Share

7. Pil Kontrasepsi Di Kamar Ibuku

"Nella, Ibumu terlalu cerewet, kalau begini terus lama-lama aku nggak betah tinggal di sini," gerutu Mas Rohman ketika aku baru saja masuk kamar.

"Yang sabar ya, Mas. Kalau kita pindah dari sini, kan kasihan Ibu sendirian," sahutku yang masih merasa berat jika harus meninggalkan ibuku sendirian, sebab kalau ada apa-apa kan susah jika tidak ada sosok laki-laki di rumah, terutama pas ada atap bocor, atau masalah lain yang hanya bisa dikerjakan oleh laki-laki.

Oleh karena itu aku mengajak Mas Rohman tetap tinggal di sini, walaupun setiap harinya Ibuku selalu menyindir Mas Rohman.

"Hah, ya sudah lah! Kalau begitu aku mau mancing aja, di rumah hanya nambah pikiran jadi semakin sumpek!"

Kini giliran aku yang hanya bisa menghela napas panjang, ketika melihat Mas Rohman pergi begitu saja.

Padahal kalau kamu mau mencari pekerjaan tetap, Mas. Tidak akan ada keributan seperti ini di setiap harinya.

Setelah membereskan barang belanjaanku tadi, aku pun langsung menuju dapur untuk makan siang, di sana kulihat ibu sedang menaruh sesuatu di laci dapur paling atas.

"Lho, Bu. Kenapa lauknya ditaruh di sana?" tanyaku saat membuka tudung saji yang hanya terdapat semangkuk sayuran di dalamnya.

"Ya biarin, biar suamimu tidak ikut makan. Lagi pula enak saja dia tidak mau bekerja, tapi masih ingin makan enak. Biar dia makan yang ada di situ saja," sahut Ibuku yang kemudian hendak meninggalkan dapur.

"Tapi, Bu ...."

"Eh, Nella. Kamu itu jangan manjain suamimu terus, nanti makin lama dia makin seenaknya sendiri. Toh lagi pula sekarang dia juga pergi mancing, ya dia biar makan hasil tangkapannya sendiri."

Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas, ini memang bukan pertama kalinya ibuku berperilaku seperti ini, dan Beliau memang kerap menyembunyikan lauk atau makanan yang dianggapnya enak dari Mas Rohman.

Ya alasannya agar Mas Rohman tidak ikut makan, sebenci itulah ibuku pada menantunya sendiri.

Haduh ... kapan ya aku bisa melihat ibu dan suamiku akur seperti orang lain?

Setelah selesai makan siang, aku pun memilih tidur siang terlebih dahulu sebelum akhirnya para pertani nanti datang membawa barang dagangan mereka.

Ketika hendak tidur siang, tiba-tiba saja aku kepikiran ingin beli HP, sebab aku harus bisa komunikasi secara diam-diam dengan Mbak Yuyun untuk bisa memantau Mas Rohman saat aku sedang ada di pasar.

Ya, sudah saatnya aku mencari tahu siapa wanita itu? Sedangkan untuk Mas Rohman, kini aku belum bisa mengambil keputusan, sebab selain bukti perselingkuhan yang aku dapatkan belum cukup kuat, aku juga tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan, sebab keinginanku yaitu menikah hanya cukup satu kali.

Namun, jika Mas Rohman benar-benar terbukti berselingkuh, aku juga tidak segan meminta pisah darinya. Aku memang masih bisa diam ketika dia tidak memberiku nafkah, sebab aku masih bisa mencari uang sendiri.

Akan tetapi, jika masalahnya perselingkuhan, itu sudah lain hal, karena aku tidak bisa memaafkan kesalahan yang satu itu.

***

"Nella, dicariin Pak Jarno ...." teriak ibuku seraya mengetuk pintu kamarku.

Sepertinya ini sudah jam dua siang, karena di jam-jam segini lah para petani menyetorkan dagangan mereka.

Aku pun lantas bangun dan menuju kamar mandi untuk mencuci muka, lalu kemudian aku langsung menemui Pak Jarno dan menimbang barang dagangan yang ia bawa.

Lalu tidak lama kemudian para petani yang lain mulai berdatangan satu persatu, hari ini bawaan mereka juga lumayan lengkap, ada yang bawa kol, tomat, cabai, kacang panjang, dan masih banyak sayuran lainnya.

Setelah transaksi selesai, dan melihat sisa uangku masih cukup untuk beli ponsel, aku pun bergegas pergi mandi sebelum pergi membeli ponsel.

Namun, setelah aku selesai mandi, dan berganti pakaian, ternyata mas Rohman pulang.

"Kamu mau ke mana? Tumben jam segini sudah mandi."

"Mau beli HP, Mas."

"Wah, kalau begitu aku ikut, aku juga ingin beli Hp."

"Lho, tapi kan uangku hanya cukup beli satu HP, Mas."

"Ye ... memangnya siapa yang minta kamu beliin HP buat aku, aku kan mau beli pakai uangku sendiri."

"Lha, kamu kok bisa punya uang untuk beli HP, dapat uang dari mana, Mas?"

"Ya tabungan lah, kan tabunganku waktu masih lajang dulu masih ada, kalau hanya buat beli HP dua jutaan ya masih cukup lah."

"Hah?"

"Sudah jangan malah bengong. Ayo, kita berangkat sekarang."

Aku yang ingin bertanya sesuatu, tapi terpaksa kutelan kembali karena Mas Rohman sudah menarik tanganku ke luar.

Dan, selama perjalanan pun aku masih memikirkan masalah tabungan Mas Rohman, sebab bukannya tabungannya Mas Rohman sudah habis untuk biaya pernikahan kami waktu itu?

Lalu iyakah dia masih memiliki sisanya?

Hah, sudahlah! Terserah dia mau berbohong atau tidak, yang penting bukan uangku saja yang ia ambil dan diklaim sebagai uang tabungannya, pikirku.

Namun aku semakin curiga ketika kami sudah sampai di toko dan akan membayar ponsel mana yang akan kami beli, sebab melihat isi dompet Mas Rohman yang biasanya kering kerontang, tiba-tiba saja hari ini terisi penuh.

Setelah melakukan pembayaran dan kami keluar dari toko, aku pun sudah tidak tahan lagi untuk bertanya pada Mas Rohman tentang uang itu.

"Mas, kamu kok punya uang banyak banget? Masa iya semuanya itu tabungan kamu, Mas? Jangan sampai kamu berhutang uang sebanyak itu ya, Mas?!"

"Ish, kamu ini apaan sih, aku nggak ngutang, ini beneran uang aku sendiri. Nih, sekalian aku kasih buat kamu belanja," sahut Mas Rohman seraya menyodorkan uang lima ratus ribu kepadaku."

Hah, mimpi apa aku semalam? Tiba-tiba dikasih uang belanja sebanyak ini dari Mas Rohman, dan meskipun aku senang-senang saja menerimanya, akan tetapi aku masih curiga jika uang ini bukanlah uang simpanan Mas Rohman.

Namun, untuk sementara ini aku akan diam dulu, dan hari ini aku tak akan memaksa Mas Rohman untuk menjawab jujur atas kecurigaan ku ini.

Sesampainya di rumah, aku dan Mas Rohman langsung mengotak-atik ponsel kami masing-masing, setelah selesai aku pun langsung membereskan rumah, karena ibuku sedang pergi dan rumah masih berantakan.

Setelah selesai mencuci piring, aku pun langsung menyapu rumah, awalnya membersihkan rumah sore ini terasa biasa saja dan sama seperti biasanya.

Namun, aku tidak menyangka akan menemukan sesuatu yang aneh ketika aku sedang menyapu kamar Ibu.

"Lho, kenapa Ibu masih mengkonsumsi ini?" gumamku saat mengambil pil kontrasepsi yang terjatuh di lantai, dan bungkus pil itu terbilang masih baru meskipun cuma tersisa tujuh butir saja.

Dan, itu berarti Ibuku benar-benar meminumnya bukan?

Sebenarnya benda ini cukup lazim di kamar wanita, namun untuk apa ibuku memakai pil kontrasepsi ini?

Bukankah ibuku seorang Janda?

Lalu Beliau takut hamil dengan siapa?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status