Home / Romansa / I'm Sorry Laras / Kekecewaan Damar

Share

Kekecewaan Damar

Author: mangpurna
last update Huling Na-update: 2024-10-30 17:53:35

Damar menatap hasil tes yang tergeletak di tangan Dokter Surya, deretan huruf dan angka di kertas itu seperti belati yang perlahan merobek-robek jantungnya. Setiap kata yang tercetak terasa hidup, menusuk jauh ke dalam kepercayaan yang selama ini ia junjung. Matanya terpaku, tak berkedip, seolah mencoba menemukan celah—sesuatu yang bisa membuktikan bahwa ini semua hanyalah kekeliruan. Perlahan, gumamannya pecah di antara keheningan ruangan, hampir tak terdengar, “Jadi… benar? Indira… bukan anakku?”

Laras, yang duduk di sampingnya, merasa lantai di bawahnya runtuh. Dunia yang ia bangun dengan cinta dan air mata kini ambruk, meninggalkan puing-puing harapan yang tercerai-berai. Ia menoleh ke Damar, matanya membelalak penuh ketidakpercayaan. “Tidak, Mas… ini pasti ada kesalahan,” ucapnya, suaranya bergetar namun dipenuhi keyakinan terakhir yang ia genggam erat. “Aku yakin ada yang menukar hasil tesnya—ini nggak mungkin benar!”

Dokter Surya menggelengkan kepala, kerutan di dahinya memperlihatkan simpati yang tulus. Ia menatap Laras dengan pandangan lembut namun tegas, seperti seseorang yang terpaksa menyampaikan kabar buruk. “Maaf, Bu Laras,” katanya, suaranya tenang namun penuh otoritas. “Semua prosedur yang kami lakukan sudah sesuai standar tertinggi di rumah sakit ini. Kami tidak mungkin menukar hasil tes DNA. Reputasi Rumah Sakit Kasih Bunda adalah sesuatu yang kami jaga dengan sangat serius.”

Ratna, yang berdiri di sudut ruangan, melangkah maju dengan senyum puas yang tak bisa disembunyikan. Matanya menyala penuh kemenangan, sorotnya tajam menusuk Laras seperti pisau yang diasah dengan dendam. “Dengar itu, Laras,” sambarnya, nada suaranya dingin dan penuh ejekan. “Jangan seenaknya menuduh orang lain! Sudah jelas-jelas anakmu itu bukan anak Damar. Mau menyangkal apa lagi sekarang?”

Laras menoleh ke Ratna, matanya basah oleh air mata yang mulai menggenang, namun ada api kecil yang masih menyala di dalamnya—api keputusasaan yang bercampur keyakinan. “Bu… saya bersumpah demi apa saja,” ucapnya, suaranya pecah namun penuh tekad, “Indira adalah anak kami. Saya tidak pernah—tidak pernah—berhubungan dengan laki-laki lain selain Mas Damar.”

“Alah, jangan banyak drama!” Ratna memotong dengan kasar, suaranya meninggi seperti cambuk yang mencabik udara. Matanya berkilat penuh kebencian yang tak lagi disembunyikan. “Buktinya, dua hari lalu kamu ketahuan bersama laki-laki lain! Jangan sok polos, Laras. Semua orang tahu kamu perempuan seperti apa—murahan dan tak tahu malu!”

Ruangan itu kini terasa seperti medan perang, udaranya tebal oleh ketegangan yang hampir bisa disentuh. Dokter Surya, yang menyaksikan pertukaran kata-kata itu, mengangkat tangan dengan gerakan halus namun tegas, mencoba meredakan situasi yang kian memanas. “Mohon maaf, Ibu Ratna,” ucapnya, nadanya sopan namun penuh wibawa, “jika ingin melanjutkan perdebatan ini, mungkin lebih baik dilakukan di luar. Tugas saya hanya menyampaikan hasil tes, bukan menjadi saksi konflik keluarga.”

Damar mengangguk pelan, wajahnya kaku seolah emosinya telah membeku. Ia menarik napas dalam, mencoba menjaga kendali atas dirinya yang mulai retak. “Maafkan kami, Dok,” ucapnya singkat, suaranya datar. “Terima kasih untuk penjelasannya.” Ia bangkit dari kursi, pundaknya membungkuk sedikit seolah membawa beban tak terlihat, lalu berjalan menuju pintu.

Namun, sebelum ia melangkah lebih jauh, tangan Laras mencengkeram lengannya dengan putus asa. Air matanya kini mengalir deras, membanjiri wajahnya yang pucat. “Mas, jangan pergi dulu…” pintanya, suaranya tersendat oleh isakan yang tak bisa ia tahan lagi. “Aku mohon, Mas… kita tes ulang sekali lagi. Aku yakin ini salah—aku tahu ada yang nggak beres!”

“Sudah cukup, Laras,” potong Damar tajam, suaranya dingin seperti es yang baru pecah dari gunung. Ia menarik tangannya dari genggaman Laras, gerakan itu penuh penolakan yang menusuk hati. “Semuanya sudah jelas. Nggak perlu tes ulang lagi. Aku nggak mau mempermalukan diri lebih jauh di sini.” Matanya tak lagi menatap Laras, melainkan lurus ke depan, penuh kekosongan yang mengerikan.

Ratna tersenyum sinis, langkahnya ringan saat ia mendekati Damar. “Dengar itu, Laras!” serunya, nada suaranya penuh kepuasan yang beracun. “Berhenti mempermalukan kami di depan Dokter Surya. Bukti sudah ada—kau tak bisa kabur dari kebenaran ini!”

Tanpa menoleh lagi, Damar melangkah keluar, diikuti Ratna yang berjalan dengan anggun penuh kemenangan. Pintu ruangan tertutup dengan bunyi pelan, meninggalkan Laras sendirian di kursinya. Isakannya kini pecah tak tertahankan, mengisi ruangan dengan suara kepedihan yang mentah. Ia tersungkur ke lantai, tangannya mencengkeram dada seolah ingin merobek rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Dokter Surya menatapnya dengan simpati yang dalam, namun tak ada kata yang bisa ia ucapkan untuk meringankan beban itu.

---

Di dalam mobil yang melaju perlahan menuju rumah, Damar memegang kemudi dengan tangan yang kaku, wajahnya penuh luka yang tak bisa disembunyikan. Matanya berkaca-kaca, mencerminkan langit senja yang merona di luar jendela, namun tak ada kehangatan di dalamnya. Ratna duduk di sampingnya, meliriknya dengan tatapan penuh perhitungan. Setiap detik perjalanan ini adalah kesempatan emas baginya untuk menusuk lebih dalam, untuk memastikan Damar tak akan pernah kembali pada Laras.

“Bagus, Damar,” ucap Ratna, nada suaranya dibuat lembut namun penuh kepuasan yang terselubung. “Kamu mengambil langkah yang tepat dengan meninggalkan Laras sendirian di rumah sakit. Biar dia rasakan sendiri akibat perbuatannya.”

Damar tak menjawab, pandangannya lurus ke jalan yang membentang di depannya. Namun, tangannya mencengkeram kemudi lebih erat, dan suara kecil akhirnya pecah dari bibirnya, hampir seperti bisikan pada dirinya sendiri. “Bu… kenapa Laras tega melakukan ini padaku?” Matanya berkilat oleh air mata yang ia tahan. “Apa kurangnya aku, Bu? Aku sudah memberikan segalanya untuknya… aku mencintainya dengan sepenuh hati. Tapi ternyata dia menghianatiku seperti ini.”

Ratna menepuk bahunya dengan gerakan pura-pura penuh kasih, bibirnya melengkung dalam senyum yang dibalut kepalsuan. “Dengar ya, Nak,” ucapnya, suaranya manis namun penuh manipulasi. “Kamu harus sabar. Ini semua mungkin ujian dari Tuhan. Coba kamu dengarkan Ibu dari dulu, kamu nggak akan hancur seperti sekarang. Ibu sudah bilang, tapi waktu itu kamu dibutakan oleh cinta.”

Damar tersenyum pahit, ujung bibirnya bergetar seolah menahan seribu penyesalan. “Maaf, Bu. Mungkin Ibu benar,” gumamnya, suaranya rendah dan penuh keputusasaan. “Aku terlalu bodoh… sampai nggak bisa lihat siapa dia sebenarnya.”

Ratna mengangguk, keyakinannya semakin kuat bahwa Damar akhirnya berada di bawah kendalinya. “Yang penting sekarang kamu sudah sadar,” ucapnya, nada suaranya naik sedikit, penuh dorongan. “Kamu tahu Laras bukan wanita baik-baik. Ceraikan saja dia, Damar. Usir dia dari hidupmu—begitu juga anaknya. Kamu nggak berutang apa-apa pada mereka.”

Damar menghela napas panjang, matanya menatap ke kejauhan seolah mencari jawaban di balik cakrawala yang memudar. Perlahan, ia menggelengkan kepala. “Tidak, Bu,” ucapnya, suaranya kini lebih dingin, lebih tegas. “Aku nggak akan menceraikan Laras, dan aku nggak akan mengusir Indira.”

Ratna mengerutkan alis, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Kenapa, Damar?” tanyanya, nada suaranya naik, penuh kejutan dan kekesalan. “Apa kamu masih mencintai Laras?”

Damar menatap lurus ke depan, matanya membeku seperti danau di musim dingin. “Tidak, Bu,” jawabnya, suaranya datar meski ada kebohongan kecil yang ia sembunyikan—di sudut hatinya yang paling dalam, bara cinta untuk Laras masih menyala, meski redup. “Aku nggak mencintainya lagi. Tapi aku ingin menghukumnya. Dengan dia masih jadi istriku, dia nggak akan bisa menikah lagi atau keluar dari rumahku. Dia akan terjebak bersamaku. Aku akan buat dia merasakan penderitaan yang sama yang dia berikan padaku.”

Ratna mencoba menyembunyikan kekesalannya, meski bibirnya mengeras dan matanya menyipit. Rencana ini tak sesuai dengan keinginannya—ia ingin Laras lenyap sepenuhnya, bukan sekadar menderita di bawah atap yang sama. “Terus… bagaimana dengan Indira?” tanyanya, suaranya penuh racun yang ia samarkan dengan nada penasaran.

“Indira…” Damar menghela napas lagi, pandangannya melayang ke langit senja yang perlahan gelap. “Dia nggak bersalah, Bu. Dia cuma anak kecil. Bagaimana aku tega menyakitinya? Dia nggak minta dilahirkan dalam kekacauan ini. Aku nggak mau dia menderita… meski dia bukan darah dagingku.”

Ratna menggertakkan gigi, amarahnya hampir tak bisa disembunyikan lagi. “Kamu jangan bodoh, Damar!” sambarnya, suaranya meninggi dengan nada penuh tekanan. “Indira itu bukan anakmu! Dia anak dari hubungan kotor ibunya dengan pria lain. Jangan beri dia ruang di hatimu—itu sama saja membiarkan pengkhianatan Laras hidup di depan matamu!”

Damar terdiam, tenggelam dalam lautan perasaan yang berputar liar di dalam dadanya. “Aku tahu, Bu,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan. “Tapi… aku sudah terlanjur mencintainya.”

Ratna mencengkeram tangannya dengan erat, kuku-kukunya hampir menusuk kulit Damar. “Usir saja dia, Damar!” desisnya, suaranya dingin dan penuh urgensi. “Selesaikan masalahmu sekarang juga. Kamu nggak perlu menanggung anak dari pria lain. Kalau kamu biarkan dia tinggal, kamu akan terus menderita—setiap hari melihat bayangan pengkhianatan Laras di wajahnya!”

Damar memejamkan mata sejenak, seolah ingin menutup dunia dari semua kebisingan yang mengguncangnya. Napasnya bergetar saat ia membukanya lagi, tatapannya kosong namun penuh keteguhan. “Maaf, Bu,” ucapnya akhirnya, suaranya rendah namun tegas. “Aku nggak bisa melakukannya.”

Ratna menatapnya dengan sorot mata yang tajam, penuh kebencian yang kini tak lagi ia sembunyikan. Ia melipat tangannya di dada, memalingkan wajah ke jendela dengan gerakan penuh kemarahan. “Terserah kamu, Damar,” ucapnya dingin, setiap kata terasa seperti kutukan. “Tapi ingat kata-kata Ibu ini… suatu hari nanti, kamu akan menyesal karena keputusanmu ini.”

Mobil melaju dalam keheningan yang mencekam, hanya suara mesin dan angin malam yang menyelinap melalui celah jendela. Damar tenggelam dalam pikirannya, terjebak antara luka yang membakar hatinya dan cinta yang masih tersisa untuk Indira—dan, dalam diam, untuk Laras. Di sampingnya, Ratna duduk dengan wajah penuh dendam, merencanakan langkah berikutnya untuk memastikan kehancuran yang ia impikan benar-benar tercapai. Di luar, malam semakin gelap, menyelimuti mereka dalam bayangan yang tak kunjung usai.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • I'm Sorry Laras   rahasia terkuak

    Doni baru saja melangkah menjauh dari ruang tamu, amarahnya masih membara, ketika Raka tersadar dari keterkejutannya. Jantungnya berdegup kencang, pikirannya dipenuhi kecemasan. Kata-kata Doni yang menyebutnya “penghianat” bagaikan belati yang menusuk, membuatnya panik. “Apa dia tahu tentang kecelakaan Damar?” gumam Raka dalam hati, wajahnya memucat. Ia tak bisa membiarkan dugaan itu menggantung. Harus ada kejelasan. Dengan langkah cepat, ia menyusul Doni yang belum jauh, terlihat sedang mengambil kunci motor di dekat pintu masuk. “Doni!” panggil Raka, suaranya tegas namun ada nada gugup. Ia menarik tangan Doni sebelum anak itu sempat melangkah keluar. “Tunggu dulu, Doni. Apa maksudmu berbicara seperti itu tadi? Tolong jelaskan pada Paman!” Doni menghempaskan tangan Raka dengan kasar, matanya menyala penuh kemarahan. “Lepaskan tanganku, Paman!” bentaknya, suaranya dingin dan tajam. Raka tak menyerah. Ia kembali menarik tangan Doni, kali ini lebih kuat. “Tidak! Paman tidak akan me

  • I'm Sorry Laras   Sikap yang berubah

    Di ruang tamu kediaman Damar, suasana terasa berat dan penuh ketegangan. Keluarga berkumpul setelah kunjungan polisi yang membawa kabar bahwa Damar masih belum ditemukan pasca-kecelakaan tragisnya. Doni duduk di sudut sofa, wajahnya pucat, matanya kosong menatap lantai. Meski hubungannya dengan Damar tak pernah dekat, ada rasa kehilangan yang menggerogoti hatinya. Bagaimanapun, ia selalu menganggap Damar sebagai ayahnya, tanpa tahu kenyataan pahit bahwa ia bukan anak kandung Damar. Sofia, dengan wajah penuh keprihatinan, memeluk Doni erat, mencoba menenangkan anaknya. “Doni, sabar, ya, Sayang,” bisiknya, suaranya lembut namun bergetar. “Kita harus berdoa supaya papamu cepat ditemukan. Papa pasti kuat, dia akan baik-baik saja.” Ia mengusap punggung Doni, berharap bisa meredakan kesedihan yang terpancar dari wajah anaknya. Raka, yang berdiri tak jauh dari mereka, mengamati Doni dengan perasaan rumit. Melihat anak kandungnya—yang tak pernah tahu kebenaran tentang ayah sejatinya—begitu

  • I'm Sorry Laras   menjalankan rencana

    Damar mengemudikan mobilnya dengan pikiran yang kacau, kata-kata Indira masih bergema di kepalanya seperti lonceng yang tak henti berdentang. “Sebaiknya Anda cari tahu, apakah anak yang selama ini Anda akui sebagai anak kandung Anda justru bukan anak Anda.” Apa maksudnya? Apakah Indira hanya mempermainkannya, melempar kata-kata penuh dendam untuk membingungkannya? “Dia membenciku,” gumam Damar, jari-jarinya mencengkeram kemudi lebih erat, matanya menyipit menatap jalan yang mulai sepi. “Tapi… bagaimana jika dia tahu sesuatu yang tidak kuketahui?” Keraguan itu seperti duri, menusuk-nusuk pikirannya, membuatnya tak bisa fokus. Jalanan di depannya membentang lenggang, hanya dikelilingi pepohonan tinggi dan semak belukar di kedua sisi. Sinar matahari senja menyelinap di sela-sela daun, menciptakan bayang-bayang yang bergoyang di aspal. Damar, tanpa sadar, menekan pedal gas lebih dalam, mobilnya melaju kencang, mencerminkan kegelisahan yang membuncah di dadanya. Ia tak memperhatikan bahwa

  • I'm Sorry Laras   pertemuan dengan indira

    Damar menarik napas dalam, menyadari percakapan ini akan menjadi salah satu yang tersulit dalam hidupnya. Ia menatap Indira, berharap ketulusannya tersampaikan. “Ayah ingin mencari kebenaran, Indira,” ucapnya, suaranya penuh ketulusan namun bergetar karena beban emosi. “Ayah mulai ragu dengan semua yang dulu Ayah percaya. Ayah perlu tahu… apakah kamu benar-benar anakku. Dan jika iya, Ayah ingin meminta maaf—kepadamu, kepada ibumu—atas semua yang sudah Ayah lakukan.” Kata-kata itu, yang dimaksudkan sebagai ungkapan penyesalan, justru seperti percikan api di tumpukan kayu kering. Wajah Indira memerah, matanya menyala penuh kemarahan. Ia mengepalkan tangan di atas meja, dokumen yang tadinya ia pegang terlepas dari genggamannya. “Jadi, kalau saya bukan anak Anda, Anda tidak akan meminta maaf atas apa yang Anda dan keluarga Anda lakukan pada kami?” bentaknya, suaranya tegas namun penuh luka yang terpendam. “Kalau Anda masih percaya Ibu saya selingkuh di belakang Anda, sebaiknya Anda pergi

  • I'm Sorry Laras   mencari faris

    Keesokan paginya, Damar bangun dengan tekad yang kian membara. Meski tubuhnya masih terasa lemah, pikirannya tak bisa diam. Ia harus menemukan Faris, kunci untuk mengungkap kebenaran di balik tuduhan perselingkuhan Laras yang menghancurkan hidupnya. Setelah sekian tahun tak pernah menginjakkan kaki di lingkungan tempat Faris dulu tinggal, Damar melajukan mobilnya menuju alamat yang masih ia ingat samar-samar. Jalanan yang dulu familiar kini terasa asing—pohon-pohon besar telah diganti rumah-rumah baru, dan warung kecil di sudut jalan telah lenyap. Namun, Damar berharap Faris masih tinggal di rumah lamanya, meski firasatnya berkata lain. Sesampainya di depan rumah sederhana yang dulu sering ia kunjungi, Damar memarkir mobil dan menatap bangunan itu. Cat dinding yang dulu cerah kini pudar, dan taman kecil di depan rumah telah diganti pagar besi. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan debaran di dadanya, lalu melangkah menuju pintu. Setelah mengetuk beberapa kali, pintu terbuka per

  • I'm Sorry Laras   Damar pulang

    Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, Damar akhirnya diperbolehkan pulang. Tubuhnya masih lemah, namun semangatnya perlahan kembali. Kejadian ketika Sofia datang menjenguknya dan berujung pada pertengkaran hebat masih membekas di pikirannya. Sejak saat itu, Sofia tak pernah muncul lagi, tak ada kabar, tak ada kunjungan. Hanya Ratna dan Raka yang datang sekali, sekilas, seolah hanya memenuhi formalitas. Hari ini, kepulangan Damar pun tak dijemput keluarga; sekretarisnya, Lila, yang setia membantunya kembali ke rumah. Sesampainya di depan rumah, Lila membantu Damar turun dari mobil. “Saya antar sampai dalam, Pak?” tanya Andi, nada suaranya penuh perhatian. Damar menggeleng pelan, wajahnya pucat namun tegas. “Tidak perlu, Lila. Pulanglah, kamu sudah banyak membantu. Aku bisa sendiri,” ucapnya, suaranya rendah namun penuh keyakinan. Andi mengangguk, meski ragu, lalu meninggalkan Damar setelah memastikan majikannya sampai di depan pintu. Pintu rumah terbuka, dan asisten rumah tangga

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status