Bugh!
Pakkk!
Suara senjata berdentuman.
Seatt!
Pukulan demi pukulan terus melayang pada wajah mereka. Sekali tebas tidak membuat tumbang, mereka bangun kembali untuk membalas.
Plak!
Deo akhirnya berhasil menonjok wajah Farel setelah tadi selalu saja berhasil mengelak.
Farel hampir terjengkang oleh pukulan maut Deo. Akan tetapi, ia segera menyeimbangkan tubuhnya kembali.
Farel menjamah bibirnya yang mengeluarkan darah.
"Pukulan lo ga berasa, bangsat!" Dalam hitungan detik Deo menendang perut Farel hingga ia terjatuh dan terdengar meringis.
Bugh!
"Ini untuk Demian!"
Bugh!
Deo membenturkan kepalanya ke kepala Farel.
"Dan ini untuk kematian Demian!"
Seatt!
Deo menginjak dada Farel sehingga napasnya tersengal-sengal merasakan sesak.
"Ini untuk dendam Demian!"
Kyaak!
Farel menahan kaki Deo yang akan menginjak perutnya. Ia berhasil bangkit Kemabli dan m
Bruk!Tubuh Deo terpental jauh setelah mendapati pelajaran dari Sina.Sekarang Sina mengarah pada Devina yang tengah berusaha menghabisi Shela."Berhenti!" gertak Sina membuat tangan Devina melayang di atas wajah Shela. Cewek itu mendelik ke arah Sina dan kaget melihat keberadaannya."Sina!" Kedua mata Devina membulat.Seakk!Seketika kaki Sina mendarat di punggung Devina sehingga cewek itu mencium tanah."Lo?" Geram Devina.Devina berusaha untuk bangkit kembali. Namun segera Sina buat tumbang lagi.Plak!Settt!Secara gontai Sina mengelap keringat yang mengucur di dahinya. Ia bangkit dari atas tubuh Devina dan mendatangi Arga yang tak berada begitu jauh dari nya.Kali ini Giliran Arga.Semua orang tampak diam melihat Sina yang berbeda.Semuanya tak bisa berkutik mereka semua tertegun dalam kekaguman kala Sina mendatangi kapten The Blue.Sina dengan wajah sangarnya me
Setibanya di tempat tujuan, mereka lekas turun dari motor. Rian mengajak Lili untuk melihat senja di rooftop gedung. Sekaligus memperlihatkan keindahan kota Tasik dari atas.Mereka duduk dengan mengayunkan kaki seraya bersenda gurau."Indah, ya. Li. Maha Karya Tuhan yang membuat hati tenang."Lili melihat Rian di arah samping. Pria itu sedang tersenyum manis."Melihat wajahmu juga adalah Maha Karya Tuhan yang membuat hatiku tenang," tutur Lili membuat Rian menengok.Kedua pipinya bersemu merah jambu."Bisa saja kamu, Li. Kalah terus aku. Hahaha."Meraka tertawa riang."Yan," panggil Lili kali ini dengan nada serius."Kalo nanti aku ngga ada siapa yang akan buat kamu senyum kayak gini?""Maksudmu?""Jika aku mati nanti."Rian menutup bibir Lili dengan jari telunjuknya. "Sut! Gak boleh ngomong gitu. Kita akan selamanya. Kita akan hidup sampai kakek nenek."Lili memandang ke depan den
"Sin ... cepat bangun yah. Banyak yang nunggu kamu bangun. Termasuk aku." Tangannya mengelus rambut Sina sekejap. Benar. Rindu memang selalu menggebu tiap kali mendengar nama Sina. Sudah berusaha pun untuk biasa saja, tetapi sang rindu tetap saja mengganggu.Rangga diam sejenak. Lalu memandang Sina lagi. Ia ingin mencurahkan isi hatinya. Isi hati yang memang hanya pada Sina dibagi. Rangga terlalu nyaman dengan perempuan di depannya ini, sehingga cewek mana pun tak bisa menggantikannya."Meski hubungan kita singkat, tapi aku bangga pernah punya kamu. Saling berbagi luka. Dan saling menguatkan." Sekali lagi Rangga mencium punggung tangan Sina yang masih lunglai tak berdaya."Ngga ada cewek yang sesabar kamu dalam menghadapi ini semua. Aku yakin Tuhan akan membalasnya dengan kebahagiaan yang tidak akan terduga.""Makasih Sin. Udah hadir dalam hidup aku dan teman-teman. Makasih udah jadi Sinar Rembulan aku dalam kegelapan. Makasih udah tegar menjalani hidupmu
Masalah tidak akan pernah absen dalam kehidupan manusia. Namun, masalah tidak selalu ada sebab gembok tidak pernah dibuat tanpa kunci. Demikian pula, Tuhan tidak pernah menghadirkan masalah tanpa memberikan solusinya.Hidup itu memang banyak rintangan. Tetapi rintangan itu lah yang membuat seseorang menjadi tangguh. Roda kehidupan itu berputar, kadang di bawah dan kadang di atas dan ada pula seseorang yang sangat lama di bawah. Namun sekali lagi, orang itu tidak akan selamanya berada di bawah.Hal ini seperti yang dirasakan Shela. Dulu ia begitu punya segalanya. Teman yang banyak, keluarga, ketenaran, harta dan tahta. Akan tetapi sekarang? Satu per satu enyah dari sisi hidupnya.Jika dulunya pulang dengan naik mobil sendiri, sekarang hanya bisa menumpang lewat Devi. Jika dulu makan ke sebuah restoran mewah, bebas memilih makanan apa saja, di keadaanya yang sekarang, Shela hanya bisa memakan nasi bungkus di sebrang jalan, tanpa harus memilih isi
Kedua petugas itu membawa Rian ke luar dari sana.Sebetulnya Rian terlambat sebab pesawat yang ditumpangi Sina sudah berangkat sepuluh menit yang lalu sebelum dirinya sampai di sini.Rian merasa hampa saat Sina pergi meninggalkannya. Ini adalah sebuah hukuman terberat baginya.Rian kembali ke rumah sakit. Perasaanya gamang. Ia seolah mati rasa.***Pagi telah tiba. Matahari terpancar dari ufuk timur dengan kehangatan pijarnya. Namun tak sehangat suasana pagi di rumah sakit.Banyak teman-teman Sina yang ingin menjenguk gadis itu. Diantaranya; Farel, Didi, Shela dan ibunya, Devi, Rangga dan Alan.Mereka semua berkumpul di depan ruangan Sina.Ketika dokter ke luar dari ruangan itu, mereka langsung menghampiri dokter tersebut. Akan tetapi, itu bukan Dokter Bimo. Melainkan dokter yang lain."Mungkin dokternya ganti," batin Alan menjawab keheranannya sendiri."Dok, giamna keadaan pasien?" t
Prank! Suara barang pecah terdengar lagi. Didi hanya bisa menghela napas dan berusaha untuk fokus pada game yang sedang ia mainkan. Sementara di tengah rumah orang tuanya masih tak kunjung berdamai dengan hal yang masih mereka perselisihkan. "Coba aja kamu bisa tegas sedikit mungkin para pegawai kamu tidak akan semanja itu! Bentar-bentar minta naik gaji bentar-bentar minta naik gaji! Bosen aku dengarnya!" tandas seorang wanita seraya menunjuk wajah pria di depannya dengan penuh kekesalan. "Lho yang minta naik gaji itu cuma beberapa orang, Sinta! Lagian mereka itu pekerja lama! Lagian kamu bisa tolak secara baik-baik tidak seperti tadi marah-marah di kantor! Memang seharusnya kamu tidak usah mengelola perusahaan ku, sebaiknya kamu diam di rumah!" balas Dafa tak kalah berteriak. Sina menyunggingkan salah satu sudut bibirnya. "O o ... jadi kamu nyalahin aku? Heh, perusahaan itu milik mendiang ayah aku, kamu harus ingat itu!" "Kamu
Didi membanting stir penuh emosi. Ia menangis tanpa rasa malu lagi. Didi benar-benar mencurahkan segala kemarahannya lewat air mata yang terus berderai keluar. Didi menambah kecepatan dalam berkendara. Ia ingin meluapkan segala rasa sakit hatinya dengan mengebut. Ia terus melaju entah ke mana. Kemudian mobil Didi perlahan menelan dan akhirnya memilih menepi. Di tempat sepi itu, Didi berteriak dengan bebas. "Hakk!" jerit Didi seperti orang gila. Cowok itu menyeka air matanya kala melihat pohon menyeramkan di sampingnya. "Tuh pohon besar amat," lirih Didi dengan suara yang masih bergetar. Didi cepat-cepat menyalakan mesin mobilnya dan memilih putar balik. Laju kendaraan Didi membawa pria itu ke arah rumah Farel. Ya, ke arah rumah sahabatnya. Setibanya di depan rumah Farel. Didi terlebih dahulu merapikan dirinya. Ia memeriksa kedua matanya yang masih terlihat sembab. Didi membersihkan matanya dari sisa air
Didi mengajak Farel ke rumahnya. Meraka sudah sampai beranda rumah. Kemudian mengetuknya secara perlahan. "Tuan Muda?" kaya Bi Nem. Mendengar Bi Nem, Sinta lekas datang ke depan pintu. "Didi," sambut Sinta dan langsung memeluk tubuh anak itu. "Kamu ke mana aja, sayang? Mama khawatir tau," decak Sinta. Sebab Didi tidak pulang semalaman. Didi tampak biasa saja. Mungkin lebih kepada tak mau menanggapi rasa khawatir ibunya itu. "Didi nginep di rumah Farel, kok, Tante," sambar Farel. Didi masuk begitu saja. Sinta tahu anak itu masih marah padanya. "Maaf, ya, Rel udah ngerepotin kamu. Sekarang mending kalian makan ya," cuit Sinta sedikit merasa tidak enak. "Gak ngerepotin kok. Farel dan Didi udah makan juga Tante," sahut Farel sopan. "Ya ampun. Makasih ya, Rel udah mau jaga Didi. Tante khawatir Didi ngga mau makan. Biasanya kalo ngambek suka gitu," kata Sinta terlihat sedih. Farel tertawa dalam