Langit pagi itu tampak mendung, seolah menyerap suasana hati Hans yang sama kelabunya. Ia berjalan memasuki gedung kantornya dengan langkah pelan dan bahu yang sedikit merosot. Setibanya di ruangannya, Hans hanya menaruh tas kerja tanpa membuka apapun. Pandangannya kosong menatap meja, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.
Bayangan wajah Ashley semalam masih menghantuinya. Ia tak bisa lupa tatapan terluka itu. Rasa bersalah, kehilangan, dan marah saling bertumpuk di dadanya, mengikis sedikit demi sedikit kekuatan yang ia coba pertahankan.Tok, tok, tokPintu diketuk pelan. Liam, asisten setianya, muncul dengan dua gelas kopi hangat di tangan, "Pagi, Pak Hans," sapanya lembut, berusaha tetap ceria. "Saya bawakan kopi, yang extra strong. Sepertinya Anda butuh semangat pagi ini."Hans menoleh, mencoba tersenyum. "Terima kasih, Liam," ucapnya sambil menerima gelas kertasSetelah beberapa menit, Sisil keluar dari kamar, kini dengan pakaian yang lebih kasual namun tetap menawan. Langkahnya santai, penuh percaya diri, menyusuri lorong rumah menuju dapur. Namun, langkahnya terhenti ketika ia berpapasan dengan Bu Winda, kepala pelayan setia keluarga Hans.Wanita paruh baya itu mematung sejenak. Matanya membelalak begitu melihat Sisil keluar dari kamar Pak Hans pagi-pagi begini. Namun, karena Pak Hans sedang di rumah, ia menahan diri. Wajahnya kaku, hanya mengangguk tanpa sepatah kata, lalu melengos dengan pandangan sinis dan melanjutkan langkah menuju kamar Neul.Sisil menoleh, hatinya panas. Ia tak terima diperlakukan seperti itu."Bu Winda!" panggilnya dengan nada tajam.
Suasana kamar Hans terasa kian sunyi. Lampu tidur yang redup menyorot setengah wajahnya yang tegang. Ia berdiri mematung dengan napas yang berat, sementara Sisil masih berdiri di hadapannya dengan senyum yang begitu berbeda, senyum licik yang disamarkan oleh kelembutan palsu.Hans memandangi pakaian tidur yang melekat di tubuh Sisil. Mata pria itu sekilas memindai siluet lekuk tubuh mantan istrinya yang begitu sengaja ditampilkan. Tapi, bukan hasrat yang muncul, melainkan rasa muak dan kekesalan."Sisil," katanya dingin, "dan aku nggak akan pernah mau ikut permainanmu. Jangan beri persyaratan yang bahkan mustahil untuk aku terima."Namun, Sisil tetap tenang. Ia mengangkat alisnya, lalu melangkah pelan, semakin mendekat. Nafasnya hangat menyentuh leher Hans
Saat Sisil pertama kali membuka aplikasi chat berwarna hijau dan berlogo telepon itu, matanya seketika membulat. Terbelalak begitu terkejut sekaligus penasaran. Ia membatin buat apa Hans menghubungi seseorang yang berprofesi seperti ini.Ia kembali melihat bagian atas sendiri daftar nama orang yang mengirim pesan kepada Hans. Dan nama orang itu adalah Detektif Raka. Alis Sisil langsung terangkat. Ia menyentuh nama itu dengan gemetar tertahan. Jari telunjuknya mulai menggulir isi percakapan."Target berhasil dilacak ke wilayah perbatasan, kontrakan kecil di pinggir kota.""Saya pastikan dia tinggal sendiri, kadang keluar untuk cek kehamilan di klinik terdekat.""Berikut dokumentasinya."
Malam sudah terlalu larut ketika mobil hitam itu perlahan menepi di halaman rumah besar milik Hans. Cahaya lampu taman menyinari samar wajahnya yang tampak lelah dan gundah. Ia menyandarkan kepala ke kursi, memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya menarik napas panjang.Di kursi kemudi, Liam melirik bosnya dengan penuh simpati."Bu Ashley pasti cuma butuh waktu, Pak," ujar Liam pelan, menjaga nada suaranya tetap lembut. "Setidaknya, sekarang Pak Hans tahu kalau? dia hamil. Itu awal yang baik, kan?"Hans membuka mata, menatap dashboard tanpa berkata apa-apa. Jemarinya menggenggam kuat lutut celana jas yang masih rapi. Ia mengangguk perlahan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri."Terima kasih, L
Hans yang baru saja masuk ke dalam rumah kontrakan Ashley, kini nampak berdiri dengan kedua tangan yang bergetar. Ia berusaha menahan segala sesuatu yang ia rasakan. Kini, saat ia tengah berusaha menjelaskan semuanya kepada Ashley, istrinya itu nampak begitu marah dengan kehadirannya."Aku lihat sendiri, Ko. Kamu biarkan dia tinggal di rumahmu? Kamu bahkan ngelihat aku kayak bayangan. Kamu pikir aku bodoh?"Hans menatap Ashley dalam-dalam. "Ash, aku nggak pernah anggap kamu bayangan. Aku?""Kamu pikir aku kuat lihat kamu dirangkul dan didekati seperti itu?" potong Ashley lagi. "Kamu pikir hatiku ini udah mati?"Hans berdiri, suaranya mulai meninggi tapi masih tertahan. "Aku membiarkannya buka
Pria itu yang baru saja bertemu Hans dan Liam itu seketika mengangguk pelan saat Hans mengonfirmasi siapa dia. Liam melihat sosok pria itu dari atas sampai bawah. Membuat pria itu seketika berbicara dengan suara berat tapi tenang."Jangan heran dengan penampilan saya. Saya memang selalu seperti ini saat berada di lapangan."Hans tak menanggapi soal penampilannya dan langsung menyodorkan tangan. "Senang bekerja sama dengan Anda."Raka menyambut jabat tangan itu, menggoyangkannya sedikit sebelum melepaskan. "Saya juga, Pak Hans. Apalagi Anda kenalan Pak Theo. Beliau klien lama saya. Jadi saya pikir, akan menarik melihat sendiri orang yang membuat beliau banyak bercerita."Hans sempat tert