Hujan kian deras mengguyur atap rumah saat langit senja mulai memerah sempurna. Petir sesekali menyambar, menerangi kaca jendela dengan cahaya putih yang menyilaukan. Suara tetesan air dari talang bergema, menambah suasana yang semakin dingin dan muram.
Ashley memeluk Baby Neul erat-erat di pelukannya. Anak itu baru saja selesai menyusu, matanya mulai sayu, dan napasnya menghangat di leher Ashley. Ia mengusap punggung mungil Neul perlahan sambil berjalan mondar-mandir di kamar, berusaha meninabobokan putra kecilnya.
"Neul sayang, tidur, ya? Mama capek banget hari ini," bisik Ashley lirih sambil mencium ubun-ubun bayi itu.
Neul m
Langkah kaki Hans menuruni anak tangga terdengar berat namun tetap mantap. Ia baru saja selesai mandi, mengenakan kemeja putih dan celana bahan abu-abu, siap berangkat ke kantor. Jam tangannya menunjukkan pukul delapan lewat lima menit. Tapi langkahnya terhenti saat samar-samar ia mendengar suara debat dari arah dapur.Suara Ashley. Lalu, Sisil.Semakin ia mendekat, suara mereka semakin jelas."Aku bilang, kamu yang nggak tahu malu, Sisil!" suara Ashley sangat keras, mengandung luka yang terpendam."Jangan sok paling menderita, Ash. Kalau suamimu nggak tahan sama aku, kenapa dia biarin aku di sini, hah?" balas Sisil dengan nada mengejek.
Di kamar Ashley, ia nampak sedang bercengkrama dengan sang kepala pelayan, Bu Winda. Namun, tiba-tiba sorot mata pelayan paruh baya itu menangkap pemandangan aneh. Sebuah koper terletak tak jauh dari posisi istri Paknya itu."Bu? Itu koper? Ibu mau pergi ke mana, ya?"Ashley sempat terdiam. Lalu buru-buru menjawab sambil tersenyum samar, "Oh, ini? Bukan mau ke mana-mana. Aku cuma mau sortir pakaian. Lebih gampang kalau dikeluarkan dulu ke koper. Nggak ada apa-apa kok."Bu Winda belum sepenuhnya yakin, tapi ia mengangguk saja. "Kalau butuh bantuan, saya bantu ya, Bu.""Enggak, Bu Winda. Terima kasih. Saya bisa sendiri," ucap Ashley lembut.
Cahaya matahari menembus tirai ruang tengah, menyebar lembut ke seluruh penjuru rumah yang biasanya hangat oleh tawa dan canda pagi hari. Tapi pagi ini, suasana itu seolah sirna. "Entah kenapa hari ini kok rumah rasanya sepi sekali," batin Hans. Rumah Hans terasa dingin dan sunyi, seakan menyerap sisa-sisa ketegangan yang terjadi malam sebelumnya. Hanya suara pelan dari kamar Ashley yang sesekali terdengar. Ocehan lembut Baby Neul yang tampaknya tengah asyik bermain dengan mainan kecilnya. Suara itu menambah kesan kontras dengan keheningan rumah yang anehnya? tak nyaman. Di ruang tengah, Sisil duduk dengan santai di sofa panjang. Kakinya berselonjor, satu tangan memegang kapas kecil dan alat manicure, membersihkan kukunya sambil sesekali bersenandung pelan. Wajahnya tampak tenang, nyaris tak menunjukkan penyesalan atas insiden semalam. Hans melangkah keluar dari kamarnya. Pandangannya tertumbuk pada sosok Sisil yang masih berada di rumahnya. Dengan nada dingin namun menyelipkan si
Malam itu, suasana semakin menegang tatkala Ashley berpapasan dengan Sisil yang tengah berkeliaran hanya memakai lingerie minim warna hitam. Ashley yang nampak curiga, lantas menekan Sisil untuk mengatakan yang sebenarnya. Apa yang tengah ia lakukan malam-malam begini. "Kenapa kamu mengenakan lingerie seperti itu? Dan kenapa arah datangmu dari kamar itu? Apa kamu masuk ke kamar yang ditempati Hans?" Sisil memutar bola matanya. "Astaga, kamu ini pencemburu banget, ya. Aku cuma pakai lingerie, Ash. Nggak berarti aku tidur bareng suamimu." "Berarti memang benar... kamu memang masuk ke kamar Hans?!" desak Ashley. Sisil tertawa pendek. "Aku kesal tidur sendiri. Mau ngobrol, sebentar. Lagipula? kami dulu pasangan suami istri. Sedikit nostalgia, kenapa tidak?" Pernyataan itu seperti pisau menusuk dada Ashley. "Apa kamu gila?!" Ashley nyaris berteriak. "Hans suamiku sekarang! kamu pikir kamu bisa seenaknya datang dan bermain-main hanya karena kalian punya masa lalu?!" "Kenapa? K
Hans terhenyak. "Jangan bicara seperti itu?" Ashley menoleh, tatapannya kini penuh luka yang jujur. "Aku mencintaimu, Ko. Tapi cinta saja tidak cukup, bukan?" "A-aku tahu, Ash... tapi?" Hans melangkah maju, ingin meraih tangan istrinya, namun Ashley mundur setapak. Ashley masih berdiri di sisi tempat tidur, lalu menunduk memandangi wajah mungil Baby Neul yang lelap dalam tidurnya. Namun di dalam hatinya, badai yang ditahan tadi belum juga reda. Dan ketika Hans hendak berbicara lagi, suara Ashley menghentikannya. "Jadi? kamu akan membiarkan dia tidur di rumah ini malam ini?" tanyanya lirih tapi penuh tekanan. Hans berhenti. "Aku sudah bilang, aku tidak tega membiarkan dia pulang di tengah hujan deras seperti itu." "Kalau begitu, kamu tidur saja bersama dia!" seru Ashley tiba-tiba dengan suara lebih tinggi. "Jangan tidur di sini. Biar aku saja yang tidur dengan anak kita." Hans membalikkan badan, menatap Ashley tajam. "Ash, kamu terlalu berlebihan. Kamu tahu aku tidak pernah berni
Setelah menutup telepon dari Liam, Hans mengembuskan napas panjang. Tubuhnya terasa letih, tidak hanya karena hari yang panjang, tetapi juga karena tekanan batin yang terus-menerus membelit pikirannya."Riana ya... kira-kira apa yang wanita itu rencanakan? Kenapa ia nampak begitu menginginkan kebebasan putranya?"Ia menyandarkan tubuh ke sandaran sofa, membiarkan kepalanya jatuh ke belakang, matanya terpejam. Hujan masih deras di luar. Suara tetesan air menghantam genting terdengar seperti alunan drum alam yang tak kunjung reda.Namun ketenangan sesaat itu buyar seketika.Dua tangan tiba-tiba melingkar dari belakang lehernya pelan, namun erat. Lalu sebuah tubuh bersandar lembut di bahunya. Hans sontak membuka mata d