Share

Bab 7 : Keceplosan

“Anak? Kamu punya anak?”

Bagaskara – ayahanda Naura nampak terkejut dengan apa yang disampaikan oleh putrinya. Pria yang rambutnya sudah hampir putih seluruhnya itu geleng-geleng kepala. Ia menolak apa yang baru saja diucapkan oleh Naura, sedangkan suami putrinya yang bernama Adam hanya bisa duduk dan terdiam.

Naura mengatakan yang sejujurnya pada Adam, dan pria itu tak menujukkan rasa kecewa sama sekali. Hal ini bukan tanpa alasan, karena Adam sangat mencintai Naura, istrinya itu bahkan menangis semalaman karena vonis dari dokter kandungan. Belum lagi Naura juga meratap dan berulang kali menyesali perbuataannya karena sudah membuang anaknya sendiri.

“Apa kamu sudah gila?” Bagaskara berdiri, tajam matanya menatap sang putri yang terus saja menunduk.

“Pa, jangan salahkan Naura. Semuanya sudah terjadi di masa lalu, Papa harus sadar niatan Naura baik. Dia ingin anak itu kembali untuk meneruskan garis keturunan keluarga.” Adam membela, tapi bentakanlah yang dia dapat dari sang mertua.

“Apa kamu secinta itu pada anakku? Aku yang papa kandungnya saja merasa sakit hati dan syok mendengar hal ini, tapi kamu malah tenang seolah hal ini biasa saja, apa kamu menikahinya karena hanya mengincar hartaku?” tuduh Bagaskara.

“Papa!” Naura mengangkat kepala, dia melotot karena tidak suka suaminya dibentak seperti itu.

“Kapan itu terjadi? ha? Ah … pasti saat kamu masih diasuh oleh mamamu itu, kamu benar-benar seperti dia,” hina Bagaskara.

Naura tak bisa berkata apa-apa, kisah hidupnya memang sangat rumit. Hingga sampai akhir pun dia harus tetap mengalami nasib buruk seperti saat ini.

_

_

_

_

“Kamu pergi sama Bik Mun saja ya Maha, nanti Papa titipkan kamu ke Om Rain dan tante Embun. Papa ada urusan penting hari Rabu. Lagi pula aneh sekolahmu mengadakan study wisata di hari kerja.”

Gama mencari baju ganti di lemari sambil menjawab permintaan sang putra. Ia memang sudah tahu soal rencana kegiatan di sekolah Maha. Namun, Gama pikir akan diadakan di hari libur. Ia sudah punya jadwal dan tidak bisa dibatalkan begitu saja.

Maha terdiam, bocah yang sedang duduk di tepian ranjang itu hanya bisa menatap papanya yang kini memutar tumit sambil mengancingkan kemeja. Gurat kesedihan Maha tunjukkan agar Gama merasa iba, terlebih semalam papanya itu memberitahunya bahwa Sabrina hanya asisten, bukan teman apa lagi wanita yang bisa Maha minta menjadi ibunya. Maha paham, terlebih dia sadar apa yang dilakukannya di ruang kepala sekolah tempo hari hanya untuk menyembunyikan gengsinya dari Kenzo belaka.

Maha melompat dari atas ranjang, pundaknya turun dan dia berjalan sambil menunduk keluar dari kamar Gama. Bocah itu membuat sang papa membuang napas panjang lewat mulut. Pemandangan yang biasa, ibarat kata sudah menjadi santapan sehari-hari untuk Gama, tapi ekspresi kekecewaan dari bocah yang baru berumur lima tahun itu, jelas bisa membuat ngilu hati siapa saja yang baru pertama melihatnya.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, Maha memilih diam dan terus menatap keluar jendela. Ia seolah sibuk menghitung banyaknya pohon yang berada di sisi jalan. Gama sendiri sesekali melirik ke arah bocah itu. Ia hendak mengusap pucuk kepala Maha tapi anak itu menghindar, persis seperti emak-emak yang sedang marah pada suami mereka.

Maha turun dari mobil, bocah itu berpamitan tapi tak mau menjabat dan mencium tangan papanya seperti biasa. Gama bahkan harus sampai membuka kaca jendela, memanggil nama putranya bahkan menawarkan untuk menjemputnya pulang sekolah nanti. Namun, bukan jawaban yang diberikan oleh Maha, tapi hanya lirikan tajam mematikan yang menusuk sampai jantung Gama.

“Ah … anak itu, mirip siapa sih dia,” gerutu Gama. Ia pun memilih untuk pergi dan memikirkan cara mengatasi kemarahan sang putra.

_

_

“Bisa tidak kamu batalkan jadwalku hari Rabu nanti? Aku harus menemani Maha pergi.”

Sabrina bingung dengan ucapan sang atasan, dia sedikit susah membedakan kalimat itu perintah atau permintaan. Sabrina diam sejenak, sebelum bertanya ke Gama , “Bapak ingin saya bagaimana? Kalau harus dibatalkan saya akan batalkan, tapi kalau pertanyaan Bapak tadi meminta pertimbangan, maka saya bisa bilang pemotretan hari Rabu itu sangat penting karena si fotografer tidak memiliki jadwal lain sampai tiga bulan ke depan.”

Gama membuang napas dan menyandarkan punggungnya dengan kasar ke kursi. Ia bergumam dan membuat Sabrina melebarkan bola mata.

“Sepertinya aku harus berhenti menjadi model, aku tidak bisa menjalani dua pekerjaan seperti ini.”

“Lalu saya bagaimana Pak?” semprot Sabrina. Ia memasang ekspresi terkejut, suaranya bahkan membuat Gama sampai mengerjab karena kaget.

 “Kalau Anda berhenti jadi model saya lalu harus jadi asisten siapa? semua model di agensi ini sudah punya asisten sendiri, apa saya harus jadi pengangguran lagi? Bapak jangan gegabah membuat keputusan donk Pak, ingat! pikirkan rakyat kecil seperti saya yang butuh sesuap nasi. Kalau Bapak berhenti jadi model, saya juga bisa kehilangan pekerjaan.”

Dari pada marah-marah, ucapan Sabrina tadi malah terdengar seperti curahan hati di telinga Gama. Pria yang gampang merasa tak enak hati itu berniat menolak perkataan sang asisten. Namun, sayangnya Sabrina lebih dulu buka suara kembali.

“Seharusnya sejak awal Anda pikirkan, Anda sudah memiliki anak jadi usahakan semua itu dikomunikasikan ke istri Anda.”

“Aku tidak punya istri,” jawab Gama cepat.

“Ya cari donk!” Sabrina melotot dan langsung mengatupkan bibir. Dia yang sudah susah payah menahan sifat aslinya menyesal karena keceplosan seperti ini.

“Ah … maaf Pak, maaf saya tidak sopan.” Sabirna membungkuk beberapa kali, dia merutuki dirinya sendiri yang terkadang sangat mudah kehilangan kendali.

“Tolong batalkan pemotretan itu untukku, aku harus menemani Maha. Aku tidak bisa melihat anak itu sedih dan … “ Gama menjeda kata, dia tatap wajah Sabrina yang dengan jelas menelan saliva.

“Pak, jangan bilang Anda akan berhenti menjadi model, saya sudah tidak bisa mundur lagi, malu sama tetangga kalau tidak jadi beli Alpansa,” gumam Sabrina di dalam hati.

“Bisakah kamu ikut?” tanya Gama meski dengan suara lirih.

“I-i-ikut? Kenapa saya harus ikut?”

Sabrina melongo. Dia sudah gede rasa, berpikir bahwa Gama ingin menjadikannya ibunda Maha seperti yang diharapkan oleh anak itu. Semalaman dia berpikir, alangkah indahnya bisa menikahi pria seperti Gama, sudah tampan kaya raya. Perbaikan keturunan yang sangat diimpikan nenek moyangnya.

“Kamu ‘kan asistenku, kalau kamu ikut, kamu bisa membantuku membawakan beberapa perlengkapan Maha. Aku tidak pernah pergi berdua dengannya ke tempat seperti itu, biasanya bersama Bik Mun.”

“Lalu kenapa tidak Anda ajak saja Bik Mun, kenapa harus saya Pak?” Sabrina membantah, dia bingung dengan jalan pikiran atasannya, tapi sial baginya Gama malah tersenyum manis membuat Sabrina lagi-lagi tak bisa mengelakkan pesona pria itu.

“Apa sih maksudnya?” bisik Sabrina di dalam hati.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Ummi Khai
Gege jgn senyum2 mulu dong, hati Sabsab udah meleyot nih. kasian jantung anak perawan gak aman
goodnovel comment avatar
Dewi Setianingrum
wahh bisa gawat klo sampai Bapaknya Naura minta Maha nih nanti
goodnovel comment avatar
Wida
jantungmu aman kan sab...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status