibukakan oleh Andreas untuk membantu Julea, tangan kanannya juga dengan sigap terulur untuk memberikan kesan yang kuat kalau dia adalah Andrew. Di halaman mansion mewah milik keluarga Pricilla, ada banyak orang yang sudah datang dan menjadi tamu di sana. Hari ini adalah hari ulang tahun Pricilla, dan keluarga Nugraha memang mendapatkan undangan, khususnya Andrew. Pria itu memang diundang secara personal oleh Pricilla. Ah tidak-tidak! Lebih tepatnya Andrew diancam. Jika dia tidak datang malam ini, maka Pricilla akan melakukan hal yang lebih gila lagi
Andrew rupanya menemui sang adik, Andreas secara diam-diam. Tidak ada yang tahu kalau keduanya tengah bertemu sekarang. Keduanya kini berada di salah satu restoran Chinese yang cukup jauh dari pusat kota. "Jadi, apa yang kau rencanakan sebenarnya Andreas? Kali ini apa yang kau inginkan dariku?" Cecar Andrew dengan tatapan yang nyalang pada sang adik yang duduk di depannya. Terhalang oleh meja berbentuk persegi panjang, Andrew dan Andreas saling perang dingin dengan memberikan tatapan tajam ke arah masing-masing. Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Andreas menghela nafasnya kasar, dia kemudian bersidekap dengan tenang. "Aku tidak menginginkan apapun, toh apa yang bisa kau berikan padaku?" Andreas malah memberikan jawaban yang terkesan meremehkan. Padahal sebenarnya tidak demikian. "Hah! Rupanya kau masih sama saja, sama-sama sombong seperti biasanya!" Andrew mendecik, dia menyeringai. "Sama seperti dengan mu juga, kita sama-sama sombong. Bedanya, aku menyadari dan mengakuinya seda