Suasana kamar Hans terasa kian sunyi. Lampu tidur yang redup menyorot setengah wajahnya yang tegang. Ia berdiri mematung dengan napas yang berat, sementara Sisil masih berdiri di hadapannya dengan senyum yang begitu berbeda, senyum licik yang disamarkan oleh kelembutan palsu.
Hans memandangi pakaian tidur yang melekat di tubuh Sisil. Mata pria itu sekilas memindai siluet lekuk tubuh mantan istrinya yang begitu sengaja ditampilkan. Tapi, bukan hasrat yang muncul, melainkan rasa muak dan kekesalan.
"Sisil," katanya dingin, "dan aku nggak akan pernah mau ikut permainanmu. Jangan beri persyaratan yang bahkan mustahil untuk aku terima."
Namun, Sisil tetap tenang. Ia mengangkat alisnya, lalu melangkah pelan, semakin mendekat. Nafasnya hangat menyentuh leher Hans
Rendra mengedipkan mata, lalu mengakhiri sambungan dengan cepat sebelum Hendrik benar-benar menutup lebih dulu. "Terima kasih waktunya, Pak. Mohon maaf kalau mengganggu. Selamat sore."Begitu telepon ditutup, Alvin langsung bergerak cepat di komputernya. Ia menghubungkan layar ke sistem pelacakan satelit dan memperbesar lokasi yang baru saja dikunci. Gambar dari CCTV pelabuhan mulai muncul, meski tidak terlalu jernih."Ini dia. Sinyal ponsel aktif di sekitar pinggiran kota. Kamera menangkap pergerakan pria dengan hoodie gelap, masuk ke area rumah tak berpenghuni tanpa izin. Wajah tidak jelas, tapi ... sepertinya dia menyembunyikan sesuatu," kata Alvin sambil menunjuk ke layar."Apakah kita yakin itu Hendrik?" tanya Alvin, meski nadanya sudah agak yakin.
Liam baru saja selesai mengatur beberapa dokumen di meja kerjanya ketika melihat Hans bergegas keluar dari ruangannya. Wajah bosnya terlihat serius, tergesa-gesa, dan ada sesuatu yang berbeda?sesuatu yang membuat Liam sedikit khawatir."Pak Hans, Anda mau ke mana?" Liam bertanya, suaranya penuh rasa ingin tahu.Hans berhenti sejenak, memalingkan wajahnya ke arah Liam. Matanya tampak penuh pemikiran, tetapi ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan."Aku mau ke Rumah Sakit Puri Medika," jawab Hans tanpa banyak kata. Suaranya sedikit terburu-buru."Ada apa, Pak? Apa ada yang sedang sakit atau perlu mendapat bantuan medis?" tanya Liam penasaran.
Suasana kantor polisi siang itu cukup sibuk. Di salah satu ruangan yang dikhususkan untuk penanganan kecelakaan lalu lintas, seorang petugas berpakaian dinas lengkap tengah duduk di balik meja dengan tumpukan barang bukti yang baru saja masuk. Di antara dompet, jam tangan retak, dan sehelai scarf dengan bercak darah samar, ia menarik satu buah ponsel dengan casing merah muda yang sudah sedikit tergores.Petugas itu, Bripda Rino, menatap ponsel tersebut sambil mengerutkan dahi, "Mungkin ini milik korban wanita dari kecelakaan tadi pagi," gumamnya pelan.Ia menekan tombol daya. Tak ada respon. Ia ulangi. Kali ini muncul logo ponsel yang menyala perlahan. Rino mengangguk kecil, sedikit lega. "Syukurlah, cuma mati sementara. Mungkin jatuh dan terguncang waktu benturan."
Angin hari itu mulai terasa hangat saat Doni dan Ashley keluar dari kantor polisi. Namun, tak ada yang hangat dalam benak keduanya. Beban peristiwa demi peristiwa yang menimpa keluarga mereka seolah menumpuk dan tak memberi waktu untuk bernapas.Di parkiran, Doni menyandarkan tubuhnya pada mobil, menatap langit yang mulai memucat.Ashley menoleh ke arah mantan iparnya itu, "Oh iya, bagaimana keadaan Sandra sekarang? Apa ada perkembangan?"Doni mengangguk, tapi wajahnya berubah sedikit murung."Tadi aku sempat telpon suster yang nanganin Sandra, ternyata kondisinya masih belum stabil. Kata suster, kadang Sandra ngomong nyambung, kadang enggak. Kadang tenang, tapi bisa tiba-tiba histeris
Langit di luar kantor polisi tampak kelabu, menggantung mendung yang tak kunjung pecah. Di dalam lobi, suasana tak begitu ramai. Hanya suara langkah petugas dan bisikan kecil dari beberapa pengunjung yang sesekali terdengar. Doni dan Ashley duduk di kursi tunggu, menatap kosong ke arah pintu keluar.Ashley masih terlihat gelisah, kedua tangannya menggenggam satu sama lain di pangkuan. Beberapa kali ia menatap ke arah Doni yang duduk bersandar sambil memejamkan mata, seperti tengah menahan amarah yang belum tuntas.Tak kuat menahan rasa ingin tahunya, Ashley akhirnya bersuara pelan, nyaris seperti bisikan."Don, boleh aku tanya sesuatu?"Doni membuka matanya, mengalihkan pandangan ke arah wanita itu. "Tanya saja, Ash
Pagi menjelang di rumah sakit. Langit tampak kelabu, dan udara terasa lembap. Di ruang tunggu luar ICU, Doni duduk di kursi plastik biru dengan tangan menggenggam ponsel dan tatapan lurus ke depan. Sementara di sebelahnya, Ashley baru saja bangkit dari posisi tertidur setengah duduk. Matanya sembab, bekas tangis dan lelah yang tak sempat beristirahat semalaman.Tak ada kabar baru dari ruang perawatan Bu Riana pagi itu. Perawat hanya menyampaikan bahwa kondisi vitalnya masih belum stabil, namun tim medis berupaya keras mempertahankan kesadarannya.Doni menoleh ke Ashley. Wajah kakak iparnya itu begitu rapuh, tapi tetap menyimpan kekuatan yang membuat Doni tergerak untuk segera bertindak."Ash," Doni membuka suara pelan, "hari ini kita ke kantor polisi, ya. K