Share

Rasa Penasaran

Penulis: Momoy
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-12 02:03:12

Hal yang paling aku benci adalah timbulnya rasa penasaran di setiap urusan orang lain. Tidak hanya terjadi sekali saja, tetapi dulu ketika aku mengenal Intan, berawal dari rasa penasaranlah yang membuat perempuan itu menjadikan bahuku sebagai sandarannya. Sangat sulit bagiku untuk mengendalikan perasaan ini ketika hadir di benak.

Aku mungkin telah salah ingin ikut campur dengan urusan pribadi Laras, tetapi entah mengapa emosi kerap kali hadir ketika aku tidak berhasil mengetahui sesuatu yang ia tutup dengan rapat dariku. Sebagai manusia, aku tahu perilaku ini sangat kelewatan dan tak wajar. Bagi kebanyakan orang, aku bukan manusia. Aku tidak pantas menjadi seorang pemimpin, atasan, atau sesuatu yang mendeskripsikan kepemimpinan itu sendiri. Karena seperti yang semua orang tahu, aku terlalu memaksakan kehendak kepada mereka.

“Laras, saya mau melihat schedule saya beberapa minggu ke depan. Tolong kamu bawakan dokumennya ke ruangan saya.”

Setelah menelepon perempuan itu, ia masuk ke ruanganku sambil membawa secarik kertas.

“Silahkan, Pak.” Ia sodorkan kertas tersebut sehingga aku mengambilnya.

Selesai membaca beberapa jadwal yang mengharuskanku untuk melakukan pertemuan, memimpin rapat dan segalanya, aku mengembuskan napas gusar.

“Ada apa, Pak?” tanya Laras.

“Tidak apa-apa. Bawa ini, dan kembalilah ke ruanganmu.”

Laras mengambil kertas di tanganku, lalu ia melangkah pergi dari ruangan. Sementara itu, aku memperhatikan tubuhnya yang perlahan hilang, menutup pintu dan tak terlihat lagi.

Sejak mengurus perusahaan, aku menjadi seseorang yang gila kerja. Aku jarang sekali berlibur atau melakukan hal yang seharusnya bisa membuat pikiranku tidak gundah.

Hal biasa yang aku lakukan untuk melampiaskan kegundahan itu adalah kerja lembur. Tidak jarang juga aku tak memperbolehkan beberapa pekerja pulang meskipun jam kerjanya telah habis.

“Permisi, Pak. Ini adalah beberapa dokumen yang harus Anda tandatangani dalam perjanjian kerjasama dengan mitra.” Setumpuk kertas Laras letakkan di mejaku.

Aku mengambil dan membaca tumpukan paling atas.

“Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak.” Setelah menundukkan wajah, Laras mencoba melangkah pergi.

“Tunggu. Kamu mau ke mana?”

Perempuan tersebut kembali membalikkan badannya. “Pulang, Pak. Ini sudah jam pulang.”

“Saya mau kamu tetap di sini untuk beberapa jam. Kita lembur. Ada beberapa dokumen yang harus kamu kerjakan dan selesaikan hari ini juga.”

“Tapi, Pak. Saya sudah ada janji untuk—“

“Jangan membantah! Lakukan saja apa yang saya perintahkan!” tegasku kemudian sehingga Laras memejamkan kedua mata beberapa detik dan mengembuskan napas.

“Baik.”

“Kembali ke ruangan kamu. Akan saya kirimkan dokumennya ke komputer kamu.”

Tak merespons, Laras langsung melangkah pergi.

-II-

Cassandra masuk ke ruanganku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Hal yang selalu membuatku tidak menyukai dia. Sikapnya semena-mena, tidak tahu aturan, dan banyak lagi yang aku tidak suka dari dirinya.

“Sayang. Aku kangeeenn banget sama kamu,” ucapnya langsung ingin memeluk diriku yang tengah duduk di kursi.

Aku tentu saja menghindari hal tersebut.

“Loh, kenapa? Kok menghindar?”

“Kalau masuk, kamu ketuk pintu dulu. Dan ini bukan kafe atau club. Ini ruang kerja saya. Kantor. Kamu tidak bisa sembarangan meluk saya atau mencium saya.”

“Oh my God! Ayolah, Sayang. Kamu nggak tahu seberapa rindunya aku sama kamu. Kamu selalu sibuk kerja. Kalau diajakin ketemu, alasannya inilah, itulah. Aku juga butuh kamu,” cecar perempuan berlipstik merah menyala di hadapanku.

Aku tak merespons. Karena percuma saja merespons Cassandra, ia selalu saja cerewet. Bahkan, aku tidak pernah menganggap dia sebagai kekasihku. Aku tidak pernah menyatakan perasaan padanya. Namun, entah bagaimana ia kini selalu mengaku-ngaku menjadi kekasihku.

Cassandra tak menyerah, ia terus menggodaku, bahkan berposisi menindih tubuhku di atas kursi. Ia tarik dasi yang terikat di leher.

“Aku sangat ingin mencium kamu, Sayang,” bisiknya tajam. Seketika semerbak wangi napasnya tercium jelas di hidung. Tak bisa, sangat mustahil ia bisa menggoda lelaki sepertiku. Mau bagaimanapun penampilan atau tingkahnya di depan, aku tidak akan terpengaruh olehnya.

Tak berselang lama, muncullah Laras. Masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Seketika aku memperbaiki posisi, lalu menjauhkan Cassandra dari tubuhku.

Melihat hal yang tidak wajar di hadapannya, Laras tampak ragu untuk melanjutkan langkah.

“Tidak apa-apa, masuklah. Lain kali, kamu harus mengertuk pintu.”

“Maaf, saya lupa, Pak.”

“Ya, sudah. Ada apa?”

“Ini ... berkas-berkas yang Anda minta, Pak.” Disodorkannya sekumpulan berkas.

Aku memeriksa beberapa berkas yang telah dikerjakan oleh Laras.

“Oke, bagus. Sudah betul semua.”

“Dia siapa, Sayang?” Cassandra bertanya sambil mendekati Laras yang tertunduk gugup.

“Sekretaris baru.”

“Kamu, kok, nggak bilang aku, sih, kalau ada pegawai baru? Pengganti si Rani? Cantik juga.”

“S-saya Laras, sekretaris baru, Bu.”

“IBU?! Kamu memanggil saya ibu? Hei, saya masih muda. Kamu panggil saya nona.”

“M-maaf, Nona.”

“Bagus.”

“Cassandra! Jangan seenaknya kamu dengan pegawai saya.”

“Loh, memangnya kenapa, Sayang? Bukannya pemberi modal paling besar di perusahaan kamu ini adalah ayahku? Aku punya hak, dong, Sayang.”

Inilah salah satu hal yang aku benci dari Cassandra. Senjata ampuh baginya untuk membungkam mulutku dan tidak merespons lagi.

“Laras, kembalilah ke ruangan kamu.”

“Baik, Pak.”

Seperginya Laras dari ruangan, Cassandra menatapku dengan lamat. Ia menyipitkan matanya penuh selidik.

“Kamu pintar, ya, ternyata memilih karyawan, Sayang. Cantik,” ucapnya pelan.

Ia dekatkan bibirnya di telingaku kemudian, lalu berbisik, “Kalau sampai kamu tergoda dengan sekretaris baru kamu itu, kamu akan tahu akibatnya, Sayang ....”

Aku menelan saliva, menandakan bahwa Cassandra berhasil membuatku begitu kesal. Ingin aku membentak perempuan tersebut, sayangnya itu akan menghancurkan bisnis yang enam tahun sudah kuperjuangkan.

“Oh, ya. Aku tunggu kamu di rumah, ya. Jemput aku.”

Cassandra melangkah pergi tanpa peduli aku menyanggupi atau tidak. Tentu saja, mau tidak mau aku harus menuruti apa yang ia katakan. Jika tidak, ia akan mengadu pada ayahnya dan membuat usahaku bangkrut.

Cassandra—perempuan dengan hooded eyes yang selalu mengandalkan kekayaannya, kejam dan tidak punya hati. Keinginannya harus terpenuhi. Seorang Bagas tidak bisa berkutik jika berurusan dengannya.

Aku menggeprak meja dengan keras, melampiaskan kekesalan yang dibuat oleh Cassandra.

-II-

Keluar dari ruang kerja, kulihat Laras di luar pintu ruangannya tengah meregangkan otot-ototnya yang mungkin terasa pegal karena lembur. Sudah pukul 8.00 malam, wajar saja dia merasa pegal-pegal, jam pulangnya mundur beberapa jam dari semestinya.

Aku menatap perempuan tersebut lamat sambil mengunci pintu. Ia belum menyadari. Namun, beberapa saat setelah melihatku sedang menatap ke arahnya penuh tanya, ia berusaha bersikap biasa saja. Ia sunggingkan senyum tipis, lalu akhirnya melangkah untuk keluar dari gedung.

Di luar, aku melihat Laras berdiri di pinggir jalan sembari kepalanya menoleh ke kiri dan kanan.

“Laras, ikut saya,” ucapku yang berdiri beberapa meter di belakangnya.

“Ada apa lagi, Pak? Saya tidak berkewajiban lagi mengikuti perintah Anda.”

“Ikut saya!”

Laras bersikeras, tetap tidak mau melangkahkan kakinya. Aku pun tak menunggu lama, dengan segera kuraih tangan perempuan tersebut dan membuatnya mengikuti jejakku.

“Pak! Anda tidak bisa semena-mena dengan saya!”

Sampai di tempat parkir mobil, aku berkata, “Saya akan antar kamu pulang.”

Laras menggeleng pelan. “Tidak usah, Pak. Saya bisa pakai taksi.”

“Tidak. Saya bisa antar kamu pulang. Maaf, saya sudah membuat kamu lembur. Tapi, saya mau berterima kasih karena kamu sudah menyelesaikan dokumen-dokumen penting itu.”

“Tidak perlu, Pak. Saya sudah ikhlas.”

Laras tetap tidak mau, ia membalikkan tubuhnya, tetapi dengan lugas, aku kembali meraih lengannya sambil membuka pintu mobil.

“Pak! Lepasin! Ini namanya pemaksaan, Pak! Anda tidak bisa seperti itu, dong!”

Tidak peduli, aku tetap membuat tubuh ramping Laras memasuki mobil.

Selama perjalanan, Laras menggertakkan giginya sekuat tenaga. Ia tampak sangat kesal. Tak terelakkan, tetapi aku benar-benar hanya ingin berterima kasih kepadanya.

“Maaf, cara saya mungkin kasar. Tapi, saya sangat tidak suka orang menolak niat baik saya.”

“Denger, ya, Pak! Jika bukan karena sangat butuh pekerjaan, saya tidak akan pernah sudi menjadi bawahan Anda!” Nada Laras penuh dengan penekanan. Akhirnya, ia bisa juga meluapkan emosi dan kekesalannya.

“Oh, oke. No problem bagi saya. Yang pasti, kamu sudah ditakdirkan jadi bawahan saya!”

Suasana menjadi hening seketika, Laras tak bersuara lagi. Ia menyedekapkan tangan, lalu berekspresi penuh emosi.

“Ngomong-ngomong, apa kamu tidak mau memberitahukan jalan ke rumahmu?”

“Lurus saja. Persimpangan empat di depan belok ke kiri. Saya mau turun di sana dan saya tidak mau Anda ikut campur lagi!”

Aku hanya menanggapi dengan anggukan. Sampai di persimpangan empat dan berbelok ke kiri, sesuai yang diminta perempuan tersebut, aku menghentikan mobil. Laras keluar dan menutup pintu mobil dengan cara sedikit membantingnya.

Ia berjalan buru-buru. Sedangkan aku belum melajukan mobil, hanya memandangnya sampai akhir dia berbelok ke sebuah komplek perumahan.

Sekarang saya tahu.

-II-

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • I'm the Director   Jangan Ikut Campur!

    Kikan tetap menarik lengan Deon sampai akhirnya keluar dari bar dan tiba di sebuah gang sempit. Dengan sangat keras, Kikan mengempaskan punggung Deon pada dinding. Perempuan ini menumpu kedua tangannya di antara kepala sang lelaki.“Ada apa ini?!” Deon bertanya dengan penuh penekanan.“Jangan ikut campur urusanku!” tegas Kikan dengan tatapan yang begitu tajam. Tak sedikit pun dia mengalihkan pandangan dari mata Deon.“Oh, gitu. Okay, aku sadar kalau itu bukan urusanku. Tapi, seorang laki-laki nggak akan tinggal diam saat melihat perempuan sedang tersiksa di depannya,” pungkas Deon, santai.“Tersiksa?! Apa aku terlihat tersiksa?! Dasar bodoh!”

  • I'm the Director   Kedatangan Deon Sebagai Pahlawan

    Atas kedatangan Deon yang secara tiba-tiba, Kikan cukup terkejut. Keningnya mengerut dan berangsur-angsur menjaga jarak. Sementara itu, lelaki dengan sweater yang telah mendapatkan pukulan keras dari Deon, kini menatap dengan tajam penuh intimidasi.“Sialan. Siapa lo?! Berani-beraninya lo memukul gue!” tegas lelaki dengan sweater.Deon mengangkat sebelah alisnya, lalu berkata, “Siapa aku nggak penting. Yang jelas, kamu udah bertindak kasar sama cewek. Kamu itu cowok, bukan banci, kan?!”Mendengar tanggapan Deon tersebut, sang lelaki dengan sweater lantas tertawa terbahak-bahak.“Sialan. Baru kali ini gue nemuin orang yang berani sama gue. Lo belum tahu siapa gue, hah?!”

  • I'm the Director   Ingatan Terakhir Tentang Pertarungan

    Deon terakhir kali mengingat bahwa dirinya telah menyelesaikan pertarungan dengan Aldrikov, juga Kikan yang memberikan ucapan selamat padanya. Kini, saat lelaki ini terbangun, entah mengapa dia terlihat sangat kebingungan.“Di mana aku?” tanya Deon sambil beranjak duduk. Dia melirik ke sekitar ruangan yang tak cukup luas tempatnya berada saat ini.Selang beberapa saat, matanya berhenti pada perempuan yang terlihat membatu.“Anggraini? Apa aku ada di rumah sakit?” tanya Deon kesekian kalinya.“Deon! Syukurlah lo udah sadar!”Tanpa menjawab pertanyaan sang lelaki, Anggraini lantas memeluk tubuh Deon yang dipenuhi oleh perba

  • I'm the Director   Akulah Pemenangnya

    Semua persiapan telah dilakukan oleh Deon dan Aldrikov. Kini, keduanya saling tatap satu sama lain.“Aku yang menang, Tua Bangka!”Keduanya melesat dengan sangat cepat. Deon menggerakkan tangannya secara vertikal, tetapi Aldrikov melompat begitu tinggi hingga melewati tubuh Deon. Hal ini membuat lelaki bertubuh atletis ini tersentak kaget. Dia kehilangan momentum. Alhasil, ketika berbalik badan, tangan Aldrikov telah siap melukai wajah dan perutnya.Walau begitu, Deon tak tinggal diam. Tak ingin kalah cepat, dia memutar kedua tangannya ke arah kanan dan berhasil menangkis serangan lawan. Sayangnya, entakan yang begitu kuat membuat Deon terempas beberapa meter.“Kamu terlalu percaya diri.”

  • I'm the Director   Kikan Menjadi Wasit

    Deon dan Aldrikov menoleh ke sumber suara. Keduanya tercengang karena melihat bahwa Kikan-lah yang memiliki suara menggelegar barusan. Deon mengerutkan kening, lalu meningkatkan kewaspadaan. Baginya, tidak mungkin perempuan sadis ini tidak ikut campur dalam pertarungannya.“Apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu mau mengganggu pertarunganku dengan si tua bangka ini?!” tegas Deon dengan tatapan yang begitu tajam.Kikan lantas tertawa bergelak mendengar dugaan Deon.“Nggak juga. Aku datang nggak untuk mengganggu jalannya pertarunganmu dengan Aldrikov.”Sambil mengangkat sebelah alisnya, Deon bertanya, “Lalu? Apa yang kamu inginkan?”

  • I'm the Director   Aliran Elang Pemangsa

    “B-bang … sat!”Tubuh Deon lemas seketika. Anggraini terbelalak kaget karena merasakan cairan kental memenuhi tangannya. Dia lihat, lalu air matanya pun keluar begitu banyak.“DEON!”Di titik ini, napas Deon mulai tak beraturan. Dia seperti orang yang kedinginan, tetapi udara yang masuk ke mulutnya sangat terbatas. Bahkan saat Anggraini menjadi lemas, Deon tidak mampu menopang beban tubuhnya hingga harus tergeletak di tanah.Dengan posisi berbaring, Deon menyaksikan wajah pria paruh baya yang masih mengacungkan pistol ke arahnya. Sang lawan menyeringai, lalu berkata, “Saya sudah mengatakannya padamu. Kamu akan mati di tempat ini.”

  • I'm the Director   Usaha Tak Mengkhianati Hasil

    Ketika pria berambut panjang hendak pergi bersama para anak buahnya yang bertugas membawa Deon, sebuah suara menghentikannya.“Serahkan Deon sama gue!”Pria paruh baya berbalik badan. Yang terlihat ialah seorang perempuan yang sedang membawa dua pistol di tangan dan dua pedang yang terselip di punggung.“Oh, bukankah kamu ….” Pria tersebut tidak melanjutkan kalimatnya. Namun, dia pun tertawa kemudian.“Ya, ya. Saya pernah mendengar desas-desus kalau salah satu senjata pembunuh Tyrex ikut bergabung ke Bruno. Dan tentu saja, yang mereka maksud adalah kamu. Kamulah pengkhianatnya.”Perempuan yang tak lain ialah Melind

  • I'm the Director   Gugurnya Harapan

    Mendengar pernyataan pria berambut panjang, tatapan Deon semakin serius. Baginya, sekarang basa-basi tidak lagi diperlukan. Entah benar atau tidak bahwa para anggota Bruno tengah bertempur dengan anak buah si pemasok senjata ini.“Kalau gitu, kita buktiin di sini siapa yang lebih hebat.”Ketika Deon hendak menyiapkan kuda-kuda, pria berambut panjang berkata, “Tidak perlu.”Selang beberapa saat pria tersebut memberikan sinyal pada salah satu anak buahnya. Deon semakin waspada. Namun, dia tidak cukup cekat dalam menghindari sebuah peluru yang kemudian dilesatkan oleh anak buah si pemasok senjata. Alhasil, timah panas menancap di bahu sebelah kanan Deon.“Sialan!” jerit Deon sambil m

  • I'm the Director   Tangkas Pemberani

    Tidak mudah bagi Deon untuk melakukan pergerakan saat ini. Bahwa keadaan tubuhnya dipenuhi luka dan juga para anak buah pria berambut panjang terlihat siap dengan berbagai senjata yang mereka bawa. Untuk itu, Deon hanya menatap ke arah sang lawan. Sesekali bergantian menatap Anggraini yang sedang dalam keadaan tertodong senjata.“Akhirnya, kami menemukanmu. Sebelum jadi mayat di sini, ada baiknya kita bicara beberapa patah kata,” ucap pria berambut panjang sambil berjalan mondar-mandir.Deon berusaha bangkit meski tubuhnya masih terasa pegal dan sakit. Tidak dipungkiri ada beberapa tulang yang patah akibat dirinya yang menggelinding di bukit terjal ini.“Oh, aku kira kalian nggak bisa berbasa-basi. Ternyata, sama aja.”

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status