Lorong rumah sakit itu terasa semakin panjang dan sunyi, seolah menyimpan rahasia besar yang baru saja akan terungkap. Langkah kaki Doni, Ashley, dan Hans menggema perlahan. Doni berjalan dengan dada sesak, pikirannya berkecamuk sejak mendengar nama "Sisil" keluar dari mulut Hans.
Ashley yang berada di sisi Doni juga masih memikirkan hal yang sama. Perasaan tak suka dan benci pada Sisil masih ada, tapi kini bercampur dengan rasa khawatir dan penasaran.
Setibanya di ruang IGD, Hans mengangkat tirai putih yang menutupi salah satu ranjang pasien.
"Sini ... dia di sini," gumam Hans pelan. "Coba lihat."
Seketika, Ashley menoleh ke arah Doni. "Don?"
Lorong rumah sakit itu terasa semakin panjang dan sunyi, seolah menyimpan rahasia besar yang baru saja akan terungkap. Langkah kaki Doni, Ashley, dan Hans menggema perlahan. Doni berjalan dengan dada sesak, pikirannya berkecamuk sejak mendengar nama "Sisil" keluar dari mulut Hans.Ashley yang berada di sisi Doni juga masih memikirkan hal yang sama. Perasaan tak suka dan benci pada Sisil masih ada, tapi kini bercampur dengan rasa khawatir dan penasaran.Setibanya di ruang IGD, Hans mengangkat tirai putih yang menutupi salah satu ranjang pasien."Sini ... dia di sini," gumam Hans pelan. "Coba lihat."Seketika, Ashley menoleh ke arah Doni. "Don?"
Pagi merekah perlahan di langit yang cerah. Udara masih terasa segar meski lalu lintas di sekitar RS Puri Medika mulai riuh. Cahaya matahari menembus celah jendela lobi rumah sakit, membentuk garis-garis hangat di lantai putih mengkilap.Doni memasuki rumah sakit dengan langkah ringan dan ekspresi wajah yang sulit disembunyikan dan penuh rasa kemenangan. Ia baru saja kembali dari rumah untuk mengambil pakaian ganti, beberapa dokumen penting, dan barang keperluan lain. Tapi bukan itu yang membuatnya tampak begitu sumringah.Sementara Ashley keluar dari kafetaria kecil di dekat pintu utama, membawa dua bungkus nasi uduk dalam kantong plastik. Rambutnya diikat sederhana, tanpa make-up, namun aura ketenangan terpancar dari wajahnya yang kini sedikit membaik. Ia berhenti sejenak saat melihat Doni, lalu melambai pelan.
Rendra mengerutkan kening, memandang Hendrik yang jelas-jelas sedang berusaha keras menahan perasaannya. "Mulai dari kejadian Sandra, adik Doni. Apa yang sebenarnya terjadi?"Hendrik terdiam sejenak. Ia menggigit bibir bawahnya, sesekali mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. "Itu... aku tidak tahu, aku...""Jangan coba berbohong, Hendrik!" potong Alvin yang sudah tidak sabar. "Kami tahu apa yang terjadi. Kamu sudah memperkosa Sandra. Kamu tahu betul apa akibatnya dari perbuatanmu itu."Hendrik mendongak, matanya berkaca-kaca. "Aku... aku tidak bisa mengendalikan diriku waktu itu.""Cukup!" seru Rendra, suaranya keras dan tegas. "Kamu tahu apa yang kamu lakukan, Hendrik. Tidak ada alas
Rendra mengedipkan mata, lalu mengakhiri sambungan dengan cepat sebelum Hendrik benar-benar menutup lebih dulu. "Terima kasih waktunya, Pak. Mohon maaf kalau mengganggu. Selamat sore."Begitu telepon ditutup, Alvin langsung bergerak cepat di komputernya. Ia menghubungkan layar ke sistem pelacakan satelit dan memperbesar lokasi yang baru saja dikunci. Gambar dari CCTV pelabuhan mulai muncul, meski tidak terlalu jernih."Ini dia. Sinyal ponsel aktif di sekitar pinggiran kota. Kamera menangkap pergerakan pria dengan hoodie gelap, masuk ke area rumah tak berpenghuni tanpa izin. Wajah tidak jelas, tapi ... sepertinya dia menyembunyikan sesuatu," kata Alvin sambil menunjuk ke layar."Apakah kita yakin itu Hendrik?" tanya Alvin, meski nadanya sudah agak yakin.
Liam baru saja selesai mengatur beberapa dokumen di meja kerjanya ketika melihat Hans bergegas keluar dari ruangannya. Wajah bosnya terlihat serius, tergesa-gesa, dan ada sesuatu yang berbeda?sesuatu yang membuat Liam sedikit khawatir."Pak Hans, Anda mau ke mana?" Liam bertanya, suaranya penuh rasa ingin tahu.Hans berhenti sejenak, memalingkan wajahnya ke arah Liam. Matanya tampak penuh pemikiran, tetapi ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan."Aku mau ke Rumah Sakit Puri Medika," jawab Hans tanpa banyak kata. Suaranya sedikit terburu-buru."Ada apa, Pak? Apa ada yang sedang sakit atau perlu mendapat bantuan medis?" tanya Liam penasaran.
Suasana kantor polisi siang itu cukup sibuk. Di salah satu ruangan yang dikhususkan untuk penanganan kecelakaan lalu lintas, seorang petugas berpakaian dinas lengkap tengah duduk di balik meja dengan tumpukan barang bukti yang baru saja masuk. Di antara dompet, jam tangan retak, dan sehelai scarf dengan bercak darah samar, ia menarik satu buah ponsel dengan casing merah muda yang sudah sedikit tergores.Petugas itu, Bripda Rino, menatap ponsel tersebut sambil mengerutkan dahi, "Mungkin ini milik korban wanita dari kecelakaan tadi pagi," gumamnya pelan.Ia menekan tombol daya. Tak ada respon. Ia ulangi. Kali ini muncul logo ponsel yang menyala perlahan. Rino mengangguk kecil, sedikit lega. "Syukurlah, cuma mati sementara. Mungkin jatuh dan terguncang waktu benturan."