Share

Bukti

Chivas berbaring di atas tempat tidur miliknya. Tangannya ia rentangkan di kedua sisi, kanan dan kiri. Lelah, satu kata yang pasti menggambarkan pikirannya saat ini.

"Apa semalam aku begitu liar menjamahnya? Kenapa di tubuhnya tadi banyak bekas jejak kepemilikan. Astaga! Aku tak percaya bahwa aku bisa melakukan itu pada seorang perempuan seperti dirinya. Entah kenapa aku sebal sekali melihat perempuan agresif seperti dia. Ck," desah Chivas mengacak rambutnya yang berwarna hitam legam. Pikirannya kembali menerawang pada tubuh Quila yang tadi memakai atasan model sabrina. Bahu terbuka yang ah.. Entahlah..

Tok Tok Tok

Seseorang mengetuk pintu kamarnya. Pemuda tampan yang masih merasakan lelah di sekujur tubuhnya hanya mampu berteriak. Tak ada niatan untuknya membukakan pintu. Satu hal yang cocok untuk menjelaskan bagaimana absurdnya seorang Chivas Abraham, virus malas tengah menjangkit di dalam hati dan pikirannya.

"Siapa?" tanya Chivas malas.

"Mama!" jawab Margarita dari luar.

Chivas menggeliatkan tubuhnya. Netra hitamnya fokus mengarah ke pintu kayu tebal berkelas yang membentengi dirinya dengan sang ibu.

"Masuk saja, Ma," seru Chivas.

Chivas memindah posisi tubuhnya hingga bersandar di Head Board (Sandaran ranjang) tak lupa ia melipat kedua kakinya.

Tap Tap Tap

Suara sandal rumah yang dipakai Margarita menapaki lantai kamar Chivas. Sang ibu kini duduk di tepi ranjang putranya. Dengan lembut, tangannya meraih kepala anak bungsunya, mengusapnya lembut.

"Chivas. Jujur pada Mama. Apa yang sebenarnya membuat kalian berdua melakukan itu? Mama ingin penjelasan langsung darimu," ucap Margarita tenang.

"Apakah Mama masih mau mendengar penjelasan dariku? Sementara tadi Mama bersikukuh tetap menyalahkan aku," keluh pemuda tampan itu.

"Maafkan Mama, tapi apa yang Mama lihat sudah cukup menjadi bukti bahwa yang terjadi semalam bukanlah hal sepele. Benar begitu bukan? Kau sudah menodainya, Chivas. Bagaimanapun juga, Quila adalah anak Om Jack, sahabat Papa dan Mama. Apa yang akan dikatakan beliau jika tahu anaknya telah ternoda? Mama tidak bisa membayangkannya, Chivas," ucap Margarita diakhiri isakan pilu.

Chivas merasa bersalah. Ia meraih punggung tangan sang ibu dan mengecup berkali-kali. Tangis itu menggerogoti nalurinya sebagai seorang lelaki.

"Maaf, Ma. Aku tidak ingin melihat Mama bersedih karena aku. Jujur saja, aku juga tidak sadar telah melakukan itu padanya. Rasanya aku ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya membuktikan pada dunia bahwa tak ada niat dari anakmu ini untuk menodai Quila. Aku malu dan jijik pada diriku sendiri, Ma."

Margarita mendongakkan kepala mencoba menghentikan air mata yang terus mengalir. Jari telunjuknya bekerja cepat untuk menghapus cairan berwarna bening itu dari bawah kelopak matanya yang basah.

Chivas menatap wajah sang ibu yang terlihat sendu.

"Maafkan aku, Ma. Tolong Mama jangan menangis lagi. Aku akan melakukan apa pun asal air mata itu berhenti dengan segera. Kumohon, Ma," pinta Chivas pada Margarita.

Tatapan sayu dari wajah sang ibu cukup mendeskripsikan luka yang terpatri di sana. Chivas menundukkan wajah, menutupi segala rasa sakit dan kecewa akibat kejadian mengejutkan ini.

"Sebagai pria sejati, Chivas akan bertanggung jawab dengan menikahi Quila. Demi nama baik keluarga kita," tegas Chivas yakin.

Sebuah keputusan telah terucap dengan lantang dari bibir pemuda itu.

Margarita awalnya tak mempercayai ucapan sang putra yang terdengar seperti sebuah hal mustahil. Nyatanya tidak, wajah itu serius, senyum yang ia paksakan terukir jelas di wajah sang putra.

Kasih sayang seorang ibu sepanjang masa dan itu terlihat jelas di wajah ayunya.

"Terima kasih kau mau bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi. Mama bangga memiliki putra sepertimu. Baiklah kalau begitu, beban di hati Mama sudah berangsur-angsur berkurang. Mama sampai tidak enak makan, tidak bisa tidur karena kejadian ini. Mama akan sampaikan hal ini pada Papamu. Istirahatlah, kau pasti lelah," ucap Margarita dengan penuh kasih.

Wanita paruh baya yang Chivas bangga menyebutnya sebagai Mama telah keluar dari kamarnya. Chivas menghela nafas panjang.

"Ya Tuhan, semoga aku tak salah langkah. Aku harus menemui perempuan licik itu, akan kubuat perhitungan dengannya. Kau tidak akan bisa membuatku kalah. Lihat saja nanti!" gumam Chivas menahan kesal di hatinya.

***

Keesokan harinya..

Chivas keluar dari kamar dengan cepat, mengendap-endap bak pencuri. Tak lupa ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Tanpa mengetuk pintu kamar seseorang tepat di sebelah kamarnya, Chivas segera masuk tanpa disuruh.

"Hey, kau! Ini kan yang kau mau?" tanya Chivas tanpa basa-basi.

Pria itu fokus melihat perempuan yang telah menjebaknya tengah membaca sebuah majalah.

Perempuan itu tak menduga sepagi itu sudah mendapatkan tamu di kamarnya. Apalagi tamu itu adalah Chivas. Tak perlu memaksanya datang, pria itu sudah berdiri di ambang pintu kamar dan menatapnya tajam.

Quila tersenyum smirk.

"Wah sudah tak sabar sekali menemuiku sepagi ini, ya? Kakak Chivas begitu merindukan aku?" tanya Quila basa-basi. Ia sengaja melakukan itu.

Quila meletakkan majalah yang baru saja ia baca. Perlahan ia menyingkap selimut tebal berwarna putih dari bagian bawah tubuhnya.

Langkahnya semakin mendekat ke arah Chivas berada. Agresif dan berani, itulah yang menggambarkan sosok Quila saat ini.

Chivas memalingkan wajahnya secepat mungkin. Ia tak mau bersitatap dengan perempuan di depannya yang hanya memakai gaun tipis, setipis kulit ari.

"Jangan basa-basi! Ini kan yang kau mau? Bukankah kau ingin menikah denganku?" tegas Chivas.

Quila tersenyum sinis mendengar pertanyaan Chivas padanya.

"Aku hanya ingin memilikimu. Jika menikah adalah jalan yang tepat untuk aku bisa mendapatkanmu, maka aku akan dengan senang hati menerimanya," ucap Quila tanpa rasa malu.

Chivas mengepalkan kedua tangannya mencoba meredam amarah.

"Kau! Puas sekarang dengan taktik busukmu untuk mendapatkan aku?"

"Puas? Memangnya apa yang telah aku lakukan? Bukankah kau juga menikmatinya? Kau lihat sendiri ini, lihat dengan jelas di sini, di sini dan di sini," ucap Quila sambil menunjukkan ke beberapa bagian yang memerah akibat gigitan pria itu padanya.

Chivas sempat tak percaya pada bukti yang diperlihatkan di depan matanya. Ia pun tak bisa memungkiri. Kenyataan ada di hadapannya. Kulit putih mulus milik Quila memiliki bekas jejak kepemilikan dari ulah liarnya.

Quila bersedekap, pandangan matanya tertuju pada pria tampan itu.

"Apakah kita akan dinikahkan karena kejadian semalam?" tanya Quila ingin tahu.

"Ya! Bukankah itu yang kau inginkan? Jangan munafik!" bentak Chivas disertai tatapan tajam.

"Munafik? Aku? Kau salah, Tuan Chivas. Kaulah yang munafik! Kau menikmati tapi kau juga yang menuduhku telah menjebakmu. Kalau kau tak menikmati apa yang ku lakukan padamu, mungkin semalam kau sudah mengusirku dari kamarmu. Sekarang siapa yang lebih pantas disebut munafik? Hah!" balas Quila sembari menyeringai.

Tak dapat membantah. Pikiran pria itu tak sinkron. Akhirnya ia memutuskan...

"Baiklah, kita akan menikah. Tapi aku memiliki satu syarat!"

"Satu? Banyak pun aku tak masalah," sela Quila sembari memainkan jari telunjuknya di dada bidang Chivas yang saat ini masih memakai kaos tipis.

To be continue...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status