"Pah kalo Sina dijemput mama sama bunda Sina boleh ikut gak?"
Rian menoleh kala mendengar kalimat itu dari putrinya. Rian dengan lekat memandang wajah Sina yang pucat.
"Kalo kamu ikut sama mereka, berarti kamu gak sayang sama papa."
"Tapi Sina capek hidup dilingkarkan luka terus, Pa. Papa gak pernah tahu rasanya jadi Sina," keluh gadis itu yang terlihat muram.
"Sebentar lagi mereka datang. Sina mau ikut mereka aja ah."
"Siapa?"
"Mama sama bunda, Pah," sahut Sina dengan semangat yang berapi-api.
Ternyata ucapan Sina benar. Ada dua orang wanita cantik yang mendatangi mereka di taman bunga.
"Tuh mama sama bunda!" Tunjuk Sina pada mereka berdua yang sedang bergandengan tangan menuju ke arah Sina dan Rian.
Rian mematung di tempat. Ia benar-benar menyaksikan Lili dan Rindu datang menghampirinya. Dua cinta dalam kisah berbeda. Mereka nyata.
Sina beranjak untuk memenuhi uluran tangan Lili dan Rindu.
"Se
Gadis bermata bening sedang duduk di kursi belajarnya seraya menelisik kalender di depannya. Gadis itu mengambil kalender berukuran sedang. Ia menghela napas. Huft! "Sebentar lagi ujian semester," ucapnya. "Harus belajar mati-matian. Aku sempat ketinggalan materi lagi." Sina mengetok kepalanya. "Kalo aja gak pingsan! Huh!" Sina mulai membuka buku. Jendela di biarkan terbuka, membuat angin malam menemani Sina dengan kesibukannya. Tak terasa malam semakin larut. Kepala Sina perlahan turun, kelopak matanya perlahan menutup. Pulpen di tangannya terjatuh di atas meja belajarnya. Gadis itu tertidur menindih buku-buku berisi tugas yang hampir rampung. Malam berganti pagi, tepatnya subuh. Sina dibangunkan oleh Nessa, karena hari ini hari Minggu. Tugas Sina pada hari ini adalah berbelanja sebelum matahari terlihat, sebab di pasar subuh semua bahan akan menjadi murah dari harga relatif pada siang dan sore hari. Ne
Sina duduk di taman yang tak cukup ramai. Ia mengayunkan kakinya di kursi panjang dekat dengan bunga-bunga taman yang sedang kuncup.Kepalanya mulai mendongak ke atas, melihat langit yang dipenuhi taburan bintang-bintang kemilau.Sina tersenyum kecil kala melihat bulan bersinar terang."Malam ini kamu ngga sendiri lagi, banyak bintang yang menemani malammu," racau Sina kepada sang Dewi Malam."Andai aku jadi bulan--""Maka gue akan jadi langitnya," sela Farel yang tiba-tiba duduk di sebelah Sina. Gadis itu terlonjak kaget dan langsung mendelik."Lo akan selalu melekat pada langit apa pun kondisinya," imbuh Farel sembari menatap Sina lekat-lekat.Sina masih belum beranjak dari tatapan mata Farel. Entah kenapa ia juga terhanyut dalam pandangannya, seolah jiwanya ikut bergetar kala netra Farel berserobok dengan netranya.Sina segera bergeleng untuk menyadarkan dirinya. Ia segera melihat ke depan lagi. Tiba-tiba dadanya berdebar he
"Kenapa si harus pakai berantem segala. Kamu ada masalah apa sama Farel?" Sina menjamah luka di bagian pipi Rngga."Aku juga gak tau, awshh." Desis Rangga seraya menahan sakit di bagian wajahnya. Pukulan Farel sungguh luar biasa, seakan wajahnya di buat beku oleh lebam."Kok gak tau? Farel gak mungkin nyerang kamu kalo ngga ada sebabnya. Kalian itu kenapa si? Ada apa?" Dengan hati-hati Sina mengobati luka-luka itu."Farel cuma salah paham," jawab Rangga akhirnya."Tuh kan, pasti ada yang terjadi. Coba cerita sama aku, Ga." Dengan telaten gadis itu merawat lukanya."Farel lihat aku ciuman sama Shela," kata Rangga membuat tangan Sina berhenti.Deg!Sina menurunkan tangannya dari wajah Rangga.Entah kenapa hatinya tiba-tiba sakit kala mendengar itu dari Rangga."Tapi pada nyatanya aku gak ngelakuin itu. Farel salah lihat," lanjut Rangga membuat Sina menoleh.Rangga menceritakan yang sebenarnya terja
Setibanya di halaman rumah, Farel melihat mobil Surya terparkir.Kening Farel mengkerut. "Tumben jam segini udah pulang? Biasanya kan malam," gumam Farel seraya melangkah masuk ke dalam rumah."Dari mana kamu?" tanya Surya bernada ketus.Farel mendongak mendengar suara Surya.Di sudut sofa ada Dila sedang tertunduk dengan mata sembab. Farel sudah menduga pasti wanita itu mengadu. Sementara Alan duduk di samping sang ibu sambil mengusap bahunya. Anak dan ibu sama saja, pikir Farel."Dari rumah Didi," jawab Farel datar."Terus kenapa muka kamu babak belur sepeti itu? Berantem kamu?" tanyanya beranak-pinak."Langsung to the poin aja deh, Pah!" Farel yakin sebetulnya sang ayah sudah mengetahui perkelahian anatara ia dan Alan."Kamu berantem sama Alan betul?" Surya bertanya, sebab saat ia pulang pun Alan juga babak belur. Bukan hanya itu saja, Dila juga sedang menangis. Ketika Surya bertanya pada Alan dan Dila, dari mere
Sina menggigit jarinya takut. Badannya gemetar setelah mengetahui kondisi Olive yang kritis.Semangat Farel, cowok itu terus mondar mandir tak bisa diam.Nessa sudah dihubungi dan akan segera ke sini, sedangkan Rian masih belum di beri tahu, sebab pria itu tidak mengangkat telepon.Berjam-jam Sina dan Farel menunggu kabar lagi dari dokter. Kondisi Olive benar-benar mengawatirkan semua orang yang sedang menunggunya.Pintu di buka, memperlihatkan seorang dokter yang terlihat risau."Gimana, Dok?" tanya Farel."Sebentar ya, keadaanya semakin kritis.""Sus tolong panggilkan Dokter Indra. Keadaan pasien semakin gawat saya takut detak jantungnya segera berhenti," titah Dokter Gunawan pada suster yang bertugas.Sina panik bukan main kala mendengar itu. "Dok, tolong selamatkan kakak saya!" rengek Sina. Dokter Gunawan mencoba menjabarkan Sina setelah itu kembali lagi ke dalam ruangan dan menutup pintunya dengan rapat.Farel
"Titip kakak gue ya. Titip Kak Olive. Mungkin gue ngga bisa jaga dia lagi."Farel tertegun mendengar itu, tidak seharusnya Sina mengatakan hal tadi.Farel menempelkan jari telunjuknya pada bibir Sina. "sutt! Lo ga boleh ngomong gitu."Sina memejamkan matanya untuk beberapa saat. Ia menahan air matanya sekuat mungkin."Sin, doain kita semua ya, besok ST akan tempur."Mendengar lalimat yang diucapkan Farel, Sina membuka kembali kelopak matanya.Saat itu Sina berpikir akan ikut berperang demi membalas perbuatan mereka."Rel, gue ingin ikut," kata Sina yang langsung mendapat tolakan dari sang empu."Gak boleh, Sin. Kondisi lo sedang tidak memungkinkan. Gue cuma minta doa aja dari lo. Semoga anak-anak menang, ya." Farel menggenggam kedua tangan Sina.***Usai menjenguk Sina, Farel pergi ke rumah sakit Medika untuk menengok Olive.Kala sudah sampai di depan ruangan di mana Olive dirawat, ada Rian yang
Bugh!Pakkk!Suara senjata berdentuman.Seatt!Pukulan demi pukulan terus melayang pada wajah mereka. Sekali tebas tidak membuat tumbang, mereka bangun kembali untuk membalas.Plak!Deo akhirnya berhasil menonjok wajah Farel setelah tadi selalu saja berhasil mengelak.Farel hampir terjengkang oleh pukulan maut Deo. Akan tetapi, ia segera menyeimbangkan tubuhnya kembali.Farel menjamah bibirnya yang mengeluarkan darah."Pukulan lo ga berasa, bangsat!" Dalam hitungan detik Deo menendang perut Farel hingga ia terjatuh dan terdengar meringis.Bugh!"Ini untuk Demian!"Bugh!Deo membenturkan kepalanya ke kepala Farel."Dan ini untuk kematian Demian!"Seatt!Deo menginjak dada Farel sehingga napasnya tersengal-sengal merasakan sesak."Ini untuk dendam Demian!"Kyaak!Farel menahan kaki Deo yang akan menginjak perutnya. Ia berhasil bangkit Kemabli dan m
Bruk!Tubuh Deo terpental jauh setelah mendapati pelajaran dari Sina.Sekarang Sina mengarah pada Devina yang tengah berusaha menghabisi Shela."Berhenti!" gertak Sina membuat tangan Devina melayang di atas wajah Shela. Cewek itu mendelik ke arah Sina dan kaget melihat keberadaannya."Sina!" Kedua mata Devina membulat.Seakk!Seketika kaki Sina mendarat di punggung Devina sehingga cewek itu mencium tanah."Lo?" Geram Devina.Devina berusaha untuk bangkit kembali. Namun segera Sina buat tumbang lagi.Plak!Settt!Secara gontai Sina mengelap keringat yang mengucur di dahinya. Ia bangkit dari atas tubuh Devina dan mendatangi Arga yang tak berada begitu jauh dari nya.Kali ini Giliran Arga.Semua orang tampak diam melihat Sina yang berbeda.Semuanya tak bisa berkutik mereka semua tertegun dalam kekaguman kala Sina mendatangi kapten The Blue.Sina dengan wajah sangarnya me