Share

6. Bertemu dengan Ika

"Mbak, aku mau pulang dulu, dan aku mau minta tolong ke Mbak ya, tolong jangan kasih tahu siapa pun soal ini," ujarku memohon kepada Mbak Yuyun, sebab selain malu, aku juga perlu melihat bukti secara langsung, apakah Mas Rohman benar-benar selingkuh?

"Iya, kamu tenang aja. Aku juga nggak berani cerita sama orang-orang, soalnya iya kalau ini beneran si Ika, nanti kalau salah, kan aku yang dituduh menyebarkan fitnah. Emm ... Kamu yang sabar ya, Nell, dan kamu juga harus pikir baik-baik masalah ini."

Aku hanya mengangguk, lalu kemudian aku berpamitan pulang. Di saat aku memasukkan sepeda motorku ke garasi, kulihat rumah masih sepi, sepertinya Mas Rohman belum pulang, dan Ibu sudah pergi entah ke mana.

Aku hendak masuk ke dalam kamar, namun kudengar ada suara sepeda motor Mas Rohman yang baru saja tiba.

Tanpa mengulur waktu, aku pun langsung pergi ke depan, dan membuka pintu rumah.

"Lho, Nella. Kamu kok sudah ada di rumah?" tanya Mas Rohman kaget.

"Kamu habis dari mana, Mas?" tanyaku balik tanpa menghiraukan pertanyaan Mas Rohman.

"Aku habis nganterin Ika ke Pasar. Oh ya, ini uang ongkos tadi," sahutnya seraya menyerahkan uang yang ia ambil dari kantong jaketnya.

Sejenak aku tertegun ketika menerima uang pemberian Mas Rohman, aku tidak menyangka kalau Mas Rohman akan berkata jujur, padahal kalau jawaban dia sampai berbohong, aku pasti akan langsung menuduhnya selingkuh dengan Ika.

"Mas, kamu kok jadi deket sama Ika? Sampai mau disuruh dia nganter ke pasar pagi-pagi begini?" tanyaku yang mencoba memancing jawaban Mas Rohman, memangnya seberapa dekat mereka berdua?

"Ya sebenarnya sedikit terpaksa, sebab subuh tadi dia tiba-tiba datang ke sini, terus minta tolong, masa iya aku tolak, kan nggak enak?"

"Tapi, kenapa dia langsung minta tolong ke kamu, Mas? Kamu kan juga bukan tukang ojek."

"Ya nggak tahu, mungkin karena kemarin aku mau nganter dia ke mall, dan tadi dia juga lagi butuh tukang ojek, tapi karena nggak ada, jadi dia minta tolong ke aku. Sudahlah, kamu jangan mikir aneh-aneh, aku dan dia nggak ada hubungan apa-apa," sahut Mas Rohman yang kemudian langsung pergi ke kamar.

Aku hanya bisa menghela napas mendengar jawaban Mas Rohman, meski jawaban Mas Rohman masuk akal, namun hatiku tetap tidak tenang.

Sepertinya aku harus tanya langsung ke Ika, jangan-jangan dia memang berniat ingin menggoda Mas Rohman.

Lalu tanpa mengulur waktu lagi, aku pun segera mengerjakan semua pekerjaan rumah ku, lalu setelah selesai nanti, aku akan pergi ke rumahnya Ika.

***

Setelah semua pekerjaanku selesai, aku pamit ke Mas Rohman dengan alasan mau pergi ke toko. Namun, aku tidak mengatakan kepada dia, bahwa aku akan pergi ke toko yang berada di depan rumahnya Ika.

Toko di gang sebelah ini memang lebih besar dari toko tetanggaku, jadi hal yang sangat wajar jika warga kami sering datang kemari kalau barang yang kami cari tidak ada di toko tetangga kami.

Sambil berbelanja, aku pun juga menyempatkan diri untuk melirik rumahnya Ika, dan untungnya saja pintu rumahnya terbuka, jadi aku bisa mampir setelah belanja di toko ini.

Setelah berbelanja, sesuai dengan niatan awal ku, aku pun langsung pergi ke rumahnya Ika.

Ada perasaan sedikit ragu saat aku sampai di teras rumahnya, namun demi ketenangan hatiku sendiri, aku harus nekat mengetuk pintu rumah ini.

"Assalamualaikum," ujarku memberi salam seraya mengetuk pintu yang sebenarnya sudah terbuka itu.

"Wa'alaikumsalam, eh Mbak Nella, silakan masuk, Mbak," sahutnya ramah. Namun, sangat membuatku terkejut, sebab ini adalah pertemuan pertama kami, namun ia seolah-olah sudah lama mengenalku.

"Habis belanja ya, Mbak?" tanyanya basa-basi seraya melirik kantong belanjaan ku.

"Eh, Iya. Oh ya, maaf ya kalau kedatanganku ke sini mengganggu kamu," ujarku sedikit tidak enak, sebab sepertinya dia sedang memasak, terlihat dengan celemek yang menempel di tubuhnya.

"Oh, nggak kok, Mbak. Mbak santai saja, ngomong-ngomong ada apa ya Mbak? Tumben Mbak main ke mari?"

Aku tersenyum canggung. " Emm ... sebelumnya aku minta maaf ya, Ka. Bukannya aku bermaksud gimana-gimana, tapi jujur aku hanya penasaran, tadi kenapa kamu minta tolong suamiku untuk mengantarmu ke pasar?"

"Oh ... itu, hahaha ... Mbak pasti curiga denganku kan? Tapi, nggak apa-apa kok, aku sudah biasa," sahutnya yang masih bisa tertawa.

Sedangkan aku tentu bingung, dan pastinya juga semakin merasa tidak enak dengan Ika, sebab kalau diperhatikan lagi, sepertinya Ika bukan tipe orang yang seperti dibicarakan oleh orang-orang selama ini.

Penampilan Ika memang bukan seperti wanita lugu, namun ketika berbicara dengannya, dia tidak terlihat seperti janda-janda gatal yang digambarkan oleh orang-orang selama ini.

"Eh, enggak kok, aku hanya--"

"Udahlah Mbak, nggak apa-apa kalau Mbak mau percaya dengan perkataan orang-orang di luaran sana. Tapi, kalau untuk suami Mbak, saya berani bersumpah Mbak, saya tidak berniat mendekati suami Mbak. Tapi, justru saya ingin membantu Mbak."

"Membantuku? Membantu apa? Apa maksudmu?" tanyaku bingung.

"Maaf ya, Mbak. Untuk saat ini aku belum mau memberikan alasan, kenapa dan apa yang aku bantu untuk Mbak. Tapi, pesanku, tolong setelah ini Mbak buka mata Mbak, dan telinga Mbak lebar-lebar, karena aku kasihan melihat Mbak."

"Memangnya ada apa sih, Ka? Tolong beri tahu aku," ujarku penasaran.

"Sekali lagi aku minta maaf, Mbak. Aku beneran tidak enak dan bingung gimana cara nyampeinnya ke Mbak, yang jelas tolong ingat-ingat pesanku tadi ya?"

Huh, aku hanya bisa menghela napas mendengar jawaban Ika. Ingin sekali rasanya memaksa Ika untuk bicara, tapi rasanya percuma, sebab Ika benar-benar terlihat tidak enak untuk menyampaikan apa yang sedang ia simpan saat ini.

Pokoknya jika dilihat, ekspresi Ika sama seperti Mbak Yuyun waktu itu, yang hanya menyuruhku untuk waspada. Namun, jika wanita yang harus aku waspadai ternyata bukanlah Ika, lalu siapa wanita itu?

Karena tidak mendapat jawaban yang aku inginkan, dan justru aku malah dibuat penasaran dengan perkataan Ika, aku pun memutuskan untuk berpamitan pulang.

Dan, di dalam perjalanan pun aku masih memikirkan hal ini, sebenarnya ada apa sih ini? Dan, kalau benar Mas Rohman memang selingkuh, lalu dia selingkuh dengan siapa?

Ah, sudahlah. Semakin dipikirkan maka semakin membuatku pusing saja, lebih baik aku tidur aja sekarang, pikirku ketika membuka pintu rumah.

Namun, aku terkejut saat membuka pintu, sebab bertepatan dengan itu aku melihat Ibuku keluar dari kamarku.

"Ibu, ada apa?" tanyaku bingung.

"Nggak ada apa-apa, cuma ngomelin suamimu aja," sahutnya yang kemudian masuk ke dalam kamarnya sendiri.

Hah, ngomelin Mas Rohman?

Berarti Mas Rohman ada di dalam kamar?

Lalu kesalahan apa yang diperbuat suamiku, hingga Ibuku sampai masuk ke kamarku hanya untuk mengomeli suamiku?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status