Air mata Alan berderai seiring bibirnya yang terus bergumam menceritakan semua kisah pilunya saat masih berada di mansion Wildberg. Ia mengalirkan semua yang membuat sesak di dadanya. Ia keluarkan semuanya. Semua kehancuran hidupnya.
"Apa Tuan Smitt mengusir anda, Nona?" tanya Peter sembari memeluk tubuh Elisa yang bergetar akibat tangis. Istrinya itu orang yang begitu perasa dan sedikit cengeng. Apalagi mendengar kisah hidup Alan selama 2 tahun terakhir ini yang cukup menguras air mata.
Kisah Alan bagai kisah drama telenovela yang kerap ibunya tonton dulu. Seorang gadis miskin yang selalu tertindas oleh ibu mertua kejam. Tetapi, di sini Alan jelas berbeda, gadis itu berpura-pura miskin dan menjadi bahan penind
Nay meniup gelas berisi coklat panas yang baru saja ia pesan dari Caffe yang terletak di seberang hotel tempat ia dan Lucas menginap. Udara pagi ini cukup dingin, jadi dia memilih memesan secangkir coklat panas untuk menghangatkan tubuhnya dan sepotong wafle untuk sarapan paginya. Di sampingnya duduk seorang Lucas Marques yang juga tengah menyesap kopi hitam. Bibirnya menguap berkali-kali menahan kantuk. Semalaman mata sipit Lucas tak terpejam sedikitpun, setelah mereka pulang tanpa hasil dan tanpa jejak sedikitpun tentang keberadaan Alanair Welington. Mereka akhirnya kembali ke hotel dengan kekecewaan. Helaan napas berat yang Nay hembuskan, membuat tatapan pemuda tampan itu beralih padanya. Matanya yang sewarna dengan milik gadis di hadapannya ini dengan segera menangkap tubuh Nay yang terlihat gelisah dalam duduknya.
Peter sudah bersiap duduk di balik kemudi. Laki-laki itu menunggu sosok Alanair yang masih berkemas di dalam. Cukup sulit saat merayu wanita muda itu untuk ikut kembali pulang ke Norwig. Mungkin saja hatinya masih belum siap untuk kembali merasakan penolakan. Butuh waktu 30 menit, saat Peter melihat sosok Alan yang cantik bak putri raja di era modern keluar dari dalam rumahnya bersama Elisa yang berjalan di sampingnya. Wajahnya yang cantik natural tanpa sentuhan makeup dengan bibir pinknya. Raut wajahnya yang bagai nona muda abad pertengahan, namun tak terkesan arogan, membuat dirinya memiliki pesona keluarga bangsawan yang tak terbantahkan. "Jika Gavin Wildberg melihat penampilan anda seperti ini, saya yakin, pria itu akan mengemis cinta pada anda, Nona," ujar Peter. Alan hanya tersenyum tipis ke arah Peter, "Aku tidak mau dia mencintai karena aku adalah Alanair Smitt, Tuan Warsen. Tidak peduli dia berangkat dari keluarga biasa saja, aku hanya
"Ana!" Suara itu seolah meruntuhkan nyali yang telah Alan kumpulkan. Tubuhnya bergetar hebat, wajahnya sontak menunduk ketakutan. Dia takut pria itu akan melayangkan pukulan atau tamparan di wajahnya seperti dua tahun silam. Begitu pria dengan rambutnya yang telah berubah warna menjadi putih di beberapa bagian itu berjalan angkuh ke arah mereka. Semua orang membungkuk 90 derajat kepada laki-laki pemimpin perusahaan raksasa yang merajai kerjaan industri, di benua Amerika tersebut. "Ana!" Suara itu sekali lagi menyapa indera pendengaran Alan. Namun, wajahnya tak berani untuk sekedar mendongak menatap sosok yang adalah ayahnya. "Tuan Smitt, maaf saya datang tidak memberi kabar," ucap Peter yang merasa tidak enak karena dia tiba-tiba datang tanpa memberi tahu sebelumnya. Niatnya dia ingin memberi kejutan untuk pria berwajah dingin tersebut. Pria itu hanya melirik Peter sesaat, dan kembali mengalihkan atensinya pada sosok putrinya yang masih
Joseph sudah frustasi, ia tak bisa menemukan di mana keberadaan putri bungsunya, dan juga menantunya. Sial, bahkan dia telah menyewa detektif terbaik untuk mencari Zenaya, dan Alanair di seluruh daratan Amerika, tapi tak juga menemukan jejak kedua perempuan itu. Mereka seolah lenyap ditelan segitiga bermuda. Apalagi puterinya, dia sangat khawatir dengan Zenaya yang tak kunjung ada infomasi tentangnya. "Suamiku, apa orang suruhanmu belum mampu menemukan di mana Nay berada?" tanya Grifida yang setiap hari menekan suaminya itu. Wanita itu masuk tanpa permisi, dan sekarang memilih menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Joseph menatap nyalang sosok wanita yang ia nikahi 25 tahun silam. Ia mengeratkan kepalan tangannya. Sungguh, jika saja ia mampu menghubungi keponakannya, pasti dia telah mencecar pemuda itu. Dia
Wanita itu masih menunduk. Bibirnya terkatup rapat tak berani menjawab pertanyaan dari ayahnya. Saat ini Alanair masih bersimpuh di depan ayahnya. Alexander yang masih enggan menatap putrinya dengan tangan saling tertaut di belakang punggungnya. Dia hanyalah seorang ayah yang berharap memiliki seorang anak yang mampu dia banggakan, menjadi penerus kerajaan bisnis Smitt yang merajai perindustrian di Amerika. Tetapi apa, puteri yang ia banggakan kini merusak nama baiknya sendiri. "Papa, kumohon terimalah aku kembali di dalam keluarga ini," ujarnya. Ia rendahkan harga dirinya. Ia tepis rasa malunya agar kembali mendapat pengakuan dari sosok yang berdiri angkuh tepat di hadapannya. "Alasan apa aku harus menerimamu kembali, bahkan kau sudah mencoreng nama keluarga Smitt, haruskah aku masih berbaik hati untuk menerimamu kembali. Setelah apa yang kau perbuat selama ini, Alana!" seru Alexander. Tangan pria itu mengepal. Jujur, rasa kecewa itu masihlah besar unt
"Dari mana saja kau!" teriak Gavin pada sosok istrinya yang kini berjalan mengendap-endap seperti pencuri masuk ke dalam kamarnya. Dia pikir, Gavin telah terlelap. Namun, ternyata pria itu masih terjaga dengan tatapan mata tajam dan tangan yang terlipat di depan dada di bawah temaramnya lampu kamar tepat di sisi kiri jendela yang menghubungkannya pada balkon. "Gav, aku pikir kau sudah tidur," ucapnya begitu santai seolah tak ada rasa takut di dalamnya. Ia melenggang masuk ke dalam tanpa ada beban sedikitpun. "Jika aku tidur, kau akan bebas berkeliaran di luaran sana, huh!" serunya. Wajahnya yang datar terlihat menyeramkan dengan mata sipitnya yang menatap nyalang. "Aku hanya mencari hiburan. Kau pikir terkurung di rumah ini akan sangat menyenangkan begitu, omong kosong!" Dia balas berteriak. Luna berjalan santai dan memilih menghempaskan tubuhnya di atas sofa, lalu melempar tas miliknya ke sembarang tempat. "Tidak bisakah kau diam di rumah. Kau istrik
Zenaya meniup gelas berisi coklat panas yang baru saja ia pesan dari kantin rumah sakit. Udara pagi ini cukup dingin, jadi dia memilih memesan secangkir coklat panas untuk menghangatkan tubuhnya dan sepotong wafle untuk sarapan paginya. Di sampingnya duduk seorang Lucas yang juga tengah menyesap kopi hitam. Bibirnya menguap berkali-kali menahan kantuk. Semalaman mata sipit pria tampan itu tak terpejam sedikitpun. Ia terus menemani Nay, mencari sosok kakak iparnya. Bahkan kini mereka terdampar di rumah sakit, di daerah Edlen, yang berjarak 200 mill dari kota Brigston. Zenaya memaksanya mencari Alanair di rumah sakit di beberapa kota di negara bagian ini. Helaan napas berat yang Nay hembuskan, membuat tatapan pemuda Marques itu beralih padanya. Matanya yang sipit dengan segera menangkap tubuh Nay yang terlihat g
Lucas memang tak akan mampu membohongi Zenaya yang serba ingin tahu. Tatapan matanya mengarah ke arah jendela di mana butiran salju turun begitu lebat pagi ini hingga jalanan tertimbun salju dan pemandangan serba putih yang tergambar di sana. Dia mendesah berkali-kali. Haruskah dia bercerita, masa lalu yang seharusnya sudah ia kubur dalam-dalam. Kini harus kembali ia bongkar paksa. Saat kedua pasang mata itu saling beradu pandang, ada harapan yang tersirat di kedua mata biru Nay agar Lucas mau bercerita padanya. Rasanya semua keingintahuannya tak mampu ia simpan lebih lama lagi. "Aku tidak bisa menceritakannya sekarang, Nay. Nanti jika waktunya tiba. Aku pasti akan memberitahukannya padamu." "Apa kau akan merahasiakannya terus, sampai kapan?" Nay terlihat sangat kesal. "Aku hanya tak bisa menceritakannya sekarang, Zenaya Wildberg!" seru Lucas mengundang decakan sebal dari bibir gadis itu. Nay terlihat mendengus, lalu mengalihkan atensiny