“Sab, Sabrina! Kamu bisa bawa mobil ‘kan?”
Gama menyembulkan kepala dari pintu ruangannya, sedangkan Sabrina masih duduk termenung membayangkan harus berkata apa pada mas Dodot tetangganya yang bekerja di sebuah dealer mobil.
Beginilah akibatnya jika terlalu gegabah dan tidak membaca kontrak dengan baik. Awalnya Sabrina pikir pekerjaan menjadi asisten Gama sangat mudah, tapi membayangkan harus berurusan dengan putra pria itu membuatnya ketar-ketir.
“Sabrina!” panggil Gama untuk yang ketiga kali. Meski dia tahu bahwa asistennya diwajibkan bisa mengendarai mobil, tapi tetap saja Gama ingin memastikan. Jangan sampai SIM yang dijadikan data pendukung Sabrina ternyata hasil nembak.
“Sab!”
“Iya Pak!” Sabrina akhirnya bangkit dari kursi. Ia bergegas menghampiri Gama yang sedikit heran dengan tingkahnya.
“Bagaimana Pak?” tanyanya kemudian.
“Sudah saatnya aku pergi ke PG Group, jam tiga nanti kamu tolong jemput putraku Maha dan antar dia ke rumah, di sana sudah ada Bik Mun yang menunggu, setelah itu kamu bisa kembali ke PG Group mengembalikan mobil dan pulang,” ujar Gama panjang lebar.
“Ja-ja-jadi saya bisa pulang sebelum jam lima sore Pak?”
Sabrina sedikit terkejut dengan perkataan Gama, ini jelas sangat menguntungkan baginya. Jika bisa pulang lebih cepat dari pekerja yang lain, dia bisa membuka jasa les bela diri atau sekadar membantu bekerja di cucian mobil milik ibunya.
“Em … ya … begitu,” jawab Gama ragu-ragu. Sedetik kemudian dia kaget karena Sabrina menyambar kunci mobil dari tangannya dan langsung merubah posisi berdirinya dengan tagap bak polisi militer.
“Silahkan Pak! saya akan mengantar Anda dengan selamat sejahtera dan sentosa sampai ke gedung PG Group.” Sabrina memiringkan badan, tangan kanannya terulur seolah di depan Gama sudah tergelar karpet merah yang siap menjadi pijakan pria itu.
Tingkah Sabrina ini jelas mengundang tawa Gama. Pria yang terkenal baik dan berhati lembut itu pun tersenyum dan bahkan sengaja melangkah dengan tegap untuk membalas perlakuan sang asisten.
“Aku menyukaimu,” puji Gama. Dia jelas menyukai Sabrina karena perilaku yang sopan dan hormat dari gadis itu bukan yang lain.
“Terima kasih Pak, saya juga menyukai Anda,” jawab Sabrina dan hanya dibalas Gama dengan senyuman. Keduanya berjalan keluar dari gedung SIGN Agensi menuju tempat kerja kedua Gama.
_
_
Setibanya di PG group Sabrina bertemu dengan sekretaris Gama, seorang pria yang membuatnya tiba-tiba saja meleyot karena ketampanannya bak aktor korea bernama Cha Eun Woo. Sabrina pun tak bisa menyembunyikan rasa girangnya. Dari pada berpikir seperti sang ibu yang berharap dia akan berjodoh dengan Gama, lebih baik dia mendekati sekretaris pria itu. Namun, siapa sangka saat buka suara, Sabrina langsung bergidik ngeri. Kuduknya berdiri karena suara sekretaris Gama yang bernama Leo itu bak kucing terjepit pintu.
“Yah … lekong,” gumam Sabrina dalam hati. Ia pun nyengir sebelum duduk di kursi yang sudah disiapkan untuknya.
Hanya Gama saja lah di perusahaan itu yang memiliki dua orang yang mengurus jadwal pekerjaannya seperti ini, selain kehidupan pribadinya yang memang lain dari pada yang lain, pekerjaan pria itu pun berbeda dari orang pada umumnya.
Sabrina juga diharuskan berkoordinasi dengan Leo yang kini sudah berdiri di depan mejanya dengan tangan memegang sebuah berkas.
“Ini jadwal yang sudah aku susun selama satu bulan untuk Pak Gama, kamu harus bisa menyesuaikannya. Ingat Sabsab! Pekerjaan Pak Gama sebagai model itu hanya sampingan, pekerjaan dia yang sebenarnya adalah di sini, di PG Group,” ucap Leo penuh penekanan.
Sabrina memilih mendengarkan saja saat Leo memerintahnya seperti itu, sebagai anak baru yang bisa dia lakukan sekarang hanya lah mengikuti perintah senior, tapi bukan Sabrina namanya jika tidak bawel.
“Apa pekerjaanku menjemput anak Pak Gama juga bisa dikatakan sampingan? Atau tambahan? bukankah pekerjaan utamaku menjadi asisten? aku akan berbicara ke Pak Gama untuk membagi tugas kita menjemput anaknya, bagaimana?”
Leo menekuk bibir, pria gemulai itu langsung menggebrak meja dan menatap tajam Sabrina yang sudah memundurkan kepala karena kaget. Tangan gadis itu sudah berada di depan dada, dia tak berani menatap mata Leo karena sepertinya pria itu tidak suka dengan usulnya barusan.
“Jangan libatkan aku jika berurusan dengan Mahameru – anak Pak Gama,” kata Leo.
“Ke-ke-kenapa? apa ada masalah?” tanya Sabrina. Perlahan dia menegakkan punggung saat menyadari Leo sudah menjauhkan badan dari mejanya. Leo yang tak langsung menjawab membuat Sabrina penasaran dan berjalan mengejar pria itu sampai ke meja yang berada di seberangnya.
“Katakan padaku Leonardo Dekaprio! Kenapa kamu tidak ingin berurusan dengan bocah itu?”
Leo memutar bola matanya malas, sebelum membuang napas kasar. “Itu karena …. “
***
Tepat pukul tiga sore Sabrina sudah berdiri di depan sebuah gedung sekolah ternama. Suasana di sana cukup ramai, banyak mobil yang terparkir dan beberapa pria berseragam nampak sedang berbincang.
Sekolah anak-anak kalangan atas memang beda begitu pikir Sabrina, di sana dia sama sekali tidak menemukan mobil merek Alpansa seperti yang ingin dia kredit ke Mas Dodot. Kebanyakan mobil buatan Eropa, bahkan dia melihat ada mobil mirip tank tempur di sana.
Sabrina memandang foto Maha yang dikirimkan Gama ke aplikasi berbalas pesan miliknya, jika dilihat wajah anak itu sangat imut dan menggemaskan, tapi Sabrina agak takut juga mengingat ucapan Leo padanya beberapa jam yang lalu.
“Itu karena dia pernah beberapa kali hampir membuatku masuk UGD. Pertama, dia kabur saat aku menjemputnya dan aku hampir saja tertabrak mobil. Kedua, dia berpura-pura ingin pipis dan malah mengunciku di dalam kamar mandi sampai asmaku kambuh. Ketiga, dia meneriaki aku penculik sampai aku hampir dipukuli oleh orang-orang. Anak itu monster, jangan tertipu wajahnya yang imut.”
Sabrina membenarkan letak tali tasnya yang ada di depan dada setelah memasukkan ponsel. Ia melihat anak-anak satu persatu mulai keluar dan mendekat ke arah sopir dan orang tua yang menjemput mereka. Kepala gadis itu nampak menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari anak sang atasan. Tak pernah dibayangkan sebelumnya oleh Sabrina dia akan melakukan pekerjaan seperti ini. Hingga setelah beberapa menit, bibirnya memulas senyum melihat sosok bocah yang dia cari sejak tadi.
Namun, ada yang berbeda dari penampilan anak itu dari teman-temannya. Jika semua anak terlihat rapi dengan dasi dan rompi seragam. Maha nampak acak-acakan, dasinya berada di tangan sedangkan kerah bajunya sudah setengah tegak. Anak itu berjalan sambil mengentak-hentakkan kaki digandeng sang guru, tak lama seorang anak yang juga digandeng guru lain melepaskan gandengan. Anak itu berlari mendahuli Maha sambil menangis dan langsung memeluk ibunya.
Sabrina dengan jelas mendengar anak itu berkata baru saja dipukul oleh Maha. Namun, dia tak ambil pusing dan memilih menyapa putra atasannya itu dengan ramah.
“Maha, ayo pulang! kakak a …. Aduh!”
Sabrina tercekat, dia memegang bagian belakang rambutnya yang terasa ditarik dengan kasar.
Maha masih memeluk Sabrina, anak itu mengusap perut ibunya dengan lembut hingga tiba-tiba saja wanita itu mundur sambil mendorong Maha menjauh. Sabrina merasakan ada air yang merembes deras di antara pahanya.“Ibu!” panggil Sabrina ke Mirna.Wanita itu pun mendekat, dan Maha ditarik mundur oleh Gama. Suasana kamar sedikit kacau, beruntung perawat yang mengantar Maha dan Olla tadi belum terlalu jauh pergi. Embun buru-buru memanggilnya kembali.Sabrina seperti ketakutan, dia berusaha bernapas dengan mulut hingga tanpa sadar mengejan. Sabrina memasukkan tangan ke balik baju pasien yang dikenakan dan manarik pantiesnya ke bawah.“Ibu, kepala bayiku,” pekik Sabrina setelah sadar ada yang keluar dari jalan lahir.“Hah! kepala?”Mirna dan Felisya kalang kabut, mereka berteriak memanggil dokter atau pun perawat. Beruntung Perawat tadi langsung berjongkok di dekat Sabrina. Tanganya mengadah di antara dua kaki Sabrina. Ia memberikan instruksi agar Sabrina mendorong lagi. Sabrina membuka lebar k
Lima bulan kemudianGama bingung dan cemas, sejak tadi dia mondar-mandir kamar inap Sabrina. Istrinya itu sedang kesakitan menahan gelombang cinta dahsyat yang diberikan bayi mereka. Di sela kontraksi yang mendera tubuh, Sabrina dibuat pusing dengan kelakuan Gama.“Duduk lah, apa kamu tidak capek?” tanya Sabrina sambil berusaha mencari posisi yang nyaman, ini sudah delapan belas jam, dan bayi berjenis kelamin laki-laki buah cintanya dan Gama masih sibuk mencari jalan lahir.“Sab, aku panggil dokter ya, kita lakukan operasi saja,” kata Gama. Mungkin sudah yang ke sembilan kali dia mengatakan hal ini, tapi jawaban Sabrina tetap sama.“Tidak mau, aku sudah merasakan sakitnya berjam-jam, aku bisa menahannya lebih lama.”“Jangan berbohong! kamu kesakitan Sab. Lihat apa yang kamu tinggalkan di lenganku!” kata Gama sambil menunjuk bagian tubuhnya itu. Sabrina malah tertawa mengamati bekas lecet yang dia buat, lengan Gama beberapa kali dijadikannya pegangan saat kontraksi terjadi, hingga kuk
Diwakili oleh pengacaranya, Bagaskara hari itu harus menelan rasa kecewa karena hakim pengadilan memutuskan bahwa hak asuh Maha jatuh ke tangan Gama. Menimbang segala bukti dan dikuatkan dengan surat permohonan Naura, membuat hakim yakin jika anak itu lebih baik berada di bawah pengasuhan Gama. "Maha, bilang terima kasih ke Pak hakim!" perintah Gama ke Maha yang hari itu ikut ke pengadilan bersamanya. Gurat bahagia terpatri jelas di wajah Gama juga Sabrina, akhirnya perjuangan untuk mendapatkan dokumen legal sebagai orangtua Maha sudah ada di tangan mereka. "Terima kasih," ucap Maha sambil memberikan hormat, kepalanya mengangguk kecil dan berhasil membuat hakim tersenyum. Hakim ketua mengusap kepala anak itu lembut, dia tahu Naura sudah meninggal. Agak teriris batinnya membayangkan anak sepolos Maha kehilangan ibu kandung dan bahkan tidak tahu siapa ayah kandungnya. Tak jauh dari tempat Sabrina dan Gama berdiri, Rudi berbincang dengan pengacara Bagaskara. Wajah pengacara itu
Duka masih menyelimuti hati Gama dan Sabrina, perasaan benci yang berubah menjadi simpati membuat ke duanya merasa sangat kehilangan Naura. Masih tak mereka sangka Naura harus pergi di saat hati Maha mulai terbuka, di saat semua orang bisa menerima kehadirannya dan memaafkan kesalahannya.Gama dan Sabrina menatap Maha yang terlelap tidur di ranjang mereka, belakangan anak itu seolah tahu bahwa wanita yang melahirkannya telah tiada, banyak yang Maha tanyakan salah satunya kenapa Naura pergi, ke mana dan akankah mereka bisa bertemu dengan wanita itu lagi suatu saat nanti.Awalnya Sabrina kebingungan. Menjelaskan secara rinci ke Maha jelas tidak mungkin dia lakukan, hingga sebuah kalimat paling mudah dia ucapkan. Bahwa Naura sakit, tapi kini sudah sembuh dan pergi ke surga bertemu dengan orang yang paling dikasihi.“Kemungkinan keputusan pengadilan akan dipercepat,” bisik Gama, dia peluk Sabrina dari belakang dan mengusap lengan istrinya yang terus menatap Maha.“Itu menjadi kabar baik d
Acara liburan di pantai menjadi hari terakhir Adam mendengar Naura bicara dan tersenyum. Setelah itu kondisi sang istri terus saja melemah hingga terbaring koma. Adam seorang diri menjaga Naura, bagaimana tidak? bahkan saat dikabari, Bagaskara acuh kepada kondisi putri kandungnya.“Aku sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi, setidaknya sebelum koma dia bahagia karena Maha mau berinteraksi dengannya, meski anak itu belum mau memanggilnya Mama.”Gama duduk bersisian dengan Adam. Mendengarkan setiap curahan hati pria itu. Gama tahu Adam pasti sangat hancur, baru saja dia menemani pria itu mendengar penjelasan dokter yang bertanggungjawab pada kondisi Naura. Gelang pasien di pergelangan tangan kiri Naura sudah diganti menjadi warna ungu yang artinya harapan hidup pasien sangat kecil. Jika semua alat penunjang kehidupan Naura dilepas, maka wanita itu akan pergi untuk selamanya.“Aku tidak ingin menyetujui saran dokter, jika harus pergi biarlah dia pergi saat jiwanya sudah ikhlas,” lirih
“Kamu memang anak tidak bisa diandalkan!”Kalimat kejam itu meluncur dari bibir Bagaskara, dia meminta Naura datang menemuinya dan hanya makian yang diperdengarkan. Ia sama sekali tidak menanyakan kondisi putrinya yang nampak begitu pucat.“Papa tidak akan bisa mengambil Maha dari Gama, dia akan menjadi putra Gama dan Sabrina selamanya,” kata Naura tanpa memandang Bagaskara.Tangan pria tua itu mengepal karena bantahan sang putri. Ia pun melempar vas bunga di dekatnya sampai hancur berkeping-keping.“Terserah! Lakukan sesukamu, aku bahkan tidak peduli kalau kamu mati sekalipun.”Bagaskara pergi meninggalkan Naura dan Adam di ruang tamu. Buliran kristal bening mengalir membasahi pipi Naura. Ia sangat menyesal karena sudah mengambil langkah yang keliru. Seharusnya dia tidak perlu datang ke Bagaskara karena meski bergelimang harta jiwanya terasa begitu hampa.Naura menoleh Adam, masih dengan air mata berlinang dan suara yang berat, dia mengajak suaminya pulang. Dari pada memikirkan tenta