Home / Romansa / Papaku Masih Perjaka / Bab 7 : Keceplosan

Share

Bab 7 : Keceplosan

last update Last Updated: 2023-04-02 10:02:32

“Anak? Kamu punya anak?”

Bagaskara – ayahanda Naura nampak terkejut dengan apa yang disampaikan oleh putrinya. Pria yang rambutnya sudah hampir putih seluruhnya itu geleng-geleng kepala. Ia menolak apa yang baru saja diucapkan oleh Naura, sedangkan suami putrinya yang bernama Adam hanya bisa duduk dan terdiam.

Naura mengatakan yang sejujurnya pada Adam, dan pria itu tak menujukkan rasa kecewa sama sekali. Hal ini bukan tanpa alasan, karena Adam sangat mencintai Naura, istrinya itu bahkan menangis semalaman karena vonis dari dokter kandungan. Belum lagi Naura juga meratap dan berulang kali menyesali perbuataannya karena sudah membuang anaknya sendiri.

“Apa kamu sudah gila?” Bagaskara berdiri, tajam matanya menatap sang putri yang terus saja menunduk.

“Pa, jangan salahkan Naura. Semuanya sudah terjadi di masa lalu, Papa harus sadar niatan Naura baik. Dia ingin anak itu kembali untuk meneruskan garis keturunan keluarga.” Adam membela, tapi bentakanlah yang dia dapat dari sang mertua.

“Apa kamu secinta itu pada anakku? Aku yang papa kandungnya saja merasa sakit hati dan syok mendengar hal ini, tapi kamu malah tenang seolah hal ini biasa saja, apa kamu menikahinya karena hanya mengincar hartaku?” tuduh Bagaskara.

“Papa!” Naura mengangkat kepala, dia melotot karena tidak suka suaminya dibentak seperti itu.

“Kapan itu terjadi? ha? Ah … pasti saat kamu masih diasuh oleh mamamu itu, kamu benar-benar seperti dia,” hina Bagaskara.

Naura tak bisa berkata apa-apa, kisah hidupnya memang sangat rumit. Hingga sampai akhir pun dia harus tetap mengalami nasib buruk seperti saat ini.

_

_

_

_

“Kamu pergi sama Bik Mun saja ya Maha, nanti Papa titipkan kamu ke Om Rain dan tante Embun. Papa ada urusan penting hari Rabu. Lagi pula aneh sekolahmu mengadakan study wisata di hari kerja.”

Gama mencari baju ganti di lemari sambil menjawab permintaan sang putra. Ia memang sudah tahu soal rencana kegiatan di sekolah Maha. Namun, Gama pikir akan diadakan di hari libur. Ia sudah punya jadwal dan tidak bisa dibatalkan begitu saja.

Maha terdiam, bocah yang sedang duduk di tepian ranjang itu hanya bisa menatap papanya yang kini memutar tumit sambil mengancingkan kemeja. Gurat kesedihan Maha tunjukkan agar Gama merasa iba, terlebih semalam papanya itu memberitahunya bahwa Sabrina hanya asisten, bukan teman apa lagi wanita yang bisa Maha minta menjadi ibunya. Maha paham, terlebih dia sadar apa yang dilakukannya di ruang kepala sekolah tempo hari hanya untuk menyembunyikan gengsinya dari Kenzo belaka.

Maha melompat dari atas ranjang, pundaknya turun dan dia berjalan sambil menunduk keluar dari kamar Gama. Bocah itu membuat sang papa membuang napas panjang lewat mulut. Pemandangan yang biasa, ibarat kata sudah menjadi santapan sehari-hari untuk Gama, tapi ekspresi kekecewaan dari bocah yang baru berumur lima tahun itu, jelas bisa membuat ngilu hati siapa saja yang baru pertama melihatnya.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, Maha memilih diam dan terus menatap keluar jendela. Ia seolah sibuk menghitung banyaknya pohon yang berada di sisi jalan. Gama sendiri sesekali melirik ke arah bocah itu. Ia hendak mengusap pucuk kepala Maha tapi anak itu menghindar, persis seperti emak-emak yang sedang marah pada suami mereka.

Maha turun dari mobil, bocah itu berpamitan tapi tak mau menjabat dan mencium tangan papanya seperti biasa. Gama bahkan harus sampai membuka kaca jendela, memanggil nama putranya bahkan menawarkan untuk menjemputnya pulang sekolah nanti. Namun, bukan jawaban yang diberikan oleh Maha, tapi hanya lirikan tajam mematikan yang menusuk sampai jantung Gama.

“Ah … anak itu, mirip siapa sih dia,” gerutu Gama. Ia pun memilih untuk pergi dan memikirkan cara mengatasi kemarahan sang putra.

_

_

“Bisa tidak kamu batalkan jadwalku hari Rabu nanti? Aku harus menemani Maha pergi.”

Sabrina bingung dengan ucapan sang atasan, dia sedikit susah membedakan kalimat itu perintah atau permintaan. Sabrina diam sejenak, sebelum bertanya ke Gama , “Bapak ingin saya bagaimana? Kalau harus dibatalkan saya akan batalkan, tapi kalau pertanyaan Bapak tadi meminta pertimbangan, maka saya bisa bilang pemotretan hari Rabu itu sangat penting karena si fotografer tidak memiliki jadwal lain sampai tiga bulan ke depan.”

Gama membuang napas dan menyandarkan punggungnya dengan kasar ke kursi. Ia bergumam dan membuat Sabrina melebarkan bola mata.

“Sepertinya aku harus berhenti menjadi model, aku tidak bisa menjalani dua pekerjaan seperti ini.”

“Lalu saya bagaimana Pak?” semprot Sabrina. Ia memasang ekspresi terkejut, suaranya bahkan membuat Gama sampai mengerjab karena kaget.

 “Kalau Anda berhenti jadi model saya lalu harus jadi asisten siapa? semua model di agensi ini sudah punya asisten sendiri, apa saya harus jadi pengangguran lagi? Bapak jangan gegabah membuat keputusan donk Pak, ingat! pikirkan rakyat kecil seperti saya yang butuh sesuap nasi. Kalau Bapak berhenti jadi model, saya juga bisa kehilangan pekerjaan.”

Dari pada marah-marah, ucapan Sabrina tadi malah terdengar seperti curahan hati di telinga Gama. Pria yang gampang merasa tak enak hati itu berniat menolak perkataan sang asisten. Namun, sayangnya Sabrina lebih dulu buka suara kembali.

“Seharusnya sejak awal Anda pikirkan, Anda sudah memiliki anak jadi usahakan semua itu dikomunikasikan ke istri Anda.”

“Aku tidak punya istri,” jawab Gama cepat.

“Ya cari donk!” Sabrina melotot dan langsung mengatupkan bibir. Dia yang sudah susah payah menahan sifat aslinya menyesal karena keceplosan seperti ini.

“Ah … maaf Pak, maaf saya tidak sopan.” Sabirna membungkuk beberapa kali, dia merutuki dirinya sendiri yang terkadang sangat mudah kehilangan kendali.

“Tolong batalkan pemotretan itu untukku, aku harus menemani Maha. Aku tidak bisa melihat anak itu sedih dan … “ Gama menjeda kata, dia tatap wajah Sabrina yang dengan jelas menelan saliva.

“Pak, jangan bilang Anda akan berhenti menjadi model, saya sudah tidak bisa mundur lagi, malu sama tetangga kalau tidak jadi beli Alpansa,” gumam Sabrina di dalam hati.

“Bisakah kamu ikut?” tanya Gama meski dengan suara lirih.

“I-i-ikut? Kenapa saya harus ikut?”

Sabrina melongo. Dia sudah gede rasa, berpikir bahwa Gama ingin menjadikannya ibunda Maha seperti yang diharapkan oleh anak itu. Semalaman dia berpikir, alangkah indahnya bisa menikahi pria seperti Gama, sudah tampan kaya raya. Perbaikan keturunan yang sangat diimpikan nenek moyangnya.

“Kamu ‘kan asistenku, kalau kamu ikut, kamu bisa membantuku membawakan beberapa perlengkapan Maha. Aku tidak pernah pergi berdua dengannya ke tempat seperti itu, biasanya bersama Bik Mun.”

“Lalu kenapa tidak Anda ajak saja Bik Mun, kenapa harus saya Pak?” Sabrina membantah, dia bingung dengan jalan pikiran atasannya, tapi sial baginya Gama malah tersenyum manis membuat Sabrina lagi-lagi tak bisa mengelakkan pesona pria itu.

“Apa sih maksudnya?” bisik Sabrina di dalam hati.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
Ummi Khai
Gege jgn senyum2 mulu dong, hati Sabsab udah meleyot nih. kasian jantung anak perawan gak aman
goodnovel comment avatar
Dewi Setianingrum
wahh bisa gawat klo sampai Bapaknya Naura minta Maha nih nanti
goodnovel comment avatar
Wida
jantungmu aman kan sab...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Papaku Masih Perjaka   Bab 95 : Bidadari (TAMAT)

    Maha masih memeluk Sabrina, anak itu mengusap perut ibunya dengan lembut hingga tiba-tiba saja wanita itu mundur sambil mendorong Maha menjauh. Sabrina merasakan ada air yang merembes deras di antara pahanya.“Ibu!” panggil Sabrina ke Mirna.Wanita itu pun mendekat, dan Maha ditarik mundur oleh Gama. Suasana kamar sedikit kacau, beruntung perawat yang mengantar Maha dan Olla tadi belum terlalu jauh pergi. Embun buru-buru memanggilnya kembali.Sabrina seperti ketakutan, dia berusaha bernapas dengan mulut hingga tanpa sadar mengejan. Sabrina memasukkan tangan ke balik baju pasien yang dikenakan dan manarik pantiesnya ke bawah.“Ibu, kepala bayiku,” pekik Sabrina setelah sadar ada yang keluar dari jalan lahir.“Hah! kepala?”Mirna dan Felisya kalang kabut, mereka berteriak memanggil dokter atau pun perawat. Beruntung Perawat tadi langsung berjongkok di dekat Sabrina. Tanganya mengadah di antara dua kaki Sabrina. Ia memberikan instruksi agar Sabrina mendorong lagi. Sabrina membuka lebar k

  • Papaku Masih Perjaka   Bab 94 : Kontraksi

    Lima bulan kemudianGama bingung dan cemas, sejak tadi dia mondar-mandir kamar inap Sabrina. Istrinya itu sedang kesakitan menahan gelombang cinta dahsyat yang diberikan bayi mereka. Di sela kontraksi yang mendera tubuh, Sabrina dibuat pusing dengan kelakuan Gama.“Duduk lah, apa kamu tidak capek?” tanya Sabrina sambil berusaha mencari posisi yang nyaman, ini sudah delapan belas jam, dan bayi berjenis kelamin laki-laki buah cintanya dan Gama masih sibuk mencari jalan lahir.“Sab, aku panggil dokter ya, kita lakukan operasi saja,” kata Gama. Mungkin sudah yang ke sembilan kali dia mengatakan hal ini, tapi jawaban Sabrina tetap sama.“Tidak mau, aku sudah merasakan sakitnya berjam-jam, aku bisa menahannya lebih lama.”“Jangan berbohong! kamu kesakitan Sab. Lihat apa yang kamu tinggalkan di lenganku!” kata Gama sambil menunjuk bagian tubuhnya itu. Sabrina malah tertawa mengamati bekas lecet yang dia buat, lengan Gama beberapa kali dijadikannya pegangan saat kontraksi terjadi, hingga kuk

  • Papaku Masih Perjaka   Bab 93 : Putusan Pengadilan

    Diwakili oleh pengacaranya, Bagaskara hari itu harus menelan rasa kecewa karena hakim pengadilan memutuskan bahwa hak asuh Maha jatuh ke tangan Gama. Menimbang segala bukti dan dikuatkan dengan surat permohonan Naura, membuat hakim yakin jika anak itu lebih baik berada di bawah pengasuhan Gama. "Maha, bilang terima kasih ke Pak hakim!" perintah Gama ke Maha yang hari itu ikut ke pengadilan bersamanya. Gurat bahagia terpatri jelas di wajah Gama juga Sabrina, akhirnya perjuangan untuk mendapatkan dokumen legal sebagai orangtua Maha sudah ada di tangan mereka. "Terima kasih," ucap Maha sambil memberikan hormat, kepalanya mengangguk kecil dan berhasil membuat hakim tersenyum. Hakim ketua mengusap kepala anak itu lembut, dia tahu Naura sudah meninggal. Agak teriris batinnya membayangkan anak sepolos Maha kehilangan ibu kandung dan bahkan tidak tahu siapa ayah kandungnya. Tak jauh dari tempat Sabrina dan Gama berdiri, Rudi berbincang dengan pengacara Bagaskara. Wajah pengacara itu

  • Papaku Masih Perjaka   Bab 92 : Jujur Tentang Masa Lalu

    Duka masih menyelimuti hati Gama dan Sabrina, perasaan benci yang berubah menjadi simpati membuat ke duanya merasa sangat kehilangan Naura. Masih tak mereka sangka Naura harus pergi di saat hati Maha mulai terbuka, di saat semua orang bisa menerima kehadirannya dan memaafkan kesalahannya.Gama dan Sabrina menatap Maha yang terlelap tidur di ranjang mereka, belakangan anak itu seolah tahu bahwa wanita yang melahirkannya telah tiada, banyak yang Maha tanyakan salah satunya kenapa Naura pergi, ke mana dan akankah mereka bisa bertemu dengan wanita itu lagi suatu saat nanti.Awalnya Sabrina kebingungan. Menjelaskan secara rinci ke Maha jelas tidak mungkin dia lakukan, hingga sebuah kalimat paling mudah dia ucapkan. Bahwa Naura sakit, tapi kini sudah sembuh dan pergi ke surga bertemu dengan orang yang paling dikasihi.“Kemungkinan keputusan pengadilan akan dipercepat,” bisik Gama, dia peluk Sabrina dari belakang dan mengusap lengan istrinya yang terus menatap Maha.“Itu menjadi kabar baik d

  • Papaku Masih Perjaka   Bab 91 : Perpisahan

    Acara liburan di pantai menjadi hari terakhir Adam mendengar Naura bicara dan tersenyum. Setelah itu kondisi sang istri terus saja melemah hingga terbaring koma. Adam seorang diri menjaga Naura, bagaimana tidak? bahkan saat dikabari, Bagaskara acuh kepada kondisi putri kandungnya.“Aku sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi, setidaknya sebelum koma dia bahagia karena Maha mau berinteraksi dengannya, meski anak itu belum mau memanggilnya Mama.”Gama duduk bersisian dengan Adam. Mendengarkan setiap curahan hati pria itu. Gama tahu Adam pasti sangat hancur, baru saja dia menemani pria itu mendengar penjelasan dokter yang bertanggungjawab pada kondisi Naura. Gelang pasien di pergelangan tangan kiri Naura sudah diganti menjadi warna ungu yang artinya harapan hidup pasien sangat kecil. Jika semua alat penunjang kehidupan Naura dilepas, maka wanita itu akan pergi untuk selamanya.“Aku tidak ingin menyetujui saran dokter, jika harus pergi biarlah dia pergi saat jiwanya sudah ikhlas,” lirih

  • Papaku Masih Perjaka   Bab 90 : Pantai dan Kenangan

    “Kamu memang anak tidak bisa diandalkan!”Kalimat kejam itu meluncur dari bibir Bagaskara, dia meminta Naura datang menemuinya dan hanya makian yang diperdengarkan. Ia sama sekali tidak menanyakan kondisi putrinya yang nampak begitu pucat.“Papa tidak akan bisa mengambil Maha dari Gama, dia akan menjadi putra Gama dan Sabrina selamanya,” kata Naura tanpa memandang Bagaskara.Tangan pria tua itu mengepal karena bantahan sang putri. Ia pun melempar vas bunga di dekatnya sampai hancur berkeping-keping.“Terserah! Lakukan sesukamu, aku bahkan tidak peduli kalau kamu mati sekalipun.”Bagaskara pergi meninggalkan Naura dan Adam di ruang tamu. Buliran kristal bening mengalir membasahi pipi Naura. Ia sangat menyesal karena sudah mengambil langkah yang keliru. Seharusnya dia tidak perlu datang ke Bagaskara karena meski bergelimang harta jiwanya terasa begitu hampa.Naura menoleh Adam, masih dengan air mata berlinang dan suara yang berat, dia mengajak suaminya pulang. Dari pada memikirkan tenta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status