Laras hanya bisa menangis, terisak-isak di hadapan suaminya, mencoba memeluk erat hatinya sendiri agar tak pecah berkeping-keping. Dalam kepalanya, ia berulang kali berkata bahwa ini hanyalah mimpi buruk—bayangan kelam yang akan sirna begitu mentari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela. Tapi pandangan Damar, yang kini membeku seperti es di musim dingin, menamparnya dengan kenyataan pahit. Kepercayaan yang dulu hangat dan penuh cinta itu kini terguncang hebat, bahkan mungkin telah runtuh menjadi puing-puing yang tak lagi bisa disatukan.
Cahaya lampu gantung di ruang tamu memantulkan kilau redup di wajah Laras, menyoroti air mata yang mengalir tanpa henti, membentuk aliran kecil di pipinya yang pucat. Ia jatuh berlutut, lututnya menghantam lantai kayu dengan bunyi pelan yang memilukan, seolah tubuhnya tak lagi mampu menahan beban jiwa yang remuk. Tangan-tangannya yang gemetar meraih jemari Damar, mencengkeramnya erat seakan itu adalah tali terakhir yang bisa menyelamatkannya dari jurang keputusasaan. “Mas Damar… aku mohon, percaya padaku,” suaranya pecah, tersendat oleh isakan yang mengguncang pundaknya. “Kamu tahu aku tidak akan pernah menghianatimu… aku terlalu mencintaimu untuk melakukan apa yang mereka tuduhkan.”
Damar menatapnya dari atas, matanya yang dulu penuh kelembutan kini seperti dua bilah pedang yang dingin dan tajam. Perlahan, ia menarik tangannya dari genggaman Laras, gerakan itu begitu halus namun penuh penolakan yang mencabik hati. “Laras,” ucapnya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan yang tercekat di tenggorokan, “maafkan aku. Tapi aku tidak bisa mempercayaimu lagi. Luka ini… terlalu dalam.” Kata-kata itu terlepas dari bibirnya seperti angin yang membawa hawa dingin, meninggalkan Laras dalam kehampaan yang mencekam.
Air mata Laras jatuh lebih deras, membasahi lantai di bawahnya hingga membentuk genangan kecil yang mencerminkan wajahnya yang hancur. “Mas… jangan katakan itu,” ratapnya, suaranya bercampur antara kepedihan dan keputusasaan. Ia merangkak mendekat, tangannya menyentuh ujung sepatu Damar, seolah ingin memohon dengan seluruh raga yang tersisa. Namun, sebelum ia bisa melanjutkan, pintu ruangan terbuka dengan derit pelan—langkah Raka, adik Damar, memecah keheningan yang mencekik.
Raka berdiri di ambang pintu, matanya melebar sesaat saat melihat Laras yang tersungkur di lantai. Rambutnya yang acak-acakan dan sorot matanya yang penuh keheranan seolah bertanya tanpa suara. “Ada apa ini? Kenapa Laras menangis begitu?” tanyanya, nada suaranya bercampur antara rasa ingin tahu dan sindiran halus. Ia melirik ke arah ibunya, Ratna, yang berdiri di sudut ruangan dengan ekspresi penuh kemenangan yang tak bisa disembunyikan.
Ratna melangkah maju, tumit sepatunya berderit di lantai kayu, setiap langkahnya penuh otoritas. Bibirnya melengkung dalam senyuman tipis yang penuh racun. “Ini, Raka,” ucapnya dengan suara yang sengaja diperkeras, “kakakmu baru saja memergoki istrinya sendiri tidur dengan pria lain di kamar mereka!” Kata-kata itu meluncur seperti anak panah beracun, menusuk tepat ke hati Laras yang sudah berdarah-darah.
Raka menoleh ke Laras, matanya menyipit penuh kebencian yang membara. Ia melangkah mendekat, menunduk hingga wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Laras yang basah air mata. “Oh, jadi ini kelakuanmu, Laras?” hardiknya, suaranya menggema seperti petir di ruangan yang sunyi. “Tak cukup merayuku, sekarang kau berani tidur dengan sahabat kakakku? Dasar wanita tak tahu malu!” Ia meludah ke samping, seolah jijik hanya dengan berada di dekatnya.
Damar tersentak, tubuhnya menegang mendengar tuduhan itu. Ia menoleh tajam ke arah Raka, alisnya berkerut dalam kebingungan yang dalam. “Apa maksudmu, Raka? Apa yang kau bicarakan?” Suaranya penuh ketegangan, seperti tali yang hampir putus.
Raka menghela napas panjang, seolah menikmati momen itu. Ia meluruskan punggungnya, lalu menatap Damar dengan sorot mata yang penuh keyakinan. “Kak, sudah lama aku ingin bilang ini. Laras… dia selalu merayuku tiap kali kau tak ada di rumah. Datang ke kamarku dengan pakaian minim, memohon aku untuk… kau tahu lah.” Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung di udara seperti kabut beracun. “Untung aku masih punya hati nurani. Aku tak mau khianati kakakku sendiri.”
“Itu bohong!” Laras bangkit dengan susah payah, tubuhnya gemetar hebat hingga ia hampir jatuh lagi. Matanya membelalak, penuh amarah dan kepedihan yang bercampur jadi satu. “Mas Damar, dia berbohong! Justru Rakalah yang selalu menggodaku, masuk ke kamarku saat kau pergi, memaksaku untuk—” Suaranya tercekat, air mata kembali mengalir membasahi wajahnya yang memerah. “Aku tak pernah mengatkan ini karena aku tahu kamu sangat menyayangi adikmu ini.!”
Damar mengangkat tangan, menghentikan Laras dengan gerakan yang tegas namun penuh kelelahan. “Cukup, Laras. Diam dulu.” Matanya beralih ke Raka, mencari kebenaran di balik sorot mata adiknya yang tampak begitu yakin. “Lanjutkan, Raka. Apa lagi yang kau tahu?”
Raka tersenyum kecil, senyum yang penuh kemenangan licik. “Kemarin, saat kau di luar kota, dia datang lagi ke kamarku. Pakaiannya… kau tak akan percaya, Kak. Dia bilang dia kesepian, bahwa kau tak cukup untuknya. Teentu saja aku tolak mentah-mentah. Aku tak akan jatuh ke dalam perangkapnya.” Ia melirik Laras dengan jijik, seolah ia adalah kotoran yang tak layak disentuh.
Laras menjerit, suaranya melengking penuh keputusasaan. “Kau pembohong, Raka! Kaulah yang datang ke kamarku, kaulah yang terus memaksaku!” Ia menatap Damar, memohon dengan seluruh jiwa yang tersisa. “Mas, percaya padaku… aku bersumpah demi anak kita, aku tak pernah—”
“Anak kita?” Damar memotong, suaranya dingin seperti es yang retak. “Jangan bawa dia ke dalam urusanini, Laras. Kau seharusnya memikirkan anak kita sebelum kau—” Ia tak melanjutkan, tapi sorot matanya penuh dengan luka yang tak terucapkan.
Ratna melangkah maju, suaranya menggelegar penuh otoritas. “Sudah cukup kau dengar alasan murahannya, Damar! Perempuan ini tak lebih dari sampah. Raka tak mungkin tertarik pada wanita miskin dan kampungan seperti dia!” Ia menatap Laras dari atas hingga bawah, senyuman menghina terukir di wajahnya. “Ceraikan saja dia sekarang. Usir dari rumah ini!”
Raka mengangguk setuju, menambahkan dengan nada mencemooh, “Iya, Kak. Biar dia tahu rasa. Sudah miskin, berani pula mengkhianatimu. Memalukan!”
Laras terduduk lagi, napasnya tersengal di antara isakan. Ia menatap Damar dengan mata penuh harapan yang mulai pudar. “Mas… jangan usir aku. Anak kita… siapa yang akan merawatnya jika aku pergi?” Suaranya melemah, hampir hilang ditelan keputusasaan.
Damar menatapnya lama, matanya penuh pergolakan batin. Lalu, ia menghela napas panjang dan berkata dengan nada yang terdengar akhir, “Kau seharusnya memikirkan itu sebelum semuanya terjadi, Laras.
Di sisi lain, Faris yang sedari tadi diam, merasa bersalah dan tak berani menatap langsung ke mata Damar. Sekilas, ia memandang Laras yang tampak begitu hancur. Hatinya terasa berat, tetapi kata-kata tak mampu ia keluarkan. Damar tiba-tiba menoleh ke arah Faris dengan sorot mata dingin dan penuh kecewa.
"Dan kau, Faris," suara Damar pecah di udara yang tegang. "Aku tidak pernah menyangka kamu bisa menghianatiku seperti ini. Selama ini aku menganggapmu sebagai keluarga, tapi ternyata kau menusukku dari belakang. Kenapa, Ris? Kenapa kamu tega?"
Faris terdiam sejenak, kemudian menunduk penuh penyesalan. "Maaf, Damar. Aku… khilaf. Aku benar-benar menyesal, dan aku janji akan meninggalkan Laras. Semua ini salahku, Damar"
Damar menggeleng pelan, menahan rasa sakit dan kecewa yang begitu dalam. "Sudah terlambat, Faris. Itu tidak ada gunanya lagi. Sekarang, tidak ada satu pun yang bisa mengubah keadaan." Damar menatap Faris penuh kecewa. "Aku benar-benar tidak menyangka… dua orang yang paling kupercayai, paling kusayangi, justru menikamku dari belakang seperti ini."
Laras hanya bisa menangis, air matanya terus mengalir tak terbendung. Ingin sekali ia berteriak, membela diri, dan menyatakan bahwa semua ini adalah kebohongan belaka, tapi ia tahu kata-katanya akan sia-sia. Tidak ada satu pun yang akan mempercayainya.
Damar menghela napas panjang, lalu berkata kepada Faris dengan nada tegas, "Sudah, Faris. Pergi saja kau dari sini. Pergi sebelum aku berubah pikiran."
Faris mengangguk pasrah, menyadari bahwa tidak ada lagi yang bisa ia perbuat untuk memperbaiki keadaannya. Saat ia berbalik untuk pergi, ia menoleh sekilas ke arah Laras dengan ekspresi penuh penyesalan. "Maafkan aku, Laras," ucapnya lirih, lalu melangkah keluar tanpa menoleh lagi.
Doni baru saja melangkah menjauh dari ruang tamu, amarahnya masih membara, ketika Raka tersadar dari keterkejutannya. Jantungnya berdegup kencang, pikirannya dipenuhi kecemasan. Kata-kata Doni yang menyebutnya “penghianat” bagaikan belati yang menusuk, membuatnya panik. “Apa dia tahu tentang kecelakaan Damar?” gumam Raka dalam hati, wajahnya memucat. Ia tak bisa membiarkan dugaan itu menggantung. Harus ada kejelasan. Dengan langkah cepat, ia menyusul Doni yang belum jauh, terlihat sedang mengambil kunci motor di dekat pintu masuk. “Doni!” panggil Raka, suaranya tegas namun ada nada gugup. Ia menarik tangan Doni sebelum anak itu sempat melangkah keluar. “Tunggu dulu, Doni. Apa maksudmu berbicara seperti itu tadi? Tolong jelaskan pada Paman!” Doni menghempaskan tangan Raka dengan kasar, matanya menyala penuh kemarahan. “Lepaskan tanganku, Paman!” bentaknya, suaranya dingin dan tajam. Raka tak menyerah. Ia kembali menarik tangan Doni, kali ini lebih kuat. “Tidak! Paman tidak akan me
Di ruang tamu kediaman Damar, suasana terasa berat dan penuh ketegangan. Keluarga berkumpul setelah kunjungan polisi yang membawa kabar bahwa Damar masih belum ditemukan pasca-kecelakaan tragisnya. Doni duduk di sudut sofa, wajahnya pucat, matanya kosong menatap lantai. Meski hubungannya dengan Damar tak pernah dekat, ada rasa kehilangan yang menggerogoti hatinya. Bagaimanapun, ia selalu menganggap Damar sebagai ayahnya, tanpa tahu kenyataan pahit bahwa ia bukan anak kandung Damar. Sofia, dengan wajah penuh keprihatinan, memeluk Doni erat, mencoba menenangkan anaknya. “Doni, sabar, ya, Sayang,” bisiknya, suaranya lembut namun bergetar. “Kita harus berdoa supaya papamu cepat ditemukan. Papa pasti kuat, dia akan baik-baik saja.” Ia mengusap punggung Doni, berharap bisa meredakan kesedihan yang terpancar dari wajah anaknya. Raka, yang berdiri tak jauh dari mereka, mengamati Doni dengan perasaan rumit. Melihat anak kandungnya—yang tak pernah tahu kebenaran tentang ayah sejatinya—begitu
Damar mengemudikan mobilnya dengan pikiran yang kacau, kata-kata Indira masih bergema di kepalanya seperti lonceng yang tak henti berdentang. “Sebaiknya Anda cari tahu, apakah anak yang selama ini Anda akui sebagai anak kandung Anda justru bukan anak Anda.” Apa maksudnya? Apakah Indira hanya mempermainkannya, melempar kata-kata penuh dendam untuk membingungkannya? “Dia membenciku,” gumam Damar, jari-jarinya mencengkeram kemudi lebih erat, matanya menyipit menatap jalan yang mulai sepi. “Tapi… bagaimana jika dia tahu sesuatu yang tidak kuketahui?” Keraguan itu seperti duri, menusuk-nusuk pikirannya, membuatnya tak bisa fokus. Jalanan di depannya membentang lenggang, hanya dikelilingi pepohonan tinggi dan semak belukar di kedua sisi. Sinar matahari senja menyelinap di sela-sela daun, menciptakan bayang-bayang yang bergoyang di aspal. Damar, tanpa sadar, menekan pedal gas lebih dalam, mobilnya melaju kencang, mencerminkan kegelisahan yang membuncah di dadanya. Ia tak memperhatikan bahwa
Damar menarik napas dalam, menyadari percakapan ini akan menjadi salah satu yang tersulit dalam hidupnya. Ia menatap Indira, berharap ketulusannya tersampaikan. “Ayah ingin mencari kebenaran, Indira,” ucapnya, suaranya penuh ketulusan namun bergetar karena beban emosi. “Ayah mulai ragu dengan semua yang dulu Ayah percaya. Ayah perlu tahu… apakah kamu benar-benar anakku. Dan jika iya, Ayah ingin meminta maaf—kepadamu, kepada ibumu—atas semua yang sudah Ayah lakukan.” Kata-kata itu, yang dimaksudkan sebagai ungkapan penyesalan, justru seperti percikan api di tumpukan kayu kering. Wajah Indira memerah, matanya menyala penuh kemarahan. Ia mengepalkan tangan di atas meja, dokumen yang tadinya ia pegang terlepas dari genggamannya. “Jadi, kalau saya bukan anak Anda, Anda tidak akan meminta maaf atas apa yang Anda dan keluarga Anda lakukan pada kami?” bentaknya, suaranya tegas namun penuh luka yang terpendam. “Kalau Anda masih percaya Ibu saya selingkuh di belakang Anda, sebaiknya Anda pergi
Keesokan paginya, Damar bangun dengan tekad yang kian membara. Meski tubuhnya masih terasa lemah, pikirannya tak bisa diam. Ia harus menemukan Faris, kunci untuk mengungkap kebenaran di balik tuduhan perselingkuhan Laras yang menghancurkan hidupnya. Setelah sekian tahun tak pernah menginjakkan kaki di lingkungan tempat Faris dulu tinggal, Damar melajukan mobilnya menuju alamat yang masih ia ingat samar-samar. Jalanan yang dulu familiar kini terasa asing—pohon-pohon besar telah diganti rumah-rumah baru, dan warung kecil di sudut jalan telah lenyap. Namun, Damar berharap Faris masih tinggal di rumah lamanya, meski firasatnya berkata lain. Sesampainya di depan rumah sederhana yang dulu sering ia kunjungi, Damar memarkir mobil dan menatap bangunan itu. Cat dinding yang dulu cerah kini pudar, dan taman kecil di depan rumah telah diganti pagar besi. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan debaran di dadanya, lalu melangkah menuju pintu. Setelah mengetuk beberapa kali, pintu terbuka per
Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, Damar akhirnya diperbolehkan pulang. Tubuhnya masih lemah, namun semangatnya perlahan kembali. Kejadian ketika Sofia datang menjenguknya dan berujung pada pertengkaran hebat masih membekas di pikirannya. Sejak saat itu, Sofia tak pernah muncul lagi, tak ada kabar, tak ada kunjungan. Hanya Ratna dan Raka yang datang sekali, sekilas, seolah hanya memenuhi formalitas. Hari ini, kepulangan Damar pun tak dijemput keluarga; sekretarisnya, Lila, yang setia membantunya kembali ke rumah. Sesampainya di depan rumah, Lila membantu Damar turun dari mobil. “Saya antar sampai dalam, Pak?” tanya Andi, nada suaranya penuh perhatian. Damar menggeleng pelan, wajahnya pucat namun tegas. “Tidak perlu, Lila. Pulanglah, kamu sudah banyak membantu. Aku bisa sendiri,” ucapnya, suaranya rendah namun penuh keyakinan. Andi mengangguk, meski ragu, lalu meninggalkan Damar setelah memastikan majikannya sampai di depan pintu. Pintu rumah terbuka, dan asisten rumah tangga