Share

Bab 2 : Hari Pertama

“Masih tidak mau turun? Papa sudah terlambat pergi bekerja Maha,” ucap Gama ke putranya yang masih tak mau beranjak dari kursi penumpang.

Sebagai seorang pria tak berpengalaman seperti Gama, mengurus anak seorang diri sampai sejauh ini bukanlah perkara mudah. Dia pernah frustrasi dan nyaris menyerah, tapi setiap kali perasaan itu muncul hati kecilnya selalu berkata, bahwa Maha hanya memiliki dirinya. Gama pun tak tega ke bocah yang kini sudah mulai banyak maunya itu.

Maha diam bak patung, matanya terus menatap dashboard mobil tanpa mau menoleh ke arah pria yang mengajaknya bicara. Bukan pertama kali ini saja Maha malas-malasan pergi ke sekolah. Setiap kali keinginannya tidak dipenuhi, maka anak itu pasti akan merajuk dan hal ini membuat Gama tidak bisa melakukan apa-apa.

“Maha, Tabebe tidak mungkin bisa menjadi ibumu, Nak. Jadi Papa tegaskan sekali lagi, Tabebe tidak akan jadi ibu Mahameru Gutama.Titik.”

Mendengar ucapan sang papa Maha merasa sedih, bibirnya yang mengerucut sudah bergetar-getar tanda bahwa tangisnya siap untuk diledakkan. Namun, kali ini Gama dibuat terperangah, putranya itu turun dari mobil sambil mengusap pipi. Gama melihat dengan jelas air mata Maha menetes deras. Bukankah tangisan yang paling menyedihkan adalah yang seperti itu? tak bersuara tapi sangat menekan di rongga dada.

Gama merasa bersalah, dia lepas sabuk pengaman yang melekat di badan dan bergegas turun untuk mengejar sang putra, tapi Maha lebih dulu berlari kencang masuk ke dalam gedung sekolah. Pria itu membuang napas kasar, dia bingung harus memberikan alasan apa lagi ke Maha yang setiap hari meminta ibu padanya. 

_

_

“Siap! Iya, saya mengerti!”

Sabrina terus saja mengangguk saat manager HRD agensi tempatnya bekerja memberi penjelasan. Dia yang menjawab iya-iya sejak tadi malah membuat sang manager merasa curiga, hingga wanita berkacamata minus sepuluh bernama Rahma itu mendapatkan ide, untuk menguji apakah Sabrina benar-benar mendengarkan penjelasannya atau tidak tadi.

“Apa?” tanya Sabrina kaget.

“Ulangi penjelasanku tadi!” ucap Rahma yang penampilannya mengikuti trend tahun sembilan puluhan.

Sabrina menelan saliva, wajahnya sangat tidak meyakinkan. Rahma sudah geleng-geleng berpikir dan menganggap remeh kepadanya, hingga semua ucapan yang baru saja disampaikan oleh manager HRD itu diulangi Sabrina dengan sangat lancar.

“Pak Lintang Gutama, selain model dia juga eksekutif direktur di SIGN Agensi. Dia hanya mengambil pekerjaan pemotretan produk yang lolos kriterianya sendiri. Setiap hari dia akan berada di agensi sampai jam sebelas siang, setelahnya dia akan berkantor di PG group sampai jam lima sore. Tugas saya hanya menjadi asistennya di SIGN tapi jika dibutuhkan saya harus ikut ke PG Group, begitu ‘kan Bu?” Sabrina mengakhiri penjelasannya dengan senyuman lebar, terang saja Rahma yang meremehkan tidak bisa menjawab.

“Nah … dan satu lagi, aku tidak ingin kamu menyalahkanku jika aku tidak menyampaikan ini.”

Kening Sabrina terlipat halus, dia merasa aneh dengan ucapan Rahma barusan. Sepertinya beraroma tidak sedap, Ia pun perlahan menghilangkan senyuman dari bibir dan bertanya, “Me-memangnya apa, Bu?”

“Semua asisten sebelum kamu mengundurkan diri dan bahkan kabur tanpa kabar,”ujar Rahma. Ia menggerakkan ke empat jari tangan kanan agar Sabrina mau mendekat. “Itu semua karena anak pak Gama yang bernama Maha.”

“A-a-anak? Apa maksudnya? Saya 'kan bekerja dengan Pak Gama bukan anaknya,” kata Sabrina, akal sehat gadis itu seakan menolak mentah-mentah informasi yang diberikan oleh Rahma.

“Apa kamu tidak membaca kontrakmu dengan seksama? Kamu pasti silau dengan nominal gaji yang diberikan? Coba kamu cek lagi! di sana tertulis dengan jelas bahwa asisten Pak Gama juga harus melakukan beberapa tugas yang menyangkut urusan di luar agensi, salah satunya menjemput putranya ke sekolah.”

Sabrina lunglai,dia berjalan menuju ruangan atasan barunya dengan langkah kaki yang terseret-seret. Tak biasanya seorang Sabrina gentar seperti ini. Namun, mendengar cerita dari Rahma dia agak ngeri juga. Bayangan putra Gama di pikirannya sudah seperti monster kecil yang siap untuk mencabik-cabiknya. 

“Apa kamu tahu? dia pernah meneriaki asisten Pak Gama penculik saat dijemput, itu hanya karena dia tidak ingin pulang karena ingin membeli ikan cupang.”

Sabrina menggeleng, dia berniat menolak mentah-mentah saat Gama menyuruhnya mengerjakan hal merepotkan itu nanti. Sabrina menyemangati diri, dia tekuk kedua tangannya sambil meneriakkan yel-yel. Nahas, karena terlalu bersemangat dia sampai tak menyadari bahwa sang atasan sudah datang dan menyaksikan secara langsung tingkah konyolnya dari arah belakang. 

Gadis itu hendak memutar tumit karena lupa bertanya password Wifi, tapi saat berbalik kepalanya membentur dada kekar seseorang. Mulut Sabrina pun menganga, dia membeku tatkala indera penciumannya dimanjakan dengan aroma yang sungguh elegan dari parfum yang dipakai pria yang dia tabrak. Sabrina mendongak, wajahnya berubah takut menyadari siapa pria yang kini tengah berdiri di hadapan.

“Pa-pa-pa-pak Ga-ga-gama,” ucap Sabrina terbata-bata.

Gama yang bisa menebak siapa Sabrina pun bersikap biasa. Ia sudah diberitahu bahwa asisten barunya akan datang hari itu.

“Apa kamu Sabrina?”

“Ah … iya, ngomong-ngomong dari mana Anda tahu?” tanya Sabrina dengan polosnya,dia terlalu terkesima dengan penampilan dan paras Gama, sehingga sebagain kesadarannya menguap entah ke mana.

“Mana mungkin aku tidak tahu nama asistenku sendiri,” timpal Gama. Pria yang memang ramah itu tersenyum manis, membuat Sabrina tiba-tiba menunduk untuk menghilangkan rasa aneh di dada. Demi apa, dia merasa benar-benar meleleh bak permen kapas, dadanya bahkan sudah bertabuh bak kentongan pos ronda.

Gama pun masuk ke dalam ruangan, tanpa berbasa-basi dia menjelaskan semua hal yang dia suka dan tidak suka. Pria itu juga menjelaskan bahwa menjadi asistennya sama saja dengan menjadi sekretarisnya, tapi dia meminta Sabrina tenang karena di PG Group dia memiliki sekretaris sendiri.

Aneh memang, Sabrina sampai heran bagaimana bisa Gama melakoni dua pekerjaan sekaligus. Namun, dia juga pernah mendengar, orang-orang yang hidupnya sukses dan mapan jelas lebih banyak mengorbankan waktu ketimbang orang normal. Mungkin ini berlaku juga untuk Gama.

“Hari ini aku ada rapat jam tiga, kamu jemput putraku di sekolahnya.”

“Hah …. Ma-ma-maaf Pak, apa?” Sabrina lagi-lagi seperti orang bodoh. Tidak pernah terbayangkan di hari pertamanya kerja dia harus langsung mendapat tugas menjemput sang anak atasan yang dibayangannya seperti monster kecil yang siap mencabik-cabik tubuhnya tadi. 

“Ke sini!” pinta Gama. Terang saja Sabrina takut dan malah menggeleng. “Berikan KTP mu! aku harus memotretnya dan mengirimkannya ke guru Maha, jika tidak kamu tidak akan bisa membawanya pulang nanti.”

Sabrina bingung, dia benar-benar merasa harinya akan ditutup dengan kesuraman, setelah menerima rincian pekerjaannya hari itu, Sabrina keluar dari ruangan Gama. Ia lemas, betisnya bergetar membayangkan betapa tengilnya putra pria itu yang harus dijemputnya nanti. Gadis itu pun merogoh ponsel dari saku celanan. dia buru-buru mengirimkan pesan ke Mirna.

[ Jangan dulu hubungi Mas Dodot, aku takut tidak bisa bayar cicilan mobilnya Bu ]

[ Haduh telat Sab, Ibu sudah bilang. Mas Dodot udah girang]

“Ish …. cari mati!” gumam Sabrina, dia menggenggam ponsel dengan kedua tangan dan memukul-mukulkannya ke kening. 

Komen (13)
goodnovel comment avatar
Ummi Khai
ya ampun si Sabrina nih bener² bikin ngakak. hahahaha
goodnovel comment avatar
Ria Rifantiani
ngakak sama maha yg minta beli ikan cupang
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
............ ngakak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status