Satu Minggu kemudian...."Sayang, memang kamu tidak apa-apa kalau aku tinggal pergi?" tanya Yoga yang sudah ke sekian kalinya, Yoga hendak pergi keluar kota untuk perjalanan bisnis, namun ia tidak tenang jika meninggalkan istrinya yang sudah dekat dengan HPL."Nggak apa-apa, Mas. Kan masih ada tiga hari lagi, sedangkan kamu besok sudah pulang.""Iya, tapi kata orang-orang melahirkan itu bisa kurang atau lebih dari HPL, terus jika tiba-tiba besok kamu melahirkan, dan tidak ada aku di rumah, lantas bagaimana?""Sayang, di rumah kan ada pelayan, dan sebentar lagi Ayah dan Ibu juga pulang, jadi kamu nggak usah khawatir lagi, cukup doakan aku dan anak kita selamat dan lancar lahirannya."Yoga memeluk Nella, ia benar-benar merasa berat meninggalkan Nella, namun ia juga tidak bisa mengabaikan pekerjaannya yang ada di luar kota."Baiklah, kalau begitu aku mau telepon Ibu dulu, aku mau memastikan kalau Ibu dan Ayah nanti sudah ada di rumah ketika aku sudah berangkat."Setelah menelepon ibunya,
"Astaga! Ibu, kenapa Ibu berpenampilan seperti itu?"Aku terkejut ketika melihat Ibu keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang panjangnya hanya di atas lutut saja, padahal Mas Rohman ada di rumah."Ish, Nella! Kenapa sih heboh banget? Ibu kan habis mandi, jadi wajar dong kalau pakai handuk!" "Tapi, Bu. Di rumah kan ada Mas Rohman--""Halah, pikiranmu itu terlalu berlebihan, Nella! Si Rohman nggak mungkin doyan sama Ibu, apalagi Ibu?""Huh, mentang-mentang Ibu janda, kamu malah nuduh Ibu yang macem-macem," gerutunya sambil berlalu masuk kamar."Bu-bukan begitu maksud Nella, Bu. Tapi, seenggaknya Ibu kan bisa pakai daster gitu, jangan pakai handuk doang." Aku sedang mencoba menjelaskannya secara perlahan, namun ibuku sepertinya tersinggung, hingga Beliau menutup pintu kamarnya cukup keras.Huft ....Aku sungguh lelah, padahal aku baru saja pulang bekerja, tapi sampai di rumah sudah disambut dengan kejadian seperti ini.Sumpah! Aku sebenarnya tidak mempunyai pikiran, kalau
"Astaga! Sudah jam setengah dua." Aku pun buru-buru bangun dan mandi, kemudian tidak lupa melakukan ibadah salat malam sebelum berangkat kerja.Untungnya saja sebelum tidur, semalam semua sayuran sudah aku masukkan ke dalam karung, jadi aku tinggal mengangkatnya saja ke sepeda motor."Emh, akhh ...." Aku menghela napas panjang setelah mengangkat karung paling besar untuk diletakkan di atas obrok yang berisi sayuran juga. Lalu setelah itu aku membangunkan suamiku untuk meminta tolong mendorong motor, karena motor dalam keadaan standar tengah."Sudah semuanya?" tanya Mas Rohman dengan kondisi yang masih mengantuk."Belum, Mas. Itu, karung yang ada di sana, tolong angkat dan taruh di depanku."Mas Rohman menurut, ia mengambil satu karung sayuran yang masih bersandar di tembok."Hati-hati," ujarnya.Aku hanya mengangguk, lalu kemudian aku mulai melajukan motorku. Terdengar suara gerbang garasi di tutup dan dikunci kembali, dan aku berangkat di saat jalanan masih sangat sepi, dan mungkin
"Owalah, Nella. Ternyata kamu jualan di sini?"Aku sontak mendongak ketika mendengar suara yang tidak asing di telingaku."Eh, Bu RT. Lagi belanja, Bu?" sapaku ramah pada Bu RT di tempat tinggalku."Iya, ini berapa bayamnya seikat?""Seribu lima ratus, Bu.""Owalah, beneran murah ya belanja di pasar pagi. Baiklah, kalau begitu Ibu ambil empat ikat, dan ini sekalian jagung manisnya.""Iya, Bu. Lalu apalagi?""Emmm ... apalagi ya? Oh iya, Nella. Suamimu kemarin kerja ya? Lusa kemarin suamiku nyuruh nyemprot hama katanya nggak bisa. Lha, memangnya kemarin suamimu kerja dengan siapa?""Enggak kok, Bu. Mas Rohman kemarin nganggur.""Lha bener kan? Kata Yuyun dan Jum juga gitu, mereka bilang suamimu juga nganggur. Tapi, kenapa suamimu menolak pekerjaan dari suamiku ya?""Huh, Nella. Kalau aku punya suami yang malas bekerja seperti itu, udah aku tendang dia. Huh! Mentang-mentang istrinya udah kerja sendiri, dia malah enak-enakan ongkang-ongkang kaki di rumah. Kamu kok bisa-bisanya sih masih
Aku terkejut ketika melihat Mas Rohman membukakan pintu dengan napas ngos-ngosan, dan keringat yang mengalir deras di dahinya."Kenapa kamu, Mas? Habis olahraga?" tanyaku bingung."Iya, eh enggak. Tadi aku baru saja mengigau, perasaanku di dalam mimpi tadi aku dikejar setan.""Hahaha ... Kamu ini ada-ada aja, Mas. Masih takut mimpi dikejar setan, kayak bocah aja.""Terus Ibu mana? Kok aku panggil-panggil dari tadi tidak dengar?""Oh, Ibu lagi di kamar mandi."Aku hanya manggut-manggut. "Baiklah, kalau begitu tolong masukkan motorku ya, Mas. Aku capek banget, pingin tidur sekarang juga.""Iya, iya. Aku akan masukkan motornya ke garasi."Aku memandang aneh wajah Mas Rohman yang terlihat seperti panik, namun aku langsung menepis pemikiran itu. Mungkin Mas Rohman memang masih ketakutan gara-gara mimpi dikejar setan tadi.Tanpa mengulur waktu lagi, aku pun langsung masuk kamar, kurebahkan tubuhku ini di atas kasur yang spreinya terlihat lecek. Ya, kalau rapi berarti sulapan, sebab Mas Rohm
"Lho, itu bukannya Mas Rohman?" Aku sontak langsung mengucek kedua mataku, ketika melihat Mas Rohman membonceng seorang wanita, dan berhenti di area parkir yang tidak jauh dari tempatku berjualan.Aku hendak memanggilnya, namun seseorang pembeli datang dan membuatku mengurungkan niat untuk memanggil Mas Rohman."Mbak, beli cabenya lima kilo saja, sekalian sama tomatnya dua kilo." "Oh, iya Bu." Dengan sedikit tergesa aku menimbang pesanan ibu-ibu tersebut, lalu setelah diberi uang dan aku mengucapkan terima kasih, aku kembali menoleh ke tempat Mas Rohman parkir tadi."Benar, itu motor Mas Rohman. Tapi, kenapa dia bisa nganterin wanita itu ya? Siapa dia?"Ingin sekali rasanya aku masuk ke dalam pasar, dan kemudian mencari mereka berdua. Namun, aku tidak bisa meninggalkan barang dagangan ku begitu saja kan? Apalagi sekarang hari Minggu, yaitu hari pasaran untuk Pasar Wage ini, jadi para pengunjung yang datang lebih ramai dua kali lipat dari hari-hari biasanya."Apa mungkin itu Ika?" Ak
"Mbak, aku mau pulang dulu, dan aku mau minta tolong ke Mbak ya, tolong jangan kasih tahu siapa pun soal ini," ujarku memohon kepada Mbak Yuyun, sebab selain malu, aku juga perlu melihat bukti secara langsung, apakah Mas Rohman benar-benar selingkuh?"Iya, kamu tenang aja. Aku juga nggak berani cerita sama orang-orang, soalnya iya kalau ini beneran si Ika, nanti kalau salah, kan aku yang dituduh menyebarkan fitnah. Emm ... Kamu yang sabar ya, Nell, dan kamu juga harus pikir baik-baik masalah ini."Aku hanya mengangguk, lalu kemudian aku berpamitan pulang. Di saat aku memasukkan sepeda motorku ke garasi, kulihat rumah masih sepi, sepertinya Mas Rohman belum pulang, dan Ibu sudah pergi entah ke mana.Aku hendak masuk ke dalam kamar, namun kudengar ada suara sepeda motor Mas Rohman yang baru saja tiba.Tanpa mengulur waktu, aku pun langsung pergi ke depan, dan membuka pintu rumah."Lho, Nella. Kamu kok sudah ada di rumah?" tanya Mas Rohman kaget."Kamu habis dari mana, Mas?" tanyaku bali
"Nella, Ibumu terlalu cerewet, kalau begini terus lama-lama aku nggak betah tinggal di sini," gerutu Mas Rohman ketika aku baru saja masuk kamar."Yang sabar ya, Mas. Kalau kita pindah dari sini, kan kasihan Ibu sendirian," sahutku yang masih merasa berat jika harus meninggalkan ibuku sendirian, sebab kalau ada apa-apa kan susah jika tidak ada sosok laki-laki di rumah, terutama pas ada atap bocor, atau masalah lain yang hanya bisa dikerjakan oleh laki-laki.Oleh karena itu aku mengajak Mas Rohman tetap tinggal di sini, walaupun setiap harinya Ibuku selalu menyindir Mas Rohman."Hah, ya sudah lah! Kalau begitu aku mau mancing aja, di rumah hanya nambah pikiran jadi semakin sumpek!" Kini giliran aku yang hanya bisa menghela napas panjang, ketika melihat Mas Rohman pergi begitu saja. Padahal kalau kamu mau mencari pekerjaan tetap, Mas. Tidak akan ada keributan seperti ini di setiap harinya.Setelah membereskan barang belanjaanku tadi, aku pun langsung menuju dapur untuk makan siang, di