Share

I'm Sorry Laras
I'm Sorry Laras
Author: mangpurna

Terjebak

Author: mangpurna
last update Last Updated: 2024-10-28 21:56:57

Cahaya lampu tua di ruang tamu berkedip pelan, memantulkan bayangan samar di dinding kayu yang sudah mulai mengelupas. Bau kopi dingin dari cangkir yang ditinggalkan di meja kecil masih tercium samar, bercampur dengan aroma tanah basah yang menyelinap dari jendela terbuka. Di sudut ruangan, Ratna Kartika berdiri dengan tangan gemetar, jari-jarinya mencengkeram lengan Damar erat-erat seolah takut kehilangan pegangan.

 

“Damar, syukurlah kamu sudah datang,” suaranya mendesak, penuh getaran yang sulit disembunyikan, matanya berkilat tajam di bawah alis yang mengerut. “Kamu harus lihat bagaimana kelakuan istrimu saat kamu tidak ada di rumah.”

 

Damar mengerutkan kening, napasnya masih tersengal setelah perjalanan panjang dari luar kota. Ia menarik lengannya perlahan dari genggaman ibunya, gerakannya kaku namun tegas. Jaket lusuhnya masih menempel di pundak, membawa aroma debu jalanan yang melekat. “Ada apa sih, Bu? Aku ini baru saja pulang, dan masih capek…” Ia menghela napas panjang, suaranya lelah namun ada nada keras yang tak bisa disembunyikan. “Tolong, jangan mulai drama yang nggak penting seperti ini. Aku tahu Ibu belum sepenuhnya menerima Laras sebagai menantu di rumah ini, tapi bukan berarti Ibu harus terus menyudutkannya.”

 

Ratna terdiam sejenak, langkahnya terhenti. Ia menatap wajah putranya, mata cokelatnya yang dulu penuh kehangatan kini dipenuhi garis-garis kekesalan. “Kenapa kamu ngomong seperti itu, Damar?” ucapnya, nada kecewa merayap di setiap kata. Ia menegakkan pundak, meski tangannya masih bergetar halus. “Memang, Ibu tidak pernah merestui Laras sebagai istrimu. Tapi itu bukan alasan Ibu untuk berbuat jahat kepadanya. Justru, Ibu narik kamu masuk ke sini agar kamu sendiri bisa melihat kebenaran yang selama ini ditutup-tutupi oleh istrimu.”

 

“Kebenaran apa lagi sih, Bu?” Damar menggumam, setengah tak percaya. Ia menggosok pelipisnya dengan jari, mencoba menahan rasa pening yang mulai menjalar. Sepatu botnya masih meninggalkan jejak tanah kering di lantai, dan ia melirik pintu kamar di ujung lorong, tempat Laras biasanya menunggunya dengan senyum kecil.

 

Ratna menghela napas panjang, lalu melangkah mendekat. Matanya menatap dalam ke mata Damar, penuh intensitas yang membuat udara terasa berat. “Istrimu… dia sedang tidur dengan pria lain di kamar kalian.”

 

Damar tersentak, seperti ada palu yang menghantam dadanya. Tubuhnya membeku, dan matanya membelalak menatap ibunya. “Itu nggak mungkin, Bu,” balasnya, suaranya bergetar, mencoba menahan gelombang emosi yang mulai naik. “Laras nggak akan pernah melakukan hal sehina itu.” Ia menggeleng, tangannya mengepal, mencoba meyakinkan diri sendiri lebih dari ibunya.

 

Ratna mendesah, lalu melangkah menuju lorong sempit yang mengarah ke kamar Damar. “Kalau kamu nggak percaya, lihat saja dengan mata kepala kamu sendiri,” katanya, suaranya dingin namun ada kepuasan terselip di dalamnya. Langkahnya pelan tapi pasti, seperti membimbing putranya menuju sesuatu yang sudah ia rencanakan.

 

Damar mengikuti dengan langkah berat, napasnya memburu. Setiap derit lantai kayu di bawah kakinya terasa seperti dentuman di telinga. Jantungnya berdetak kencang, bercampur antara keraguan dan ketakutan yang perlahan mencuat. Ia berhenti di depan pintu kamar, tangannya ragu menyentuh gagang pintu yang dingin. Dengan satu tarikan napas dalam, ia mendorong pintu itu terbuka.

 

Pandangannya langsung jatuh ke ranjang. Di sana, Laras terbaring, rambutnya terurai di bantal dengan helai-helai yang menempel di pipi pucatnya. Dan di sampingnya, Faris—sahabatnya sejak kecil, orang yang pernah berbagi cerita di bawah pohon mangga tua—berbaring dengan lengan terentang, memeluk tubuh Laras dalam tidur pulas. Cahaya lampu kecil di meja samping ranjang menyelinap ke wajah mereka, memperlihatkan kedamaian yang bertolak belakang dengan badai di dada Damar.

 

Saat itu juga, darah Damar terasa mendidih, mengalir deras ke kepalanya hingga pandangannya sedikit buram. Jantungnya serasa berhenti, lalu berdetak kembali dengan keras, menyakitkan. “Laras, apa yang sudah kamu lakukan?!” teriaknya, suaranya menggema di ruangan sempit itu, memecah keheningan seperti kaca yang pecah berkeping-keping.

 

Laras tersentak bangun, matanya membelalak penuh kebingungan. Ia menarik selimut ke dada, napasnya tersengal. “M-Mas Damar… apa yang terjadi?” Suaranya panik, matanya bergerak cepat dari Damar ke Faris, yang juga terbangun dengan ekspresi terkejut. “Kenapa Mas Faris bisa ada di kamar kita?” Ia menoleh ke Faris, wajahnya pucat seperti kertas kosong, mencari jawaban yang tak kunjung datang.

 

Damar melangkah maju, tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. “Aku yang seharusnya nanya sama kamu, Laras!” bentaknya, suaranya rendah namun penuh amarah yang membakar. “Kenapa kalian bisa tidur seranjang di sini? Apa yang udah kalian lakukan?!” Matanya beralih ke Faris, tajam dan penuh kebencian. “Dan kamu… apa maksudnya ini semua?”

 

Laras menggeleng cepat, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku… aku nggak tahu, Mas,” katanya, suaranya lemah, gemetar seperti daun yang diterpa angin. “Sungguh, aku nggak inget apa-apa tentang kejadian ini…” Ia menarik napas, mencoba menahan tangis yang sudah di ujung mata.

 

Ratna, yang berdiri di ambang pintu, menyeringai kecil. Langkahnya pelan mendekati ranjang, tatapannya tajam menusuk Laras. “Jangan pura-pura nggak tahu, Laras,” ucapnya, nada suaranya meremehkan, memotong udara seperti pisau. “Bukannya kamu yang manfaatin kesempatan ini? Kamu sengaja, kan, bawa pria lain ke sini saat Damar nggak ada dan rumah sepi?” Ia melipat tangan di dada, kepalanya miring dengan senyum yang penuh kemenangan.

 

Laras tersentak, menoleh ke Ratna dengan mata penuh ketakutan. “Mas… demi Tuhan, aku nggak melakukan itu,” balasnya, suaranya bergetar hebat. “Aku berani sumpah…” Ia menatap Damar, memohon dengan seluruh raut wajahnya yang hancur.

 

“Jangan bawa-bawa nama Tuhan dalam urusan ini, Laras,” potong Ratna tajam, suaranya meninggi. “Buktinya udah jelas. Kamu tertangkap basah berselingkuh sama Faris.” Ia melirik Damar, menunggu reaksi putranya dengan tatapan penuh harap.

 

Laras menoleh ke Damar, air matanya kini mulai menetes ke pipi. “Mas Damar, aku mohon… percaya sama aku,” katanya, suaranya pecah di antara isakan kecil. “Aku nggak akan pernah menghianati kamu, apalagi sama sahabatmu sendiri.” Tangannya terulur, mencoba meraih tangan Damar, tapi hanya menyentuh udara kosong.

 

Damar terdiam, matanya bergantian menatap Laras dan Faris. Di satu sisi, ia mengenal Laras—istrinya yang lembut, yang selalu menyambutnya dengan secangkir teh hangat dan cerita kecil tentang hari mereka. Tapi di sisi lain, bukti di depan matanya tak bisa ia abaikan—Faris, sahabat yang ia percaya, berbaring di ranjang yang sama dengan istrinya. “Entahlah, Laras,” desahnya akhirnya, suaranya pelan namun penuh beban. “Aku bingung… tapi semua bukti memberatkanmu. Sulit buat aku percaya sama kamu.”

 

Laras menutup mulutnya dengan tangan, menahan tangis yang kini mengalir deras. Ia tahu ini bukan waktunya diam. Dengan napas tersengal, ia berbalik ke Faris, mencengkeram kerah bajunya dengan kedua tangan. “Mas Faris… kenapa kamu diam aja?!” bentaknya, matanya penuh harap dan keputusasaan. “Katakan sesuatu! Bilang ke Mas Damar kalau ini semua salah paham, kalau kita nggak ada hubungan apa-apa!”

 

Faris menunduk sejenak, napasnya panjang dan berat. Lalu, ia mengangkat wajahnya, menatap Damar dengan ekspresi yang sulit dibaca—antara penyesalan dan ketenangan yang aneh. “Maaf, Laras,” katanya pelan, suaranya tegas meski ada getar halus. “Sebaiknya kita jujur aja sama Damar… bahwa memang ada sesuatu di antara kita.”

 

Damar tersentak, seperti ada petir yang menyambar tepat di atas kepalanya. Laras ternganga, matanya membelalak tak percaya. “Mas… apa maksudmu bicara begitu?!” suaranya meninggi, penuh kebingungan dan amarah. “Kenapa kamu bohong?!” Ia menatap Faris, wajahnya penuh air mata, seperti melihat orang asing yang tak pernah ia kenal.

 

Faris mengalihkan pandangan, rahangnya mengeras. “Laras, udah cukup,” ucapnya, suaranya datar. “Kita nggak perlu bersandiwara lagi. Damar udah nangkap basah kita. Mungkin ini saatnya kita jujur padanya.”

Laras menggeleng keras, tubuhnya mundur hingga punggungnya membentur dinding. “Tidak… ini semua bohong!” jeritnya, suaranya memenuhi ruangan. Ia berlari ke Damar, menggenggam tangannya erat-erat, jari-jarinya dingin dan gemetar. “Mas Damar… aku mohon, jangan percaya omongan Mas Faris. Dia… dia bohong. Dia sengaja mau merusak pernikahan kita!”

 

Damar berdiri membatu, tangannya terasa kaku dalam genggaman Laras. Matanya menatap wajah istrinya yang basah air mata, lalu beralih ke Faris yang kini diam dengan tatapan kosong. Di sudut ruangan, Ratna tersenyum sinis, kepalanya miring menikmati kekacauan yang ia saksikan. “Semuanya udah jelas, kan, Damar?” ucapnya pelan, suaranya seperti bisikan beracun. “Sekarang kamu bisa lihat sendiri sifat asli istrimu. Bagaimana kelakuannya saat kamu nggak ada di rumah. Dia nggak sepolos yang kamu kira.”

 

Udara di kamar terasa semakin pengap, penuh dengan aroma teh samar yang entah dari mana asalnya, bercampur dengan bau keringat dan ketegangan. Damar menarik napas dalam, matanya tertutup sejenak, mencoba meredam badai yang berkecamuk di dadanya. Ketika ia membukanya lagi, sorot matanya dingin, penuh luka yang tak bisa disembunyikan. “Aku nggak tahu harus percaya apa lagi,” katanya akhirnya, suaranya pecah. “Tapi yang pasti… aku nggak akan bisa melihat kamu sama seperti dulu, Laras.”

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • I'm Sorry Laras   menjalankan rencana

    Damar mengemudikan mobilnya dengan pikiran yang kacau, kata-kata Indira masih bergema di kepalanya seperti lonceng yang tak henti berdentang. “Sebaiknya Anda cari tahu, apakah anak yang selama ini Anda akui sebagai anak kandung Anda justru bukan anak Anda.” Apa maksudnya? Apakah Indira hanya mempermainkannya, melempar kata-kata penuh dendam untuk membingungkannya? “Dia membenciku,” gumam Damar, jari-jarinya mencengkeram kemudi lebih erat, matanya menyipit menatap jalan yang mulai sepi. “Tapi… bagaimana jika dia tahu sesuatu yang tidak kuketahui?” Keraguan itu seperti duri, menusuk-nusuk pikirannya, membuatnya tak bisa fokus. Jalanan di depannya membentang lenggang, hanya dikelilingi pepohonan tinggi dan semak belukar di kedua sisi. Sinar matahari senja menyelinap di sela-sela daun, menciptakan bayang-bayang yang bergoyang di aspal. Damar, tanpa sadar, menekan pedal gas lebih dalam, mobilnya melaju kencang, mencerminkan kegelisahan yang membuncah di dadanya. Ia tak memperhatikan bahwa

  • I'm Sorry Laras   pertemuan dengan indira

    Damar menarik napas dalam, menyadari percakapan ini akan menjadi salah satu yang tersulit dalam hidupnya. Ia menatap Indira, berharap ketulusannya tersampaikan. “Ayah ingin mencari kebenaran, Indira,” ucapnya, suaranya penuh ketulusan namun bergetar karena beban emosi. “Ayah mulai ragu dengan semua yang dulu Ayah percaya. Ayah perlu tahu… apakah kamu benar-benar anakku. Dan jika iya, Ayah ingin meminta maaf—kepadamu, kepada ibumu—atas semua yang sudah Ayah lakukan.” Kata-kata itu, yang dimaksudkan sebagai ungkapan penyesalan, justru seperti percikan api di tumpukan kayu kering. Wajah Indira memerah, matanya menyala penuh kemarahan. Ia mengepalkan tangan di atas meja, dokumen yang tadinya ia pegang terlepas dari genggamannya. “Jadi, kalau saya bukan anak Anda, Anda tidak akan meminta maaf atas apa yang Anda dan keluarga Anda lakukan pada kami?” bentaknya, suaranya tegas namun penuh luka yang terpendam. “Kalau Anda masih percaya Ibu saya selingkuh di belakang Anda, sebaiknya Anda pergi

  • I'm Sorry Laras   mencari faris

    Keesokan paginya, Damar bangun dengan tekad yang kian membara. Meski tubuhnya masih terasa lemah, pikirannya tak bisa diam. Ia harus menemukan Faris, kunci untuk mengungkap kebenaran di balik tuduhan perselingkuhan Laras yang menghancurkan hidupnya. Setelah sekian tahun tak pernah menginjakkan kaki di lingkungan tempat Faris dulu tinggal, Damar melajukan mobilnya menuju alamat yang masih ia ingat samar-samar. Jalanan yang dulu familiar kini terasa asing—pohon-pohon besar telah diganti rumah-rumah baru, dan warung kecil di sudut jalan telah lenyap. Namun, Damar berharap Faris masih tinggal di rumah lamanya, meski firasatnya berkata lain. Sesampainya di depan rumah sederhana yang dulu sering ia kunjungi, Damar memarkir mobil dan menatap bangunan itu. Cat dinding yang dulu cerah kini pudar, dan taman kecil di depan rumah telah diganti pagar besi. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan debaran di dadanya, lalu melangkah menuju pintu. Setelah mengetuk beberapa kali, pintu terbuka per

  • I'm Sorry Laras   Damar pulang

    Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, Damar akhirnya diperbolehkan pulang. Tubuhnya masih lemah, namun semangatnya perlahan kembali. Kejadian ketika Sofia datang menjenguknya dan berujung pada pertengkaran hebat masih membekas di pikirannya. Sejak saat itu, Sofia tak pernah muncul lagi, tak ada kabar, tak ada kunjungan. Hanya Ratna dan Raka yang datang sekali, sekilas, seolah hanya memenuhi formalitas. Hari ini, kepulangan Damar pun tak dijemput keluarga; sekretarisnya, Lila, yang setia membantunya kembali ke rumah. Sesampainya di depan rumah, Lila membantu Damar turun dari mobil. “Saya antar sampai dalam, Pak?” tanya Andi, nada suaranya penuh perhatian. Damar menggeleng pelan, wajahnya pucat namun tegas. “Tidak perlu, Lila. Pulanglah, kamu sudah banyak membantu. Aku bisa sendiri,” ucapnya, suaranya rendah namun penuh keyakinan. Andi mengangguk, meski ragu, lalu meninggalkan Damar setelah memastikan majikannya sampai di depan pintu. Pintu rumah terbuka, dan asisten rumah tangga

  • I'm Sorry Laras   rencana terakhir

    Sofia menerobos masuk ke rumahnya dengan langkah penuh amarah, pintu depan terdorong keras hingga berderit nyaring, mencerminkan badai emosi yang masih berkecamuk di dadanya setelah konfrontasi dengan Damar di rumah sakit. Wajahnya pucat, matanya merah karena air mata yang ditahan, dan napasnya tersengal. Asisten rumah tangga yang buru-buru membukakan pintu hanya menunduk, tak berani mengangkat wajah, apalagi bertanya apa yang membuat nyonyanya begitu muram. Sofia tak mempedulikan keheningan canggung itu. “Ibu dan Raka ada di mana?” tanyanya kepada asisten, suaranya tajam namun bergetar, seolah menahan lautan kemarahan yang siap meluap.“Mereka berdua sedang ad di ruang tamu, Nyonya,” jawab asisten itu dengan suara pelan, nyaris berbisik, lalu mundur cepat, seolah tak ingin terseret ke dalam pusaran emosi majikannya.Sofia tak menunggu. Langkahnya cepat dan tegas menuju ruang tamu, sepatunya bergema di lantai marmer, mencerminkan tekadnya yang membara meski hatinya remuk. Di ruang tam

  • I'm Sorry Laras   kemarahan sofia

    Tanpa basa-basi, Sofia berhenti di sisi ranjang, tangannya terlipat di dada. “Mas, sekarang katakan kepadaku, siapa wanita yang meneleponku tadi, mengatakan kalau kamu sedang berada di Rumah Sakit ini?” Suaranya tajam, penuh tuduhan, seperti anak panah yang ditembakkan untuk melukai. Damar mengerutkan kening, wajah pucatnya menegang. Tubuhnya masih rapuh, namun sikap Sofia membangkitkan percikan kemarahan di dadanya. “Apa maksudmu berbicara seperti itu, Sofia?” balasnya, suaranya rendah namun bergetar kesal. “Aku baru saja pingsan, nyaris kehilangan nyawa. Kamu datang bukannya menanyakan kabarku, malah menuduhku yang tidak-tidak? Apa sebenarnya yang ada di kepalamu?” Sofia tak bergeming. Ia melangkah lebih dekat, matanya menatap Damar dengan kecurigaan yang membakar. “Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan, Mas!” bentaknya, suaranya meninggi, menggema di ruangan kecil itu. “Aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Aku dengar suara wanita itu di telepon tadi—dan jangan bilang

  • I'm Sorry Laras   Kebimbangan Damar

    “Tidak semudah itu,” ucap Dika dengan tegas. “Anda tidak tahu apa yang telah dilakukan keluarga Anda kepada ibu saya selama ini. Memfitnahnya dan memisahkannya dari orang yang dicintainya, benar-benar membuat hidup ibu saya seperti di neraka. Sedangkan Anda, apa yang Anda lakukan? Tidak ada. Anda tidak melakukan apa pun untuk mencari ibu saya atau berusaha mendengar penjelasannya. Yang Anda lakukan hanyalah tidak peduli kepadanya, dan sekarang dengan mudahnya Anda minta untuk dimaafkan? Jangan bermimpi, Pak Damar,” ucap Dika, suaranya penuh kekesalan dan amarah yang membara. Damar menatap anak yang baru ia ketahui itu, matanya penuh penyesalan. “Ayah memang salah, Dika,” ucapnya, suaranya serak oleh rasa bersalah. “Ayah tahu dosa Ayah sangat besar kepada kalian. Tapi tolong mengerti, saat itu keadaan Ayah sangat terpukul ketika melihat dengan mata kepala sendiri ibu kalian tidur bersama laki-laki lain di kamar kami. Ayah akui, saat itu Ayah dibutakan oleh rasa cemburu dan terluka seh

  • I'm Sorry Laras   Penyesalan yang terlambat

    Saat Laras hendak melanjutkan penjelasannya, tiba-tiba pintu kamar rawat Damar terbuka perlahan. Indira dan Dika masuk, wajah mereka menunjukkan ketegangan dan ekspresi yang tidak bersahabat. Laras menoleh ke arah pintu, senyum tipis muncul di bibirnya meskipun matanya masih basah oleh air mata. Ia telah mengabari kedua anaknya tentang kondisi Damar. Awalnya, Indira menolak keras untuk datang, tetapi Laras memaksa mereka, dan kini keduanya berdiri di hadapannya.Damar terkejut melihat Indira dan Dika. Pikirannya berputar cepat, mencoba menyambungkan potongan informasi yang baru ia dengar. Laras tadi menyebut anaknya bernama Dika—dan adik Indira juga bernama Dika. Lalu ada Indira, nama yang begitu akrab di hatinya. Ia teringat anak kecil yang dulu pernah memanggilnya “Ayah” dengan penuh kasih, sebelum tes DNA menyatakan bahwa Indira bukan darah dagingnya dan menghancurkan segalanya. Jantungnya berdetak kencang, firasat buruk bercampur harapan menguasai benaknya.“Indira, Dika… akhirnya

  • I'm Sorry Laras   cerita di rumah sakit

    “Laras, aku juga masih sayang sama kamu,” lanjut Damar, suaranya nyaris seperti bisikan yang rapuh, setiap kata terucap dengan beban emosi yang dalam. “Aku salah… aku terlalu lama tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Aku pikir kamu… tapi sekarang aku tahu, aku gak mau kehilangan kamu lagi.” Matanya berkaca-kaca, dan air mata pertama setelah bertahun-tahun terpendam akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang pucat. Damar menarik napas dalam dengan susah payah, berusaha mengumpulkan kekuatan di tubuhnya yang lemah. “Aku janji, Laras… aku akan perbaiki semuanya. Kita mulai lagi, ya?” pintanya, suaranya penuh harap yang terselip di antara kerapuhan, matanya memohon meski pandangannya mulai buram. Laras tersentak. Hatinya terguncang hebat, seperti ada badai yang mengoyak dadanya. Cinta lama yang tak pernah padam membakar jiwa nya, namun di saat yang sama, luka dan kenyataan menusuknya tajam. Ia tak bisa begitu saja menerima Damar kembali, meski rindu dan sayang itu masih hidup, membakar se

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status