"Keluar dari kamarku sekarang juga!"
"Tidak akan!"
"Kalau kau berani maju selangkah lagi, kau akan menyesalinya!"
"Tidak akan, because tonight, I'm yours!"
***
Pagi menyambut, mengganti gelapnya malam dengan sinar terang yang melewati setiap celah jendela sebuah kamar megah nan luas milik. Dua manusia berlawanan jenis di atas ranjang masih menikmati indahnya alam mimpi sambil berpelukan.
Seseorang membuka pintu kamar tanpa mengetuk sebelumnya. Wanita paruh baya yang masih tampak ayu dan juga berkelas itu masuk ke dalam kamar anak bungsunya.
Ceklek
Pintu terbuka menampakkan pemandangan di luar nalar.
"Chivas!" teriak Margarita pada dua manusia yang tubuhnya masih terbalut selimut tebal.
Posisi sepasang manusia itu amat tak wajar. Keduanya bukan suami istri. Menjalin hubungan sebagai pasangan kekasih juga bukan. Apakah mereka semalam berbuat gila?
Manik mata Margarita terus tertuju pada tubuh polos keduanya.
"Chivas!" panggil Nyonya Margarita sekali lagi.
Panggilan kedua akhirnya masuk ke dalam indera pendengaran sang pria muda yang masih berjuang melawan rasa kantuk.
Perempuan yang ada di samping pria yang dipanggil namanya itu pun mengerjapkan mata perlahan-lahan.
"Mama!" seru Chivas pada sang ibu. Spontan ia menutupi tubuh bagian bawahnya yang sedikit tersingkap. Ditatapnya perempuan di sampingnya yang juga ikut terkejut.
"Apa yang kalian berdua lakukan semalam? Kalian berdua, temui Mama di ruang keluarga lima belas menit lagi!" titah Margarita tak bisa dibantah.
***
Di ruang keluarga milik Pisco Abraham. Seluruh anggota keluarga telah berkumpul. Pisco menatap semua orang yang duduk mengelilinginya.
"Aku bisa menjelaskannya, Ma, Pa. Aku dijebak!" jelas Chivas melirik perempuan yang tertunduk lesu di seberang tempat duduknya.
"Dijebak? Hah, kau bohong!" sahut Fizz, kakak pertama Chivas.
"Ya, kau bohong. Siapa juga yang ingin menjebakmu? Lagipula Quila baru semalam mendarat dari Inggris dan menginap di sini, kau pasti yang telah menggodanya bukan?" tuduh Daisy, kakak kedua Chivas.
Kedua kakak perempuan Chivas kompak menuduh adik bungsunya berbohong. Chivas menahan kesal, tanpa ia sadari tangannya mengepal di bawah meja.
"Aku tidak seperti itu, Kak! Percayalah padaku!" pinta Chivas pada kedua kakaknya.
"Kau seperti aktor yang baru saja memenangkan penghargaan, aktingmu sangat bagus hingga bisa menipu para penonton. Mana ada maling mengaku maling, kalau iya penjara pasti penuh! Ck, ck, ck," sindir Fizz.
Kakak beradik itu mulai merasa benar dengan keyakinannya masing-masing. Perdebatan itu semakin memanas dan alot. Satu pihak merasa pendapatnya paling benar, tak menerima bantahan.
"Cukup!" hardik Pisco menghentikan perdebatan anak-anaknya.
Margarita dan Pisco saling berpandangan satu sama lain, keduanya bingung hendak mempercayai ucapan dari anaknya yang mana. Tatapan keduanya kini tertuju pada Quila yang masih menundukkan wajahnya dan duduk di sofa single.
"Quila, kemarilah sayang, aku tahu kau pasti ketakutan. Semua ini pasti akan Chivas selesaikan dengan baik. Benar begitu, Chivas?" tanya Margarita usai menenangkan Quila.
Perempuan yang bernama Quila mendekati Margarita dan duduk tepat di sebelahnya.
Quila menitikkan air mata. Chivas melihat sudut kelopak mata Quila basah.
"Kau yang datang ke kamarku semalam!" teriak Chivas sambil menuding Quila, ia lelah membela diri karena terus disalahkan oleh seluruh anggota keluarganya.
"Quila?" tanya Margarita tak percaya.
Quila beranjak dari sofa, ia berdiri dan memandang satu per satu keluarga Pisco Abraham.
"Maafkan aku jika kedatanganku di sini justru membuat keluarga kalian bertengkar, lebih baik Quila pergi dari sini dan mencari tempat tinggal sementara sampai rumah selesai direnovasi," ucap Quila bernada sendu. "Untuk masalah semalam, aku sudah memaafkanmu, Chivas, mungkin kau sedang mabuk," lanjut Quila sembari terisak.
Quila hampir keluar dari ruangan tersebut, namun, genggaman tangan seseorang menghentikan langkahnya.
"Jangan pergi, Quila! Chivas harus bertanggung jawab padamu. Darah di atas ranjang itu adalah bukti bahwa semalam kalian telah menghabiskan waktu berdua. Aku sudah menikah jadi aku tahu dengan jelas apa yang telah kalian berdua lakukan. Entah Chivas mabuk atau tidak, dia harus bertanggung jawab padamu sepenuhnya," tegas Margarita.
"Mama! Aku tidak melakukan itu dengan sengaja, semalam aku benar-benar tak sadar. Aku yakin ada yang tidak beres dan janggal di sini. Mama dan Papa harus percaya padaku, aku akan mencari bukti," seru Chivas mencoba meyakinkan kedua orang tuanya.
"Percuma! Membuktikan apapun tidak ada gunanya. Kau sudah membuat Quila kehilangan mahkota berharganya. Kau harus menikahinya. Mau membantah sekalipun, darah di atas ranjang sudah menjadi bukti kuat apa yang kalian lakukan semalam! Apa yang akan dikatakan oleh Om Jack? Kau sudah menodai anak gadisnya yang dititipkan di sini. Mama dan Papa kecewa padamu," ucap Margarita dan berlalu dari ruangan itu diikuti sang suami.
"Tunjukkan kalau kau pria sejati, jangan lempar tanggung jawab dan tak mau mengakui kesalahan!" tegas Pisco sebelum menghilang dari balik pintu.
"Kami kecewa padamu, Chivas!" ujar Daisy penuh penekanan.
"Quila, ayo tidurlah di kamarku supaya kau lebih tenang dan aman dari pria ini! Aku malu menyebutnya sebagai adikku," ajak Fizz pada Quila dan sempat melirik ke arah adik bungsunya dengan tatapan sulit diartikan.
Sepeninggal semua anggota keluarganya, Chivas memukul dinding dengan amarah yang menggebu.
"Aaaaaaarrggg! Brengsek!" teriak Chivas mengepalkan tangan bak memukul sosok tak kasatmata.
***
Chivas mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang menuju sebuah klub bilyard yang ada di pusat kota.
Plang besar bertuliskan huruf timbul EXCELIO BILYARD menjadi tempat tujuannya saat ini. Klub itu adalah miliknya.
Chivas keluar dari mobil mewahnya dengan gontai. Hati dan pikirannya sedang tak bersahabat dengan keadaan.
"Morning, Kakak," greeting karyawan bilyard yang bertugas membukakan pintu untuk semua pengunjung dan baru menyadari bahwa itu adalah bosnya.
"Hemm," jawab Chivas lebih terdengar seperti sebuah deheman daripada jawaban.
Pria tampan itu menuju ke lantai tiga tempat favoritnya berkumpul dengan kedua sahabatnya. Scott dan Agave.
"Hai, Bro. What's up yoo, ada apa dengan wajahmu yang ditekuk itu?" sapa Scott saat melihat raut wajah Chivas yang lebih dingin dari biasanya.
Chivas duduk di sofa samping meja bilyard mereka.
"Ada apa? Tidak biasanya kau diam saja," timpal Agave yang setuju dengan pertanyaan Scott sebelumnya.
"Aku dipaksa menikah oleh Papa dan Mama gara-gara perempuan gila itu," pekik Chivas.
"Perempuan gila? Siapa dia?"
"Quila," jawab Chivas singkat.
"Model cantik yang baru kembali dari Inggris itu?" tanya Scott antusias.
Anggukan dengan tempo cepat menjadi jawaban atas pertanyaan Scott pada Chivas.
"Dia bukan perempuan gila! Tapi perempuan yang dapat membuat kaum adam tergila-gila, contohnya aku," sahut Agave.
"Kalau kau mau, ambil saja dia. Aku tak butuh perempuan dalam hidupku. Semua salahnya. Aku sangat membencinya!" umpat Chivas.
Amarah Chivas tak dapat terbendung lagi. Emosi sudah merayap ke dalam pikirannya hingga ia sudah tak bisa mengontrol akal sehatnya.
"Brengsek! Aku tidak akan mau menikah dengannya. Aku tidak sudi! Kupastikan dia akan menyesal telah melakukan ini padaku!" teriak Chivas sembari menjambak rambutnya.
***
"Kak, bagian bawahku sakit dan perih!" isak Quila di dalam kamar Fizz ditemani Daisy pula di sana. Sebuah kamar dengan warna dominasi pink menjadi tempat peristirahatan Quila saat ini dari kejaran Chivas. "Tidak apa-apa, dengan ini kau dapat membuktikan pada kami bahwa kau memang masih suci dan layak mendapatkan Chivas," ucap Fizz santai. Daisy berulang kali melihat nail art pada sepuluh kuku jarinya, melihat tak ada cacat di kuku indahnya. Quila sesekali meringis kesakitan. "Tapi ini benar-benar sakit, Kak. Kalau kakak memiliki ide brilliant lainnya, tidak mungkin aku melakukan ini pada Chivas," keluh Quila pada dua kakak perempuan Chivas. Semua ini berawal dari ide gila kakak beradik di depannya, Quila harus melakukan tingkah konyol dan menanggalkan harga dirinya demi pemuda bernama Chivas. Pemuda yang membuatnya jatuh hati selama kurang lebih separuh hidupnya. Mengingat momen memaluk
Chivas berbaring di atas tempat tidur miliknya. Tangannya ia rentangkan di kedua sisi, kanan dan kiri. Lelah, satu kata yang pasti menggambarkan pikirannya saat ini."Apa semalam aku begitu liar menjamahnya? Kenapa di tubuhnya tadi banyak bekas jejak kepemilikan. Astaga! Aku tak percaya bahwa aku bisa melakukan itu pada seorang perempuan seperti dirinya. Entah kenapa aku sebal sekali melihat perempuan agresif seperti dia. Ck," desah Chivas mengacak rambutnya yang berwarna hitam legam. Pikirannya kembali menerawang pada tubuh Quila yang tadi memakai atasan model sabrina. Bahu terbuka yang ah.. Entahlah..Tok Tok TokSeseorang mengetuk pintu kamarnya. Pemuda tampan yang masih merasakan lelah di sekujur tubuhnya hanya mampu berteriak. Tak ada niatan untuknya membukakan pintu. Satu hal yang cocok untuk menjelaskan bagaimana absurdnya seorang Chivas Abraham, virus malas tengah menjangkit di dalam hati dan pikirannya."Siapa?" tanya Chivas malas."Mama!" jawa
Quila berjalan memutari tubuh Chivas. Sesekali tangannya menari di dada bidang milik si pria dengan membuat gambar abstrak di sana. Jemari halusnya mulai berani menyentuh dagu runcing Chivas.Senyum Quila mengembang sesaat sebelum seseorang mengetuk pintu kamarnya. Chivas masih menatap sinis padanya.Tok Tok TokQuila membukakan pintu, Chivas refleks bersembunyi. Tak ada pilihan lain. Persembunyian yang paling tepat saat ini adalah di belakang pintu sambil menatap tajam ke arah Quila.GlekChivas kesulitan menelan salivanya. Pemandangan menggiurkan tampak jelas pada tubuh perempuan di depan matanya. Gaun tipis itu berhasil mencetak lekuk tubuhnya.Bohong kalau sesuatu di bagian bawahnya tak berontak. Sinyalnya kencang. Ia akui dalam hati dan pikirannya bahwa makhluk seksi yang berdiri di depan mata berhasil membuat naluri lelakinya aktif.Astaga! Cobaan apa ini ya Tuhan?Chivas mengaliri tenggorokann
Chivas masih menatap dingin wajah cantik Quila di hadapannya."Kenapa tak dijawab pertanyaanku? Sedang apa kau di sini?" tanya Chivas sekali lagi."Aku hanya menuruti perintah Tante Margarita untuk menyuruhmu turun. Semua orang sudah menunggumu di bawah untuk sarapan. Apa kau berharap aku berada di sini menemanimu mengingat kisah panas kita kemarin?" timpal Quila dengan seringai licik menghiasi wajahnya."Aku bisa turun sendiri tanpa kau memanggilku. Pergilah!" usir Chivas.Quila mengabaikan ucapan Chivas yang menyuruhnya pergi dari kamar itu. Ia justru penasaran dengan isi kamar Chivas, karena kemarin malam ia tak begitu mengamati dengan jelas barang-barang apa saja yang ada di dalamnya."Kamarmu rapi, ya," komentar Quila sembari mengedarkan pandangan ke setiap bagian di kamar Chivas yang kontras dengan warna perpaduan abu-abu dan putih."Apa fungsi indera pendengaranmu bermasalah? Sudah kubilang pergi dari kamarku!" teriak Chivas."Aw, aw,
Chivas tersenyum sinis sembari fokus menatap wajah cantik Quila.Pria muda itu menarik tangan Quila sampai berhenti di bangku panjang yang tak jauh dari lokasi pemotretan. Kini keduanya saling bersitatap. Chivas memilih duduk dan menjangkau wajah Quila dari posisi tersebut. Quila berdiri di depannya."Apa yang kau ucapkan pada ibuku sampai-sampai aku harus menjadi body guard seharian ini?" tuduh Chivas.Quila bingung hendak menjawab apa. Ia sama sekali tak tahu apa yang terjadi. Karena sedari tadi ia fokus di kantor WOW Entertainment bersama dengan tim fotografer dan juga sang pemilik, Tom Collins.Quila menatap aneh pria tampan yang selalu ia akui kecerdasannya. Tapi tidak berlaku untuk hari ini. Ia berusaha menahan kandung kemihnya yang semakin tak bersahabat. Tanpa menjawab pertanyaan Chivas, perempuan itu kabur mencari toilet terdekat."Hey, tunggu!" pekik Chivas dan diabaikan oleh Quila.Chivas mengejar Quila, sehingga tampak seperti sepasang
Chivas merapatkan kedua tangannya di depan dada. Sesekali ia mengusap dagu runcingnya persis seperti perlakuan Quila padanya.Langkahnya pasti untuk mengejar seluruh keluarganya memasuki rumah besar bak istana milik Pisco Abraham. Anak bungsu dari tiga bersaudara ini terlihat kesal. Entahlah ada apa dengannya? Hanya ia dan Tuhan yang tahu.Chivas lebih memilih berjalan mendahului Quila yang asyik bercengkerama dengan Mezcal. Jika ada yang melihat tingkah lakunya saat ini pasti akan refleks menertawakan dirinya. Ia tak peduli pada orang di sekitarnya, rasanya di dalam pikiran Chivas saat ini adalah kasur terempuk sedunia di kamar telah menanti kedatangannya.Belum juga hilang dari tempat itu dan berpindah lantai, panggilan seseorang mengurungkan niatan pria tampan tersebut.Chivas menoleh ke belakang. Dilihatnya sang ibu dan kakak pertamanya tengah tersenyum. Senyum yang aneh bagi pria itu, karena ia mulai merasakan gelagat tidak biasa dari kedua anggota k
"Kau!!""Ada apa? Jangan panik begitu, Chivas. Keep calm, babe. Aku hanya mengicipi kopi buatanmu. Ternyata kopi buatanmu manis dan juga nikmat. Terima kasih," ucap Quila tanpa sungkan sedikit pun.Wanita cantik itu sebenarnya menahan rasa dingin yang sedari tadi menerpa kulit mulusnya.Demi apa? Demi siapa? Bukankah ini bisa disebut gila? Ya Tuhan, aku menyesal mengikuti saran Kak Fizz. Pasti sebentar lagi aku akan terkena flu. Huh.."Ada apa kau kemari?" tanya Chivas sembari memicingkan mata penuh selidik."Bisakah kau berbicara lebih lembut padaku? Mezcal saja begitu baik padaku, jangan lupa dia pria loh. Oh maksudku, apa kau juga pria?" sindir Quila.Chivas menahan emosinya kala Quila dengan santai melewatinya dan mengambil bathrobe yang diletakkan di meja gazebo. Pemuda tampan itu juga baru menyadarinya."Excuse me, Boy. Aku hanya ingin mengambil ini, permisi," ucap Quila sembari mengenakan bathrobe dengan gerakan sensual.Mezcal
Tak terasa sudah dua hari sejak obrolan kedua orang tua di meja makan membahas persiapan pertunangan Chivas dan Quila. Kini, keluarga Quila tengah disibukkan dengan acara jalan-jalan bersama ke sebuah mall yang tak jauh dari kediaman Pisco Abraham.Mobil yang ditumpangi Quila dan Chivas sudah tiba lebih dulu. Perempuan itu tampak mengerucutkan bibir merah muda miliknya yang terpoles lipbalm.Bagaimana tidak mencebik atau merajuk, pria itu mengabaikan dirinya tanpa sepengetahuan kedua orang tua mereka. Sangat menyesakkan bagi perempuan itu.Hendak menghentakkan kaki ke paving block yang terpijak kedua kaki jenjangnya, namun, segera ia urungkan. Melihat pria yang ia cintai berjalan lebih dulu memasuki pintu sliding besar bergeser dua arah, ia pun berlari kecil mengejarnya."Chivas! Kenapa kau meninggalkanku? Bagaimana kalau kedua orang tua kita tahu? Aku 'kan sudah bilang pada Mommy dan Daddy kalau kita saling mencintai satu sama lai