Langkah kaki Hans menuruni anak tangga terdengar berat namun tetap mantap. Ia baru saja selesai mandi, mengenakan kemeja putih dan celana bahan abu-abu, siap berangkat ke kantor. Jam tangannya menunjukkan pukul delapan lewat lima menit. Tapi langkahnya terhenti saat samar-samar ia mendengar suara debat dari arah dapur.
Suara Ashley. Lalu, Sisil.
Semakin ia mendekat, suara mereka semakin jelas.
"Aku bilang, kamu yang nggak tahu malu, Sisil!" suara Ashley sangat keras, mengandung luka yang terpendam.
"Jangan sok paling menderita, Ash. Kalau suamimu nggak tahan sama aku, kenapa dia biarin aku di sini, hah?" balas Sisil dengan nada mengejek.
Sisil berdiri mematung di depan restoran, angin malam mengacak rambutnya yang rapi disisir dan diberi hairspray. Gaunnya kini terasa dingin menempel di kulit, seakan ikut menyerap rasa malu, kecewa, dan sesal yang bergemuruh dalam dadanya.Lampu-lampu kendaraan lalu lalang, tapi tak satu pun yang bisa membuyarkan pandangan Sisil yang masih terpaku ke arah Hans pergi. "Sialan," bisiknya pelan. "Kenapa aku malah begini?"Ia menghela napas dalam. Tangannya gemetar saat ia membuka clutch kecilnya, mencari-cari tisu. Tapi tangannya malah menemukan lipstik, parfum kecil, dan kartu nama yang tak penting. Akhirnya ia mengusap matanya sendiri dengan punggung tangan, membiarkan maskara sedikit luntur.Baru kali ini Sisil merasa sebodoh ini.
Langkah kaki Hendrik terasa berat saat ia meninggalkan area sekat kayu itu dan kembali ke mejanya. Wajahnya tampak sedikit pucat, seolah darah mengalir turun ke kakinya setelah mendengar percakapan dua pria yang duduk tak jauh dari sana.Mereka tahu tentang kehamilan Sandra. Mereka tahu tentang Doni, tentang Riana, bahkan tentang trauma yang dialami gadis itu. Meski belum jelas seberapa dalam penyelidikan mereka, Hendrik merasa waktu tak lagi memihaknya.Ia menarik kursi dengan perlahan dan duduk tanpa suara. Matanya kosong menatap piring di depannya, napasnya berat namun berusaha ditahan agar tidak tampak mencurigakan."Eh, kamu kenapa?" tanya Sisil sambil menyibak rambut ke belakang telinga. "Mukamu pucat banget. Jangan-jangan ... kamu habis liat hantu di
Lampu neon sebuah restoran di sudut jalan itu memancarkan cahaya kekuningan yang hangat, kontras dengan langit malam yang masih diguyur gerimis ringan. Mobil Hans perlahan memasuki area parkir dan berhenti tepat di samping sedan hitam milik Liam. Begitu turun, Hans langsung melihat asistennya itu melambaikan tangan dari balik jendela restoran yang terbuat dari kaca bening.Hans masuk, membiarkan lonceng di atas pintu berdenting lembut saat ia membuka pintu. Aroma spaghetti panas dan kopi latte menyeruak menyambutnya. Ia menemukan Liam duduk di pojok dekat jendela, dua cangkir sudah tersedia di atas meja, salah satunya masih mengepul."Pak Hans." Liam berdiri sebentar memberi salam hormat.Hans duduk dan langsung meraih cangkir yang masih hangat itu. "Terima
Suasana apartemen Sisil terlihat tenang namun menyimpan kegelisahan. Lampu-lampu redup menyoroti interior modern berwarna cokelat keemasan. Di kamar tidurnya, Sisil baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah menggantung di bahunya. Ia berdiri di depan cermin besar yang menempel di lemari, menatap bayangan dirinya dengan mata menyipit, seolah sedang menilai seseorang yang tak ia sukai."Hmm..." Ia mengusap pipinya perlahan dengan jari, lalu bergumam pelan, "Kalau dilihat-lihat aku memang cantik. Bahkan lebih cantik dari Ashley?"Sisil menarik nafas panjang, lalu mendesah sambil memiringkan kepala. "Kenapa sih, Hans? Kamu dulu selalu tergila-gila padaku. Sekarang? Bahkan pandanganmu sekarang sangat dingin. Kayak aku ini cuma bayangan saja."T
Malam telah menyelimuti kota dengan sempurna ketika mobil hitam yang dikendarai Hans melaju perlahan di jalanan lengang. Lampu-lampu jalan menyorotkan cahaya temaram, menciptakan bayangan samar di sepanjang trotoar. Gerimis tipis mulai turun, menari di atas kaca depan mobil, sementara wiper bergerak pelan mengusir butiran air.Hans duduk tegak di balik kemudi, wajahnya terlihat tegang dan penuh kegelisahan. Dalam diam, ia mencoba menyusun langkah berikutnya. Saat lampu lalu lintas menyala merah, ia berhenti dan mengambil ponsel dari konsol tengah. Setelah beberapa detik menatap layar, ia menekan salah satu nama dalam daftar kontak.Sambungan tersambung. "Halo, Theo? Maaf menghubungimu malam-malam begini.""Hans? Wah, sudah lama kita tidak berbicara. Apa ada
Langit senja menjelang malam menurunkan hujan gerimis yang mengguyur kaca jendela ruang kerja Hans. Di balik meja kayu mahoni yang besar dan gelap, Hans duduk menunduk dengan kedua tangan menutupi wajahnya. Bayangan Ashley, dan terutama tatapan polos Baby Neul yang terus-menerus menanyakan keberadaan mamanya, terngiang tanpa henti dalam pikirannya.Seketika, suara notifikasi pesan masuk memecah keheningan. Hans mengangkat ponselnya. Itu dari Liam."Sudah saya telusuri sampai kantor taksi online. Plat nomor mobil yang digunakan Bu Ashley tidak terdaftar. Kemungkinan palsu. Saya akan terus mencari."Dada Hans terasa menghimpit. Ia langsung menekan tombol kontak Liam. Suara sambungan terdengar beberapa detik sebelum akhirnya dijawab.