Share

Tes DNA

Author: mangpurna
last update Huling Na-update: 2024-10-28 22:08:35

Laras terdiam, jantungnya seperti berhenti berdetak saat pertanyaan polos Indira menggantung di udara. Cahaya lampu dapur yang redup memantulkan bayangan wajahnya di meja kayu tua, dan untuk sesaat, ia merasa dunia di sekitarnya menyusut menjadi ruang kecil yang penuh tekanan. Bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang begitu rumit pada anaknya yang masih polos, tanpa menggores luka di hati kecil itu? Ia menarik napas dalam, mengumpulkan serpihan kekuatannya yang tersisa, lalu menatap Indira dengan senyum lembut yang ia paksa muncul.

“Tes DNA itu…” ucapnya pelan, suaranya lembut seperti angin yang menyapu daun kering, “semacam cara untuk memastikan hubungan antara satu orang dengan orang lainnya, sayang. Untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar keluarga.” Ia menjaga nada suaranya tetap tenang, meski di dalam dadanya, badai sedang mengamuk.

Indira mengerutkan dahi, matanya yang jernih memandang ibunya dengan kebingungan yang lugu. “Berarti… buat bukti kalau aku benar anak Ayah, ya?”

Laras mengangguk kecil, tangannya gemetar saat ia mengelus rambut Indira. Air matanya hampir tumpah, tapi ia menahannya dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki. “Iya, sayang… tapi kamu jangan khawatir, ya. Kamu selalu akan jadi anak Ayah dan Ibu. Kami sayang sama kamu—itu yang paling penting.” Kata-kata itu terasa berat di lidahnya, namun ia tahu, kebohongan kecil ini adalah pelindung terbaik untuk hati Indira saat ini.

Indira tersenyum kecil, senyum yang sederhana namun cukup untuk membuat Laras menahan napas lega sejenak. Anak itu tampak belum sepenuhnya memahami, tapi kehangatan di wajahnya seperti sinar matahari yang menyelinap di antara awan kelam. Laras memeluknya erat, mencium aroma rambutnya yang harum, dan untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa ketakutan yang begitu nyata—ketakutan kehilangan keluarga kecil yang telah ia perjuangkan dengan darah dan air mata.

---

Pagi itu, udara di Rumah Sakit Kasih Bunda terasa lebih dingin dari biasanya, seolah membawa hawa ketegangan yang tak terucapkan. Ruang tunggu yang sunyi dipenuhi derap langkah pelan dan desah napas yang tertahan. Damar duduk di salah satu sisi, tubuhnya kaku, matanya terpaku pada lantai ubin yang mengkilap, menghindari tatapan Laras yang penuh permohonan dari kejauhan. Di sampingnya, Indira duduk erat memeluk lengan ibunya, wajah polosnya bercampur kebingungan dan sedikit ketakutan.

“Bu, kalau tes DNA itu aku disuntik, ya? Sakit nggak, Bu?” tanya Indira, suaranya kecil dan penuh kekhawatiran, matanya membulat menatap Laras.

Laras menoleh, memaksakan senyum lembut meski hatinya terasa seperti diremas. Ia menggenggam tangan kecil Indira, jari-jarinya yang hangat membungkus jemari anaknya dengan penuh kasih. “Indira sayang, kamu nggak perlu takut, ya,” ucapnya, suaranya lembut seperti bisikan yang menenangkan. “Cuma sedikit disuntik, seperti digigit semut kecil—nggak akan sakit kok.”

“Bener ya, Bu? Nggak sakit?” Indira memeluk lengan Laras lebih erat, nadanya masih ragu. “Soalnya Indira takut sama jarum suntik…”

“Ibu nggak bohong, sayang,” jawab Laras, mengelus punggung Indira dengan gerakan pelan yang penuh kelembutan. “Ibu akan selalu di sini, di samping kamu. Begini, kalau Indira berani, nanti Ibu belikan es krim kesukaanmu, ya?”

Mata Indira berbinar seketika, senyum kecil merekah di wajahnya yang polos. “Bener ya, Bu? Janji?”

“Iya, sayang, Ibu janji,” ucap Laras, meski di dalam hatinya, beban berat terus menggerogoti. Di sudut ruangan, Ratna mendengus pelan, ekspresi sinis melintasi wajahnya seperti bayangan buruk yang tak pernah pergi.

Setelah menanti dalam keheningan yang terasa abadi, giliran Indira akhirnya tiba. Tes DNA berjalan lancar, meski Laras tak bisa mengusir rasa gugup yang mencengkeram dadanya. Jarum kecil menusuk lengan Indira, dan anak itu hanya meringis sebentar sebelum tersenyum lagi saat Laras memeluknya erat. Mereka kembali ke ruang tunggu, Damar tetap diam di sudutnya, tenggelam dalam lautan pikiran yang kelam. Ratna berdiri dekat pintu, tangannya terlipat di dada, matanya tajam dan penuh kepuasan yang dingin.

“Mas,” Laras memecah keheningan, suaranya penuh harap meski rapuh, “aku harap setelah ini kamu nggak akan pernah lagi meragukan bahwa Indira adalah anakmu.”

Damar tak menjawab, matanya tetap tertunduk, namun Ratna segera menyela dengan langkah cepat. “Tidak bisa semudah itu, Laras,” potongnya, suaranya dingin seperti es yang retak. “Semua tergantung hasilnya. Kalau Indira benar anak Damar, tentu dia akan kembali menyayanginya seperti dulu. Tapi kalau tidak…” Ia menatap Laras dengan ancaman yang terpancar jelas, “siap-siap saja kalian kami usir dari rumah.”

Laras menegakkan pundaknya, menatap Ratna dengan keyakinan yang gemetar namun tak padam. “Aku yakin, Bu,” balasnya, suaranya bergetar tapi teguh. “Indira anak kandung kami.”

“Ya, kita lihat saja besok,” sambar Ratna, senyum sinisnya seperti pisau yang siap mengiris. Ia berbalik, meninggalkan percakapan itu dengan nada penuh kemenangan yang menusuk.

Laras terdiam, matanya beralih ke Indira yang kini bersandar lelet di lengannya, kelelahan mulai menguasai tubuh kecil itu. Bayangan hasil tes esok hari membayang di benaknya, menggenggam hatinya dengan cengkeraman cemas yang tak terucapkan. Damar melirik sekilas ke arah Indira, dan untuk sesaat, ada kilatan kerinduan di matanya—namun segera tenggelam di balik tembok keraguan yang telah dibangun Ratna.

---

Keesokan harinya, ruang kantor Dokter Surya terasa lebih sunyi dari biasanya, udaranya tebal dengan ketegangan yang hampir bisa disentuh. Laras duduk dengan tangan mengepal erat di pangkuannya, kuku-kukunya menusuk telapak tangan hingga meninggalkan bekas merah. Damar duduk di sampingnya, wajahnya tegang seperti tali yang siap putus, sementara Ratna menatap lurus ke depan, senyum kecil penuh kemenangan terselip di sudut bibirnya. Dokter Surya, pria paruh baya dengan rambut beruban dan kacamata tebal, duduk di meja depan mereka, memegang berkas hasil tes DNA dengan tangan yang tenang namun penuh kehati-hatian.

Dokter Surya menghela napas pelan, menyesuaikan posisi kacamatanya sebelum berbicara. “Baik, Pak Damar, Bu Laras, dan Bu Ratna,” ucapnya, suaranya datar namun sarat makna. “Saya akan menjelaskan hasil tes DNA yang telah kita lakukan kemarin.”

Laras menahan napas, tubuhnya membeku seolah waktu berhenti berputar. Ia memejamkan mata sejenak, berdoa dalam hati agar kebenaran yang ia pegang teguh selama ini akan bersinar terang. Ratna, di sisi lain, memandang dokter dengan antusiasme yang tak disembunyikan, matanya berkilat penuh harapan akan kehancuran Laras.

“Kami telah melakukan serangkaian tes dengan prosedur yang sangat teliti,” lanjut Dokter Surya, jari-jarinya membuka berkas di depannya. “Hasil ini adalah analisis dari sampel DNA yang diambil dari Tuan Damar dan putri kecil Anda, Indira. Kami membandingkan data genetik di antara keduanya untuk menentukan hubungan biologis…”

Laras meremas tangannya lebih erat, denyut nadinya terasa seperti drum yang berdentang di telinga. Damar menatap lurus ke depan, matanya kosong namun penuh pergolakan yang tersembunyi. Ratna bersandar sedikit ke depan, napasnya hampir terdengar sebagai desis kecil penuh antisipasi.

Dokter Surya menghela napas lagi, tatapannya beralih ke Damar dengan ekspresi serius. “Berdasarkan hasil tes yang kami lakukan, saya harus menyampaikan bahwa… hasil DNA menunjukkan bahwa tidak ada kecocokan antara sampel DNA dari Bapak Damar dan Indira.”

Dunia Laras runtuh dalam sekejap. Ruangan itu terasa berputar, udara seolah menghilang dari paru-parunya. Matanya membelalak, napasnya tersengal, dan untuk sesaat, ia tak bisa mendengar apa-apa selain deru darah di telinganya. “Dengan kata lain,” lanjut Dokter Surya dengan nada hati-hati, “secara ilmiah, hasil ini menyatakan bahwa Indira bukan anak kandung dari Bapak Damar.”

Kata-kata itu jatuh seperti palu godam, menghancurkan benteng terakhir yang selama ini melindungi hati Laras. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar—hanya isakan kecil yang tersangkut di tenggorokan. Air mata yang ia tahan akhirnya pecah, mengalir deras membasahi wajahnya yang pucat. Ia ingin menjerit, ingin memprotes, tapi tubuhnya terasa mati rasa, terpaku pada kursi seperti patung yang retak.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • I'm Sorry Laras   rahasia terkuak

    Doni baru saja melangkah menjauh dari ruang tamu, amarahnya masih membara, ketika Raka tersadar dari keterkejutannya. Jantungnya berdegup kencang, pikirannya dipenuhi kecemasan. Kata-kata Doni yang menyebutnya “penghianat” bagaikan belati yang menusuk, membuatnya panik. “Apa dia tahu tentang kecelakaan Damar?” gumam Raka dalam hati, wajahnya memucat. Ia tak bisa membiarkan dugaan itu menggantung. Harus ada kejelasan. Dengan langkah cepat, ia menyusul Doni yang belum jauh, terlihat sedang mengambil kunci motor di dekat pintu masuk. “Doni!” panggil Raka, suaranya tegas namun ada nada gugup. Ia menarik tangan Doni sebelum anak itu sempat melangkah keluar. “Tunggu dulu, Doni. Apa maksudmu berbicara seperti itu tadi? Tolong jelaskan pada Paman!” Doni menghempaskan tangan Raka dengan kasar, matanya menyala penuh kemarahan. “Lepaskan tanganku, Paman!” bentaknya, suaranya dingin dan tajam. Raka tak menyerah. Ia kembali menarik tangan Doni, kali ini lebih kuat. “Tidak! Paman tidak akan me

  • I'm Sorry Laras   Sikap yang berubah

    Di ruang tamu kediaman Damar, suasana terasa berat dan penuh ketegangan. Keluarga berkumpul setelah kunjungan polisi yang membawa kabar bahwa Damar masih belum ditemukan pasca-kecelakaan tragisnya. Doni duduk di sudut sofa, wajahnya pucat, matanya kosong menatap lantai. Meski hubungannya dengan Damar tak pernah dekat, ada rasa kehilangan yang menggerogoti hatinya. Bagaimanapun, ia selalu menganggap Damar sebagai ayahnya, tanpa tahu kenyataan pahit bahwa ia bukan anak kandung Damar. Sofia, dengan wajah penuh keprihatinan, memeluk Doni erat, mencoba menenangkan anaknya. “Doni, sabar, ya, Sayang,” bisiknya, suaranya lembut namun bergetar. “Kita harus berdoa supaya papamu cepat ditemukan. Papa pasti kuat, dia akan baik-baik saja.” Ia mengusap punggung Doni, berharap bisa meredakan kesedihan yang terpancar dari wajah anaknya. Raka, yang berdiri tak jauh dari mereka, mengamati Doni dengan perasaan rumit. Melihat anak kandungnya—yang tak pernah tahu kebenaran tentang ayah sejatinya—begitu

  • I'm Sorry Laras   menjalankan rencana

    Damar mengemudikan mobilnya dengan pikiran yang kacau, kata-kata Indira masih bergema di kepalanya seperti lonceng yang tak henti berdentang. “Sebaiknya Anda cari tahu, apakah anak yang selama ini Anda akui sebagai anak kandung Anda justru bukan anak Anda.” Apa maksudnya? Apakah Indira hanya mempermainkannya, melempar kata-kata penuh dendam untuk membingungkannya? “Dia membenciku,” gumam Damar, jari-jarinya mencengkeram kemudi lebih erat, matanya menyipit menatap jalan yang mulai sepi. “Tapi… bagaimana jika dia tahu sesuatu yang tidak kuketahui?” Keraguan itu seperti duri, menusuk-nusuk pikirannya, membuatnya tak bisa fokus. Jalanan di depannya membentang lenggang, hanya dikelilingi pepohonan tinggi dan semak belukar di kedua sisi. Sinar matahari senja menyelinap di sela-sela daun, menciptakan bayang-bayang yang bergoyang di aspal. Damar, tanpa sadar, menekan pedal gas lebih dalam, mobilnya melaju kencang, mencerminkan kegelisahan yang membuncah di dadanya. Ia tak memperhatikan bahwa

  • I'm Sorry Laras   pertemuan dengan indira

    Damar menarik napas dalam, menyadari percakapan ini akan menjadi salah satu yang tersulit dalam hidupnya. Ia menatap Indira, berharap ketulusannya tersampaikan. “Ayah ingin mencari kebenaran, Indira,” ucapnya, suaranya penuh ketulusan namun bergetar karena beban emosi. “Ayah mulai ragu dengan semua yang dulu Ayah percaya. Ayah perlu tahu… apakah kamu benar-benar anakku. Dan jika iya, Ayah ingin meminta maaf—kepadamu, kepada ibumu—atas semua yang sudah Ayah lakukan.” Kata-kata itu, yang dimaksudkan sebagai ungkapan penyesalan, justru seperti percikan api di tumpukan kayu kering. Wajah Indira memerah, matanya menyala penuh kemarahan. Ia mengepalkan tangan di atas meja, dokumen yang tadinya ia pegang terlepas dari genggamannya. “Jadi, kalau saya bukan anak Anda, Anda tidak akan meminta maaf atas apa yang Anda dan keluarga Anda lakukan pada kami?” bentaknya, suaranya tegas namun penuh luka yang terpendam. “Kalau Anda masih percaya Ibu saya selingkuh di belakang Anda, sebaiknya Anda pergi

  • I'm Sorry Laras   mencari faris

    Keesokan paginya, Damar bangun dengan tekad yang kian membara. Meski tubuhnya masih terasa lemah, pikirannya tak bisa diam. Ia harus menemukan Faris, kunci untuk mengungkap kebenaran di balik tuduhan perselingkuhan Laras yang menghancurkan hidupnya. Setelah sekian tahun tak pernah menginjakkan kaki di lingkungan tempat Faris dulu tinggal, Damar melajukan mobilnya menuju alamat yang masih ia ingat samar-samar. Jalanan yang dulu familiar kini terasa asing—pohon-pohon besar telah diganti rumah-rumah baru, dan warung kecil di sudut jalan telah lenyap. Namun, Damar berharap Faris masih tinggal di rumah lamanya, meski firasatnya berkata lain. Sesampainya di depan rumah sederhana yang dulu sering ia kunjungi, Damar memarkir mobil dan menatap bangunan itu. Cat dinding yang dulu cerah kini pudar, dan taman kecil di depan rumah telah diganti pagar besi. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan debaran di dadanya, lalu melangkah menuju pintu. Setelah mengetuk beberapa kali, pintu terbuka per

  • I'm Sorry Laras   Damar pulang

    Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, Damar akhirnya diperbolehkan pulang. Tubuhnya masih lemah, namun semangatnya perlahan kembali. Kejadian ketika Sofia datang menjenguknya dan berujung pada pertengkaran hebat masih membekas di pikirannya. Sejak saat itu, Sofia tak pernah muncul lagi, tak ada kabar, tak ada kunjungan. Hanya Ratna dan Raka yang datang sekali, sekilas, seolah hanya memenuhi formalitas. Hari ini, kepulangan Damar pun tak dijemput keluarga; sekretarisnya, Lila, yang setia membantunya kembali ke rumah. Sesampainya di depan rumah, Lila membantu Damar turun dari mobil. “Saya antar sampai dalam, Pak?” tanya Andi, nada suaranya penuh perhatian. Damar menggeleng pelan, wajahnya pucat namun tegas. “Tidak perlu, Lila. Pulanglah, kamu sudah banyak membantu. Aku bisa sendiri,” ucapnya, suaranya rendah namun penuh keyakinan. Andi mengangguk, meski ragu, lalu meninggalkan Damar setelah memastikan majikannya sampai di depan pintu. Pintu rumah terbuka, dan asisten rumah tangga

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status