Beberapa hari ini, aku benar-benar tidak mood melakukan sesuatu. Semua pekerjaan sudah aku serahkan pada Laras, juga Damar selaku HRD. Meskipun hadir di kantor, aku hanya memangku kepala dengan tangan, menatap hampa, tak melakukan apa-apa. Tidak hanya itu, tetapi ketika berpapasan dengan Laras, aku tak berniat menyapa dirinya atau menegur tentang segala hal seperti yang biasanya aku lakukan.
Kesalahan fatal. Aku tidak tahu perasaan apa yang sering datang akhir-akhir ini. Namun, seakan ambisiku pada perusahaan ini lenyap seketika. Aku juga tak peduli lagi jika Cassandra melaporkan pada ayahnya soal tindakanku beberapa hari lalu. Semua menjadi tidak penting.
“Pak?”
Tiba-tiba saja Laras ada di hadapanku, duduk sambil memiringkan kepala dan meneliti ekspresi wajahku.
“Kamu?! Kalau masuk seharusnya—“
“Saya sudah mengetuk pintu beberapa kali, Pak. Tapi, Bapak tidak menyahut juga. Maaf kalau saya lancang masuk sebelum diizinkan. Ini, ada beberapa berkas yang harus Bapak tandatangani.” Laras menyodorkan beberapa dokumen di atas meja.
“Ya, akan saya tandatangani.”
Meski begitu, aku sama sekali belum menyentuh dokumen-dokumen tersebut. Aku hanya menghela gusar dan berwajah datar. Bahkan untuk menyuruh perempuan di hadapanku ini pergi dari ruangan saja aku tidak mampu melakukannya.
“Semua pasti ada hikmahnya, Pak. Maaf kalau saya lancang. Tapi ... saya tahu apa yang Bapak rasakan.”
Begitulah ucapnya tanpa pernah kuminta. Ia seperti berusaha untuk peduli pada seorang bos yang bahkan selalu menyusahkan, membentak dirinya tanpa ampun, melarangnya begini dan begitu. Apakah sikapnya bisa dikatakan wajar? Seharusnya dia dendam pada seorang Bagas yang sudah bersikap tidak semestinya.
Sementara itu, aku tak menanggapi meskipun ada sebuah rasa lega yang hadir di hati.
“Saya permisi, Pak.”
Laras beranjak pergi dari ruanganku, tetapi sebelum mulai membuka pintu, aku menghentikannya. “Laras!”
“Iya, Pak?” sahutnya pelan dan sopan.
“S-saya minta maaf.”
Perempuan tersebut mengangguk sekali dan tersenyum. Seperti biasa bahwa senyum itu selalu saja bisa membuat perasaan aneh hadir di relungku. Apakah ia menggunakan semacam sihir? Atau entah apa itu aku tak tahu. Yang pasti, lengkungan di bibirnya begitu menenangkan.
-II-
“Halo, Pak Bagas. Ini saya Pak Budi. Saya memohon maaf sebelumnya, tapi saya ingin mengatakan bahwa saya ingin membatalkan kerjasama kita terkait pembangunan dengan perusahaan Anda.”
“Apa?! Membatalkan kerja sama? Pak? Tidak bisa seperti itu, Pak. Saya sudah mengurus semuanya dan mengeluarkan banyak uang untuk kerjasama ini. Kenapa Anda tiba-tiba membatalkan kerjasama kita?”
“Sekali lagi, saya mohon maaf, Pak Bagas. Saya benar-benar tidak bisa melanjutkan kerjasama kita.”
“Halo?! Halo?! Pak Budi! Hei, Berengsek!”
Satu telepon lagi-lagi kubanting dan rusak.
“Berengsek!” teriakku sambil mondar-mandir di depan meja kerja.
Proyek kerjasama pembangunan yang seharusnya memberikan keuntungan besar bagi perusahaanku dan perusahaan si berengsek Budi, tiba-tiba saja ia batalkan tanpa alasan yang jelas. Semua ini seakan menikam tanpa alasan. Aku yakin sekali bahwa hal ini karena perusahaan kompetitor yang memberikan hasutan kepada dia sehingga akhirnya si Budi membatalkan kerjasama kami.
Pengecut. Sebuah perusahaan seharusnya tidak menggunakan cara kotor seperti itu. Seharusnya mereka membuktikan bahwa mereka juga bisa maju dan berkembang melalui kerja keras. Kerja yang nyata, bukan bermain hasut dan menjatuhkan perusahaan lain. Dan betapa bodohnya juga si Budi yang bisa terkena hasutan iblis seperti mereka.
“Pak. Maaf, klien atas nama Ibu Satia membatalkan—“
“Hentikan, Laras! Saya tidak mau mendengar keluhan kamu soal klien yang membatalkan pengajuannya. Saya tidak peduli lagi!”
“Baik. Maaf, Pak.”
Laras melangkah pergi dari hadapanku. Terdengar kenop pintu berputar, tetapi lagi-lagi aku merasa sangat bersalah telah membentak perempuan tersebut. Selama beberapa tahun ini, rasa bersalah ketika membentak karyawan tidak pernah menghantuiku. Namun, kenapa sekarang malah lebih sering kurasakan?
“Laras!”
Perempuan dengan rambut sepunggung itu membalikkan badannya setelah berhasil membuka pintu.
“Ada apa, Pak?”
“Menurut kamu, apa yang salah dari saya?”
Sebelum menjawab pertanyaanku, Laras mengembuskan napas panjang. “Tidak ada yang salah, Pak. Tapi, kadang Anda terlalu memaksakan sesuatu. Coba Anda lebih bijak lagi, Pak, untuk hal itu.” Ia pun melanjutkan langkah untuk kembali ke ruangannya.
Seperginya Laras dari ruanganku, pintu lagi-lagi diketuk.
“Masuk!”
Ternyata Damar. Firasatku tidak enak kalau pria itu datang tiba-tiba tanpa kuperintahkan.
“Ada apa, Damar?” tanyaku kemudian seraya memijat pelipis.
“Ini laporan saya, Pak.” Ia memberikan sebuah dokumen dan aku mengambilnya.
Kubaca laporan Damar. Kinerja perusahaan bersama sumber daya manusianya benar-benar menurun. Mereka seenaknya pergi meninggalkan perusahaan yang sudah berjasa menyambung hidup mereka. Seenaknya mereka keluar tanpa alasan. Mengundurkan diri tanpa alasan yang jelas.
“Laporan macam apa ini, Damar?!” Aku membanting kertas ke lantai, lalu menginjaknya hingga kotor. Semua perihal pelik ini benar-benar memusingkan kepalaku hari ini. Masalah demi masalah datang menghampiri.
“Saya permisi, Pak.” Damar enyah dari pandanganku.
Aku yakin ini adalah ulah Cassandra. Ya, benar. Perempuan jalang yang tidak tahu aturan, semena-mena, selalu ingin mendapatkan sesuatu dengan instan. Tidak ingin berusaha, tidak mau berkorban, selalu hidup enak dan tidak pernah merasakan bagaimana rasanya hidup menggelandang.
-II-
Aku duduk berhadapan dengan Pak Bambang di ruang tamu rumahnya. Sejak beberapa menit datang dan duduk dengannya, ia belum juga buka suara. Tua bangka itu masih sibuk dengan rokok pipa dan koran yang ia baca, menutupi wajahnya. Sementara itu, aku juga tidak peduli. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar.
Lima menit berlalu, ia melipat koran dan meletakkannya di meja.
“Kamu pasti sudah tahu kenapa saya memanggil kamu ke sini, Bagas,” cetusnya dengan sorot mata tajam serta senyumnya miring.
“Saya tidak tahu, Pak.”
Tua bangka itu menyesap rokoknya dengan khidmat, lalu berkata, “Pecat sekretarismu. Pecat perempuan bernama Laras itu dari perusahaanmu.”
Aku tertawa remeh mendengar perintahnya yang tidak masuk akal. “Kenapa Bapak yang memerintah saya? Bukankah saya bos di perusahaan saya sendiri?”
“Benar. Kamu memang bos di perusahaanmu. Tapi ... apa kamu lupa, Bagas, kalau saya investor yang paling banyak memberikan modal untuk pengembangan perusahaanmu? Bagaimana kalau saya—“
“Sebenarnya kenapa, Pak? Kenapa Anda ingin saya memecat Laras? Dia sangat cocok dengan posisinya. Saya tidak setuju jika Anda meminta saya memecat orang seperti Laras. Tapi, jika—“
“Dengarkan, Bagas!”
Aku terkesiap oleh bentakan tua bangka di hadapanku. Ingin sekali kucekik lehernya sampai mati di tempat, tetapi tentu saja itu tidak bisa aku lakukan. Aku bukan kriminal.
“Saya tidak mau tahu! Kamu harus memecat perempuan jalang itu untuk Cassandra. Kalau tidak, saya berjanji perusahaanmu akan gulung tikar secepatnya.”
Tak merespons lagi, aku segera pergi meninggalkan si tua bangka.
Semoga kamu cepat mati, Tua Bangka!
-II-
Pulang dari rumah Pak Bambang, aku menuju rumah sakit. Tujuanku adalah satu, yaitu mengetahui siapa sebenarnya orang yang selalu dibesuk oleh Laras di rumah sakit tersebut.
Setelah menambatkan mobil, aku melangkah buru-buru ke lantai atas, ruang ICU. Aku masih ingat di kamar mana Laras pernah masuk. Mengendap-endap, aku memelankan langkah kaki sehingga derap sepatuku tak bersuara, hening.
Meski sangat ingin mengetahuinya, tetapi ruangan itu ditutup, tirai-tirai di jendelanya pun tak ada celah sama sekali. Aku menghela napas gusar, rencanaku mungkin gagal. Namun, seorang suster tiba-tiba saja keluar dari ruangan tersebut. Tak menyangka, aku ingat sekali dengan wajah suster itu.
“Anda siapa?” Ternyata ia tak mengingatku sama sekali.
“Oh, saya keluarga dari orang di ruangan ini,” ucapku sambil berdeham.
“Oh, begitu. Anda mau masuk, Pak?”
“Baik.”
Suster tersebut mengangguk dan turun ke lantai bawah.
Sangat pelan, kubuka pintu ruangan tempat seseorang yang selalu Laras besuk dirawat. Kenop pintu hampir tidak bersuara, tetapi terus kubuka dengan pelan.
Aku menyembulkan kepala ke dalam ruangan begitu pintu baru terbuka seperempatnya. Membelalak bukan main.
Tidak mungkin.
Ya, setelah mengetahui hal tersebut, tak mungkin aku tega memecat perempuan itu sesuai yang diperintahkan oleh Pak Bambang. Tidak bisa. Meskipun kadang suka membentak, marah-marah, membuatnya menangis dan bersedih, tetapi aku masih punya hati dan pikiran. Tak bisa, benar-benar tidak bisa. Bagaimanapun juga, aku pernah merasakan hidup yang pahit seperti apa yang ia alami sekarang.
Apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus memperhatankan Laras hanya karena perasaan simpati pada diriku? Ataukah mengorbankannya demi kelancaran bisnis dan perusahaanku?
Tua bangka tak punya hati.
-II-
Kikan tetap menarik lengan Deon sampai akhirnya keluar dari bar dan tiba di sebuah gang sempit. Dengan sangat keras, Kikan mengempaskan punggung Deon pada dinding. Perempuan ini menumpu kedua tangannya di antara kepala sang lelaki.“Ada apa ini?!” Deon bertanya dengan penuh penekanan.“Jangan ikut campur urusanku!” tegas Kikan dengan tatapan yang begitu tajam. Tak sedikit pun dia mengalihkan pandangan dari mata Deon.“Oh, gitu. Okay, aku sadar kalau itu bukan urusanku. Tapi, seorang laki-laki nggak akan tinggal diam saat melihat perempuan sedang tersiksa di depannya,” pungkas Deon, santai.“Tersiksa?! Apa aku terlihat tersiksa?! Dasar bodoh!”
Atas kedatangan Deon yang secara tiba-tiba, Kikan cukup terkejut. Keningnya mengerut dan berangsur-angsur menjaga jarak. Sementara itu, lelaki dengan sweater yang telah mendapatkan pukulan keras dari Deon, kini menatap dengan tajam penuh intimidasi.“Sialan. Siapa lo?! Berani-beraninya lo memukul gue!” tegas lelaki dengan sweater.Deon mengangkat sebelah alisnya, lalu berkata, “Siapa aku nggak penting. Yang jelas, kamu udah bertindak kasar sama cewek. Kamu itu cowok, bukan banci, kan?!”Mendengar tanggapan Deon tersebut, sang lelaki dengan sweater lantas tertawa terbahak-bahak.“Sialan. Baru kali ini gue nemuin orang yang berani sama gue. Lo belum tahu siapa gue, hah?!”
Deon terakhir kali mengingat bahwa dirinya telah menyelesaikan pertarungan dengan Aldrikov, juga Kikan yang memberikan ucapan selamat padanya. Kini, saat lelaki ini terbangun, entah mengapa dia terlihat sangat kebingungan.“Di mana aku?” tanya Deon sambil beranjak duduk. Dia melirik ke sekitar ruangan yang tak cukup luas tempatnya berada saat ini.Selang beberapa saat, matanya berhenti pada perempuan yang terlihat membatu.“Anggraini? Apa aku ada di rumah sakit?” tanya Deon kesekian kalinya.“Deon! Syukurlah lo udah sadar!”Tanpa menjawab pertanyaan sang lelaki, Anggraini lantas memeluk tubuh Deon yang dipenuhi oleh perba
Semua persiapan telah dilakukan oleh Deon dan Aldrikov. Kini, keduanya saling tatap satu sama lain.“Aku yang menang, Tua Bangka!”Keduanya melesat dengan sangat cepat. Deon menggerakkan tangannya secara vertikal, tetapi Aldrikov melompat begitu tinggi hingga melewati tubuh Deon. Hal ini membuat lelaki bertubuh atletis ini tersentak kaget. Dia kehilangan momentum. Alhasil, ketika berbalik badan, tangan Aldrikov telah siap melukai wajah dan perutnya.Walau begitu, Deon tak tinggal diam. Tak ingin kalah cepat, dia memutar kedua tangannya ke arah kanan dan berhasil menangkis serangan lawan. Sayangnya, entakan yang begitu kuat membuat Deon terempas beberapa meter.“Kamu terlalu percaya diri.”
Deon dan Aldrikov menoleh ke sumber suara. Keduanya tercengang karena melihat bahwa Kikan-lah yang memiliki suara menggelegar barusan. Deon mengerutkan kening, lalu meningkatkan kewaspadaan. Baginya, tidak mungkin perempuan sadis ini tidak ikut campur dalam pertarungannya.“Apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu mau mengganggu pertarunganku dengan si tua bangka ini?!” tegas Deon dengan tatapan yang begitu tajam.Kikan lantas tertawa bergelak mendengar dugaan Deon.“Nggak juga. Aku datang nggak untuk mengganggu jalannya pertarunganmu dengan Aldrikov.”Sambil mengangkat sebelah alisnya, Deon bertanya, “Lalu? Apa yang kamu inginkan?”
“B-bang … sat!”Tubuh Deon lemas seketika. Anggraini terbelalak kaget karena merasakan cairan kental memenuhi tangannya. Dia lihat, lalu air matanya pun keluar begitu banyak.“DEON!”Di titik ini, napas Deon mulai tak beraturan. Dia seperti orang yang kedinginan, tetapi udara yang masuk ke mulutnya sangat terbatas. Bahkan saat Anggraini menjadi lemas, Deon tidak mampu menopang beban tubuhnya hingga harus tergeletak di tanah.Dengan posisi berbaring, Deon menyaksikan wajah pria paruh baya yang masih mengacungkan pistol ke arahnya. Sang lawan menyeringai, lalu berkata, “Saya sudah mengatakannya padamu. Kamu akan mati di tempat ini.”
Ketika pria berambut panjang hendak pergi bersama para anak buahnya yang bertugas membawa Deon, sebuah suara menghentikannya.“Serahkan Deon sama gue!”Pria paruh baya berbalik badan. Yang terlihat ialah seorang perempuan yang sedang membawa dua pistol di tangan dan dua pedang yang terselip di punggung.“Oh, bukankah kamu ….” Pria tersebut tidak melanjutkan kalimatnya. Namun, dia pun tertawa kemudian.“Ya, ya. Saya pernah mendengar desas-desus kalau salah satu senjata pembunuh Tyrex ikut bergabung ke Bruno. Dan tentu saja, yang mereka maksud adalah kamu. Kamulah pengkhianatnya.”Perempuan yang tak lain ialah Melind
Mendengar pernyataan pria berambut panjang, tatapan Deon semakin serius. Baginya, sekarang basa-basi tidak lagi diperlukan. Entah benar atau tidak bahwa para anggota Bruno tengah bertempur dengan anak buah si pemasok senjata ini.“Kalau gitu, kita buktiin di sini siapa yang lebih hebat.”Ketika Deon hendak menyiapkan kuda-kuda, pria berambut panjang berkata, “Tidak perlu.”Selang beberapa saat pria tersebut memberikan sinyal pada salah satu anak buahnya. Deon semakin waspada. Namun, dia tidak cukup cekat dalam menghindari sebuah peluru yang kemudian dilesatkan oleh anak buah si pemasok senjata. Alhasil, timah panas menancap di bahu sebelah kanan Deon.“Sialan!” jerit Deon sambil m
Tidak mudah bagi Deon untuk melakukan pergerakan saat ini. Bahwa keadaan tubuhnya dipenuhi luka dan juga para anak buah pria berambut panjang terlihat siap dengan berbagai senjata yang mereka bawa. Untuk itu, Deon hanya menatap ke arah sang lawan. Sesekali bergantian menatap Anggraini yang sedang dalam keadaan tertodong senjata.“Akhirnya, kami menemukanmu. Sebelum jadi mayat di sini, ada baiknya kita bicara beberapa patah kata,” ucap pria berambut panjang sambil berjalan mondar-mandir.Deon berusaha bangkit meski tubuhnya masih terasa pegal dan sakit. Tidak dipungkiri ada beberapa tulang yang patah akibat dirinya yang menggelinding di bukit terjal ini.“Oh, aku kira kalian nggak bisa berbasa-basi. Ternyata, sama aja.”