"Kak, bagian bawahku sakit dan perih!" isak Quila di dalam kamar Fizz ditemani Daisy pula di sana.
Sebuah kamar dengan warna dominasi pink menjadi tempat peristirahatan Quila saat ini dari kejaran Chivas.
"Tidak apa-apa, dengan ini kau dapat membuktikan pada kami bahwa kau memang masih suci dan layak mendapatkan Chivas," ucap Fizz santai.
Daisy berulang kali melihat nail art pada sepuluh kuku jarinya, melihat tak ada cacat di kuku indahnya.
Quila sesekali meringis kesakitan.
"Tapi ini benar-benar sakit, Kak. Kalau kakak memiliki ide brilliant lainnya, tidak mungkin aku melakukan ini pada Chivas," keluh Quila pada dua kakak perempuan Chivas.
Semua ini berawal dari ide gila kakak beradik di depannya, Quila harus melakukan tingkah konyol dan menanggalkan harga dirinya demi pemuda bernama Chivas. Pemuda yang membuatnya jatuh hati selama kurang lebih separuh hidupnya.
Mengingat momen memalukan semalam..
Secangkir teh yang disajikan di meja makan milik Chivas telah tandas. Pemuda itu telah menghabiskan cairan berwarna coklat dengan aroma melati itu secepat mungkin.
Quila yang baru saja datang dari Inggris diminta ikut bergabung untuk makan malam oleh Margarita, ibu tiga anak dari Pisco Abraham.
Sesekali Quila menyempatkan mencuri pandang ke arah Chivas yang duduk berhadapan dengannya. Chivas segera meninggalkan meja makan usai menghabiskan sepiring nasi goreng cumi kesukaannya dan secangkir teh hangat. Pandangannya fokus tertuju pada pemuda tampan yang telah menguasai hati dan pikirannya selama ini.
Lagi dan lagi, Quila diacuhkan. Namun, ia bukan perempuan yang mudah menyerah. Apapun akan ia lakukan demi bisa mendapatkan Chivas hingga ia menyetujui ide gila Fizz dan Daisy.
Tak lama kemudian. Di saat semua orang sudah kembali ke dalam kamar, Quila mengendap-endap masuk ke kamar Chivas. Benar saja, saat ini Chivas mulai merasakan ada yang aneh dalam tubuhnya. Ia merasa alirah darahnya meningkat menuju ke senjata perangnya. Sumpah demi apapun ia belum pernah merasakan hal ini.
"Ada apa denganku?" gumam Chivas yang merasa seluruh tubuhnya panas.
Ingin rasanya pria muda itu berteriak, dan beberapa detik kemudian pintu kamarnya terbuka. Seorang perempuan muda nan cantik masuk hanya memakai gaun tidur tipis yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah.
"Quila! Kenapa kau masuk kamarku? Cepat keluarlah! Jangan mendekat!"
Perempuan yang dipanggil namanya hanya tersenyum manis dan terus mendekat. Gerakannya sensual.
"Aku ke sini untuk membantumu. Jangan takut, Chivas. Aku baru pertama kali akan melakukannya. Jadi bimbing aku, ya!" rayu Quila.
Chivas berusaha tetap sadar dan menghindari sentuhan perempuan itu yang kini mulai berani membuat gambar abstrak di dada bidangnya.
Pertanyaannya sejak kapan bajunya telah terlepas?
Chivas berusaha sekuat tenaga menepis sentuhan dari jemari halus Quila. Semakin ia tolak, sensasi dalam tubuhnya justru semakin kuat.
"Keluar dari kamarku sekarang juga!"
"Tidak akan!"
"Kalau kau berani maju selangkah lagi, kau akan menyesalinya!"
"Tidak akan, because tonight, I'm yours!"
"Aaaaaaarrggg! Kau yang memintanya, jangan menyesal!" teriak Chivas yang kini sudah berada di atas tubuh Quila.
Quila sudah berada di bawah kungkungan Chivas.
"Lakukan saja, aku tidak akan menyesalinya," titah Quila pada Chivas yang mulai tak bisa mengontrol akal sehatnya.
Ketahuilah, pengalaman ini juga yang pertama kali pria itu rasakan.
Chivas mulai meraup benda kenyal berwarna merah ranum milik sang perempuan di atas tempat tidurnya. Tangannya mulai aktif bergerilya menanggalkan setiap lapis kain dari tubuh indah Quila.
Pria itu dengan rakus menjelajahi setiap bagian dari pahatan indah sang pencipta dan memberi jejak kepemilikan di sana.
Quila merasakan nyeri di beberapa bagian yang membuatnya terasa seperti disengat listrik. Tubuhnya ikut memanas mengikuti alur permainan sang pemuda.
"Quila, ini yang kau mau, kan? Aku akan menuruti keinginanmu," ucap Chivas dengan gairah yang menggebu.
Sesuatu di bawah sana telah basah dan bersiap menerima kejutan dari sang pemuda. Tak perlu menunggu lama, dengan susah payah akhirnya pemuda itu berhasil memasuki milik sang perempuan yang begitu berharga. Darah mengalir dari sana membuktikan bahwa kesucian itu telah terenggut.
"Sakit!" pekik Quila.
Chivas semakin bersemangat kala mendengar erangan dan jerit yang tertahan dari bibir Quila. Indera pengecap Chivas semakin kuat menggeledah isi rongga mulut Quila.
Semuanya telah terjadi. Semua salah, tak ada yang membenarkan kejadian malam itu. Entah berapa lama mereka bermain-main di atas tempat tidur berukuran king size tersebut. Hingga pada akhirnya keduanya kompak tumbang usai melakukan pergelutan panas.
Kembali ke realita…
"Lalu bagaimana rasanya semalam? Apakah enak?" tanya Fizz penuh antusias.
"Sakit, Kak!"
"Selain sakit, apa tidak ada lagi rasanya? Aku penasaran sekali," desak Fizz.
Quila tersenyum kikuk.
"Lebih baik kau rasakan sendiri saja dengan calon suamimu itu, Kak! Kau yang menyuruhku, kenapa kau justru belum pernah melakukannya? Jangan-jangan kau jadikan aku ekperimen untuk tahu bagaimana rasanya, ya? Kejam sekali kalian!" pekik Quila, tatapan matanya tajam tertuju pada Fizz dan Daisy.
"Kau itu tinggal bilang rasanya saja tidak susah bukan? Lagipula aku akan menunggu waktunya tiba saja. Tidak apa-apa yang penting kau sudah selangkah lebih jauh dekat dengan Chivas. Kau pasti bisa mendapatkan hatinya sedikit demi sedikit," ucap Daisy menenangkan hati Quila.
"Setidaknya kami jadi tahu bahwa Chivas normal dan bisa bereaksi terhadap wanita," timpal Fizz.
"Kak Fizz! Bagaimana kalau Chivas malah semakin membenciku? Ah, bodoh sekali aku mengikuti saran dari kalian. Saat ini akulah yang rugi dan malu. Bagaimana ini kalau sampai Tante Margarita mengabari Daddy dan Mommy?" pekik Quila merutuki kebodohannya.
Kekhawatirannya sangat wajar, apalagi Quila adalah anak tunggal dari Jack dan Sangria. Fizz dan Daisy kompak tersenyum.
"Lebih baik mereka tahu, dengan alasan itu kalian pasti akan segera dinikahkan!" celetuk Fizz dan diangguki Daisy.
"Menikah dengan Chivas?" tanya Quila yang tak percaya dengan apa yang didengarnya. Wajahnya berbinar-binar.
"Ya, perjuanganmu untuk mendapatkan Chivas pasti akan berhasil. Sakitmu itu akan berbuah manis. Percayalah padaku!" tegas Fizz, sulung dari tiga bersaudara itu sangat yakin.
***
Chivas membuka pintu utama dengan raut wajah tak terbaca. Kesal dan kecewa karena tak dipercaya oleh seluruh anggota keluarga membuatnya berkali-kali mengumpat.
Langkahnya menaiki anak tangga begitu menggebu-gebu. Ia ingin segera merebahkan diri di atas tempat tidurnya. Belum sampai ia sampai di lantai atas, Quila menuruni anak tangga. Mereka berpapasan di tengah-tengah anak tangga.
Tatapan tajam nan mematikan bak musuh di medan peperangan dikibarkan Chivas ke arah Quila. Tampaknya Quila tak takut dengan hal itu, wajah perempuan yang semalam bersamanya kini tersenyum penuh kemenangan.
"Aku akan membuatmu menyesal karena sudah berani menjebakku!" ancam Chivas tak main-main.
"Aku tunggu!" jawab Quila cepat tanpa rasa takut sedikitpun.
***
Quila menatap tak percaya. Bagaimana bisa pria itu di dalam kamarnya? Apakah ia sedang bermimpi? Tapi kenapa rasanya begitu nyata?Perempuan itu mengerjapkan mata berkali-kali dan memastikan sosok di hadapannya adalah manusia bernama Chivas.Jemarinya merayap ke arah matanya ke atas dan ke bawah. Merasa nyeri di bagian kelopak matanya membuat ia sadar bahwa ini nyata adanya."Chivas!! Kenapa kau masuk kemari? Wah, jangan-jangan kau sudah menyadari perasaanmu terhadapku, ya?" ledek Quila yang segera memindahkan benda empuk dari tangannya kembali ke tempat tidur.Quila beranjak dari posisinya dan mendekati Chivas. Chivas bergeming di tempatnya. Ia hanya diam saat Quila berjalan sambil memutari tubuhnya.Perempuan cantik itu tersenyum penuh misteri dengan pikiran menerka maksud kedatangan Chivas ke kamarnya. Belum sempat terjawab, Chivas berdehem."Ehem!" suara itu berasal dari tenggorokan Chivas yang sengaja
Ke empat manusia di dalam kamar Chivas tampak beradu argumen di hati dan pikiran masing-masing. Fizz dan Chivas terlihat seperti dua orang musuh yang terlibat adu nyali. Ada sorot kekesalan di sorot tajam yang mendominasi dari Chivas ke pada sang kakak.Pemuda tampan itu mengalihkan pandangan ke arah perempuan cantik yang perlahan bangun dari ranjangnya. Dengan gerakan yang begitu santai dan menyembunyikan rasa malunya, Quila mendekati Chivas dan tersenyum kikuk."Sepertinya kak Fizz dan kak Daisy salah paham! Kami tadi tidak sengaja berada dalam keadaan berpelukan seperti itu. I'm swear!" yakin Quila. "Ah, lebih baik aku kembali ke kamarku dulu! Bye, Chivas, Kak Fizz dan Kak Daisy!" pekik Quila selanjutnya, perempuan itu segera ambil langkah seribu supaya tak dicecar banyak pertanyaan dari kedua saudari Chivas tersebut.Fizz dan Daisy hanya geleng-geleng kepala melihat Quila yang kabur dari kamar Chivas. Tatapan mereka beralih pada sang adik d
'Ayo katakan pada mereka yang sebenarnya!' batin Chivas yang mulai tak sabar.Quila tahu apa yang ada dalam pikiran Chivas. Ia diam-diam menundukkan pandangannya lalu dalam hitungan detik genangan air mata itu menetes perlahan dari pipi."Daddy! Mommy! Sebenarnya ini adalah perbuatan yang sangat kalian benci. Aku bingung bagaimana harus menjelaskannya dari awal. Setidaknya hanya ini yang bisa kuungkap. Aku dan Chivas telah melakukan hubungan terlarang dan kami berdua harus bertanggung jawab karena hal itu," ungkap Quila yang menyembunyikan fakta sebenarnya.Fizz dan Daisy saling melemparkan pandangan. Detik berikutnya mereka tersenyum penuh arti."Lalu yang dimaksud dengan kau menjebak Chivas itu bagaimana ceritanya?" desak Sangria. "Tadi Mommy dengar Mezcal dan Chivas mengatakan bahwa kau menjebak Chivas," lanjutnya memastikan.Mezcal mau tak mau harus turun tangan."Tante, maksudku tadi adalah mereka ter
Chivas tiba-tiba menatap ke arah Quila. Mata mereka saling bersitatap hingga Quila merasa tangannya gemetar. Ia hanya mampu menundukkan pandangannya. Keberaniannya mendadak hilang saat berada di situasi seperti ini.Quila meremas tangannya sampai ujung-ujung jarinya memutih kemudian ia memalingkan muka takut bertatapan kembali dengan Chivas. Bukan takut sebenarnya, tapi jika ia melihat sorot mata pria itu dapat dipastikan dirinya akan canggung.Menyadari langkah pria itu semakin mendekat selangkah demi selangkah, dengan mantap, matanya penuh kepanikan. "Apa yang kau lakukan? Kenapa mendekatiku?" tanya Quila pada Chivas."Sepertinya perjanjian seratus hari itu tidak akan pernah terjadi. Aku yakin kedua orang tua kita setelah tahu kenyataan yang sebenarnya pasti akan membatalkan pertunangan atau pernikahan kita!Aku sangat menantikan hal itu terjadi. Kau tidak akan menang, Quila sayang!" bisik Chivas penuh kemenangan di telinga Quila
Dua pria yang telah berusia sebaya berdiri di samping mobil berwarna putih milik Mezcal.Mereka diliputi perasaan tak menentu satu sama lain. Mezcal mendekap hangat kedua tangan di atas enam cetakan perut sembari memandangi raut wajah Chivas yang tampak serius berpikir."Ada apa?" tanya Mezcal yang bosan menunggu. Ada sesuatu hal yang harus ia urus dan ia tak mau buang waktu hanya untuk adu saling diam seperti ini. Waktu amat berharga untuknya.Chivas melihat wajah Mezcal yang diterpa cahaya matahari siang ini dan tampak kemerahan."Apa kau menyukai Quila?" tanya Chivas penuh selidik. Wajahnya begitu serius dan tak terlihat ada candaan dalam pertanyaan itu.Mezcal merasa ada yang aneh dengan pertanyaan pria di hadapannya. Sebelum menjawab, ia memindah posisi dari yang awalnya berdiri santai kini menyandarkan punggungnya di pintu mobil.Sambil tersenyum penuh misteri, Mezcal tak melepaskan pandangan dari pr
Quila sudah mulai sedikit tenang, tapi tetap saja air matanya masih menetes membasahi pipi.Perempuan itu menyandarkan tubuh lelahnya di headboard seraya memandangi sebuah potret diri antara dirinya dan Chivas di masa lalu. Senyum khas yang ia miliki terpatri di sana. Tentu saja gaya khas Chivas sudah ada semenjak mereka saling mengenal satu sama lain. Dingin dan sulit didekati.Potret yang diambil sekitar lima belas tahun lalu itu terus menghiasi dompetnya hingga saat ini.Quila baru saja mengeluarkan potret lama itu dari dompet. Tiba-tiba ia menitikkan air mata usai mengunci pintu dan menjatuhkan pantatnya di atas ranjang."Chivas, apakah tidak pernah ada aku di dalam hatimu? Aku sengaja tidak membahasnya lagi saat kita turun dari mobil. Aku takut, aku takut, kau akan menjawab tidak padaku!Apa kurangnya aku di dalam hatimu? Apa tak pernah sekali pun kau memikirkan aku seperti aku yang selalu memikirkanmu?" tanya Qui
Quila mengambil napas dalam-dalam, berusaha menjernihkan suasana hatinya yang tiba-tiba mendadak kesal. Semua penggalan moment di mana pria di sampingnya tersenyum dan menatap wanita lain kembali teringat di memorinya.Perempuan itu dengan agresif mendekati pria yang tampak fokus dengan stang bundar di hadapannya. Aroma tubuh maskulin Chivas menggelitik di indera penciumannya.Candu!Aroma tubuh yang pernah beradu di atas ranjang dengannya begitu menggiurkan dan menenangkan setiap syaraf dalam dirinya."Lihat aku!" paksa Quila saat keduanya berhenti di perempatan lalu lintas. Ia menarik dagu sang pujaan hati menatap ke arahnya.Pandangan keduanya tak dapat terhindarkan. Sekuat apa pun Chivas menolak, kekuatan perempuan itu sepertinya mendominasi. Entah karena efek cemburu atau apa, yang jelas Chivas belum memahami hal tersebut."Kenapa kau bertanya seperti itu padaku? Bukankah kau tahu dengan jelas bahwa s
Quila mendengkus kesal. Ia memutar bola matanya lalu menatap ke arah pasangan ibu dan anak tersebut sebelum kembali ke toko perhiasan di mana dua keluarga tengah sibuk di sana."Ada apa denganmu, Quila? Kenapa tiba-tiba raut wajahmu begitu menyedihkan seperti ini?" tanya Fizz penuh perhatian pada calon adik iparnya setelah Quila kembali dari luar. Namun, pertanyaan itu terdengar seperti ledekan di gendang telinga Quila.Quila menggelengkan kepalanya. Tak mau menjawab pertanyaan dari Fizz untuk saat ini. Ia masih merasa kesal dan… cemburu! Ia tak menampik perasaan itu.Kini, giliran Daisy yang mendekati Quila."Kau kenapa? Tadi terlihat begitu senang, kenapa saat ini ditekuk seperti ini? Hal apa yang membuatmu kesal? Katakan padaku!" desak Daisy. Ia meraih bahu Quila dan mendaratkan tangannya di sana. Merengkuh perempuan cantik itu guna menyalurkan asa sesama kaum hawa.Quila tampak kecewa. Ia hampir mengumpat da
Chivas pergi meninggalkan toko perhiasan dengan hati kesal. Ia memilih pamit pada orang-orang dan menikmati suasana mall sendirian tanpa diganggu siapa pun.DuggSeorang anak kecil berlari-lari dan menabraknya dari belakang. Spontan, Chivas menoleh ke belakang tanpa membalikkan badan.'Sepertinya wajah bocah ini tak asing bagiku!' gumamnya dalam hati."Maafkan aku, Om!" seru bocah laki-laki dengan pakaian yang tampak berantakan.Chivas mengedarkan pandangan sebelum menjawab permintaan maaf dari bocah yang menabrak dirinya.Tak menemukan seseorang yang sekiranya mencari bocah di hadapannya saat ini, Chivas berjongkok supaya mempermudah dirinya menjangkau si bocah kecil.Sembari mengelus lembut rambut cepak bocah laki-laki itu, Chivas mengangguk ramah seraya tersenyum tipis."Tidak apa-apa. Hei bocah, di mana orang tuamu? Kenapa kau sendirian?" tanya Chivas penasaran. Saking penasarannya,