Sudah lumayan lama waktu Hans dan Ashley berbincang di taman bermain bersama Haneul karena matahari pun juga semakin kembali ke peraduan. Keduanya bangkit dan berjalan menuju mobil yang tak jauh dari mereka duduk. Namun, sosok wanita yang berada di seberang sana berusaha mengejar langkah Ashley dan Hans yang mulai masuk ke dalam mobil. "Eit, benar itu Ashley!" Riana senang bukan main seolah mendapat jackpot. Namun, sedetik kemudian wajahnya berubah, "tapi sama siapa ya, kok gendong anak dan sama laki-laki?" Rasa ingin tau Riana semakin besar dan ingin menghampiri mereka. Namun sayang, langkah kaki Riana harus terhenti karena lampu penyebrangan untuk pejalan masih berwarna merah. "Waduh, sialan banget sih lampunya pake merah segala!" umpat Riana saat berdiri ditepi trotoar dengan wajah frustasi. Dia melirik ke arah Ashley, mengingat pemandangan tadi. Sang mantan menantunya terlihat berjalan bersama seorang pria, sambil menggendong bayi. Sejenak, Riana merasa hatinya dipenuhi r
Tiba di rumah, Ashley kini tampak menidurkan sang bayi di atas kasur. Ia pun juga siap mengganti bajunya dengan dress rumahan yang mudah untuknya bergerak.Di atas ranjang itu, Ashley bersandar pada sandaran ranjang. Namun, pikirannya kembali pada moment saat dirinya dan Hans bersentuhan tanpa sengaja. Meski tanpa disadari Hans, namun Ashley seperti mendapat getaran lain dan itu membuatnya tersipu malu. "Haish, kenapa aku malah mikirin macam-macam sih!" Ashley memukul ringan kepalanya untuk menghilangkan pikiran kotornya saat ini. "Sadar Ash, kamu ini cuma ibu susu Haneul, mana mungkin Pak Hans itu suka sama kamu! Apalagi kamu sudah pernah punya suami dan anak! Jelas kamu bukan seleranya!" Sisi lain Ashley berbicara, seolah mengingatkannya agar tidak terlalu mendongak bintang di atas.Wanita itu bahkan menepuk-nepuk pipinya, untuk menghilangkan rona kemerahan wajahnya yang seolah terasa panas.Di sudut lain. Langkah pelan soso
Ashley berdiri tegak di hadapan sang majikan. Dengan ekspresi tegas, namun tersirat kesedihan yang terlihat samar di matanya. Dalam hati, ia merasa lega sekaligus berat, setelah mengucap pengunduran dirinya. "Ash ... kenapa?" Hans bertanya, terkejut dan tidak percaya. "Nggak, Ash! Kamu gak bisa begitu saja meninggalkan pekerjaan ini. Kamu sangat penting bagi Haneul." Meski Hans sudah menolak pengunduran diri sang ibu susu, memintanya untuk tetap tinggal, Ashley tetap saja berpendirian teguh. Wanita itu menatapnya, dengan raut wajah yang sulit dipahami. "Maafkan saya Pak, keputusan saya sudah bulat. Saya gak bisa terus menerus seperti ini. Fitnah ini sangat melukai saya." Suara Ashley sedikit gemetar, tetapi ia berusaha keras untuk tetap tegas. Sejujurnya Hans sangat takut bila Ashley sampai nekat pergi dari rumahnya. Ia sangat berharap Ashley bisa merubah keputusannya. Hans men
Malam itu, Hans terjaga sepanjang malam. Matanya terpejam, tapi pikirannya terus dipenuhi dengan bayangan Ashley yang sudah pergi sejak kemarin. Kepergian Ashley, menyisakan kekosongan yang sulit diungkapkan pada dirinya. "Apa harus dengan cara seperti ini, Ash?" batinnya tampak gelisah di atas tempat tidur. Sementara Haneul, yang biasanya tertawa ceria, sejak sore pun juga seolah merasakan kekosongan ibu susunya. Terlebih, setelah imunisasi kemarin bayi itu tampak gelisah dan sering menangis. Kini, suara tangisan Baby Neul yang keras itu terdengar sangat nyaring. Bahkan, mampu menyeruak ke setiap sudut rumah tersebut. "Sepertinya Haneul juga merasakannya," gumam Hans samar-samar mendengarkan. Ia bergegas bangkit dari kasur, lalu menyusul ke kamar sang bayi. Bayi itu terus menerus rewel sepanjang malam, seakan merasakan hilangnya sosok ibu susu yang sudah lama menemani. "Kenapa, Ris?" tanya Hans tiba di ambang kamar sang bayi. Risma menoleh terkejut saat menenangkan Baby
Liam mengikuti perintah Hans dengan cepat, mempersiapkan diri untuk mengantar Risma kembali ke agency. Namun, saat dia mendekati Risma, yang sedang berdiri dengan wajah penuh kemarahan di dekat pintu, suasana langsung terasa tegang di antara mereka. "Risma, Pak Hans memerintahkan saya untuk mengantarmu kembali ke Agency," ujar Liam dengan nada profesional. Ia mencoba berbicara sebaik mungkin. Risma menatap Liam dengan mata menyala penuh amarah. "Kamu senang ya, aku pergi dari rumah ini?" tanyanya sinis dan terdengar tajam. "Saya gak akan pergi denganmu! Saya bisa pergi sendiri!" Dengan gerakan cepat, Risma berbalik dan melangkah keluar tanpa memberi kesempatan bagi Liam untuk berkata lebih banyak. Ia merasa terhina, atas ucapan Hans yang membandingkannya dengan Ashley. "Tunggu saja pembalasanku, Pak!" batinnya penuh dendam. Liam hanya bisa berdiri terpaku beberapa detik, terkejut ole
Sementara di rumah Hans, sang penjaga langsung memberikan paket yang berisi Asi dalam kantong steril itu kepada Winda. Kepala pelayan sangat terkejut saat mendengar pernyataan itu. "Benarkah? Kapan ini diantar?" "Barusan, Bu," balas sang penjaga. "Apa Ashley ada di depan?" Winda ingin melangkah maju, berharap bisa bertemu dengannya, namun gerakan kakinya terhenti saat sang penjaga menahan. "Bu Ashley gak ada di depan, Bu. Bukan dia yang mengantar, melainkan Gadi muda." "Gadis muda?" Kata-kata sang penjaga membuat Winda mengerutkan kening. "Siapa dia?" "Entahlah, Bu. Kayaknya dia langsung buru-buru pergi." Setelah mendapat jawaban, Winda langsung mengatakan hal itu pada sang majikan. Hans yang mendengarnya pun juga terkejut, ia merasa bersalah karena tidak bisa melindungi Ashley dengan situasi seperti itu. "Maafkan aku, Ash. Kembalilah bekerja menjadi ibu susu Haneul ..." batinnya penuh gejolak. Seolah ada ruang kosong yang begitu mengganggunya saat ini. "Aku janji, aku akan s
Ketegangan antara Ashley dan Riana semakin meningkat. Ashley, yang sudah berada dalam cengkeraman Riana, merasa dirinya terperangkap dalam situasi yang semakin buruk. Sekalipun ia memberontak dan ingin melepaskan diri, kekuatannya sangat kalah jauh dari sang mantan ibu mertua yang terkenal arogan. "Lepasin, Bu! Ibu gak berhak mengatur hidupku sekarang!" Riana menatap bengis, "Siapa yang gak berhak, hah?!" Tatapannya begitu tajam, kemudian beralih pada tas slempang yang berada di pundak ibu susu Haneul. Ashley merasakan sesuatu yang aneh, seolah Riana sedang mengulitinya. Ia memiringkan badan, berusaha menutupi apa yang diincar wanita paruh baya itu. Dengan tatapan dingin dan manipulatif, Riana menarik paksa tas itu hingga terjadi aksi tarik menarik. "Berikan tas itu! Sepertinya aku mencium bau uang di sana!" Ashley dengan segala kekuatannya, mencoba mempertahankan tas itu. Apa jadinya bila Riana tau bila dirinya memiliki banyak uang. "Jangan, Bu! Ini gak ada apa-apanya
Hari itu, Hans semakin frustasi. Sejak pagi, Liam telah mencari Ashley ke segala penjuru kota. Namun, hasilnya tetap nihil. Terlebih, saat Winda mengatakan bila Ashley masih sempat memompa ASI-nya untuk Haneul, Hans semakin cemas bila sampai Liam tidak menemukannya. "Saya sudah mencarinya kemana-mana Pak, tapi belum juga ketemu. Bu Ashley seperti menghindari keramaian," kata Liam memberitahukan hasil pencarian. Hans menghela napas, "Kamu yakin sudah mencari ke sudut kota. Entah di taman, pusat belanjaan, pasar atau keramaian event." Dengan yakin Liam mengangguk, "Sudah, Pak. Semua tetap tidak ada. Bahkan, Hans juga sempat menghubungi nomor teleponnya, namun tidak terhubung. Seolah Ashley mengalihkan semua akses untuk dihubungi. Wanita itu seakan menghilang tanpa jejak, hingga membuat Hans semakin putus asa. "Ada dimana kamu sekarang, Ash? Please ..." lirihnya dalam kebimbangan. Setelah mendapat pernyataan Liam yang tidak bisa menemukan Ashley, Hans memutuskan untuk iku
Keheningan menyelimuti dalam kamar mereka. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar, menyayat di antara jarak yang mendadak terasa jauh di antara Hans dan Ashley. Tatapan Ashley kini bukan hanya penasaran, tapi juga terluka. Ada sesuatu yang disembunyikan, dan nalurinya mengatakan Hans tidak sepenuhnya jujur.Hans menunduk, tak sanggup membalas tatapan itu. Ia sangat ingin melindungi Ashley, tapi kebenaran yang samar di pikirannya sendiri membuatnya ragu. Perasaan bersalah, bingung, dan takut bercampur jadi satu.“Kamu nyembunyiin sesuatu, kan, Ko?” tanya Ashley dengan suara bergetar“Ash … bukan kayak gitu.”Sang istri berusaha menahan air mata. “Kamu tahu betapa aku kehilan
Situasi dalam ruang keluarga itu semakin hening meski alunan musik Hans mengalun lembut. Namun, tetap saja tidak merubah hati dan perasaan Ashley yang sangat penasaran, mengapa suaminya bisa tahu dengan lagu yang ia dengarkan.Tatapan nanar dalam pelupuk mata yang berkaca-kaca itu ingin segera menemukan jawaban. “Ko …” gumamnya pelan.Hans yang tanpa sadar diperhatikan sang istri dengan tatapan asing pun menghentikan pergerakan jemarinya. “Kamu kenapa, Ash?”Pertanyaan Hans ternyata mampu menghilangkan lamunan Ashley yang kini menatap wajah tampan sang suami dengan terisak.“Kamu kenapa, Sayang?” Hans seketika bangkit dengan menggendong Baby Neul. Langkah kakinya menghampir
Di dalam rumah tangga Hans dan Ashley semakin harmonis meski dalam kehidupan pasangan suami istri itu kedatangan tamu yang sangat tidak diharapkan. Namun, kejadian kemarin tidak membuat Ashley menaruh curiga terhadap mantan istri dari sang suaminya tersebut.Pagi ini di dalam keluarga Hans, Ashley tengah menyibukkan diri sejak tadi di dapur hingga membuat pancake. Sementara Hans sedang bermain bersama sang putra yang kini sudah aktif bermain. Usia Baby Neul setara dengan perkembangan fisik anak sebayanya, namun untuk perkembangan otak anak laki-laki tampan itu sangat cepat tanggap.“Neul, mau apa buka kulkas?” tanya Ashley saat melihat kedatangan sang anak yang membuka lemari pendingin.Rasa ingin tahu sang anak semakin kuat saat ia berhasil membuka kotak p
Sementara Sisil yang tidak mendapatkan keinginannya saat di rumah Hans, wanita itu langsung keluar rumah dan melajukan mobilnya menuju diskotik. Kedatangannya kali ini benar-benar mengejutkan semua orang setelah kepergiannya secara sepihak sekian lalu lamanya.Kedatangannya kembali ke dalam kehidupan Hans, tentu saja tidak jauh dari niatnya ingin menyatu dengan mantan suami dan anaknya. “Sialan banget sih kamu Hans, baru juga aku tinggal beberapa bulan, kamu sudah punya wanita lain,” gerutunya sambil terus menginjak pedal gas.Setiba di Diskotik Eleven, dengan langkah penuh percaya diri, Sisil masuk ke dalam dengan rambut yang tergerai indah. Seolah ada rasa rindu terhadap tempat yang dulunya sering dikunjungi, wanita itu memilih salah satu bangku di sudut ruang tersebut.
Kedatangan Sisil di rumah Hans tentu saja membuat hati kecil Ashley penuh pertanyaan. Siapa wanita yang sempat memeluk suaminya itu? Namun, jangankan bertanya, ingin bernapas saja dadanya masih terasa sesak. Ashley sekuat tenaga menahan semua rasa itu demi sang suami.Tiba di lantai atas, Hans langsung membuka pintu kamar agar sang istri bisa masuk lebih dulu. Ia tidak ingin Ashley semakin kepikiran tentang Sisil, meskipun kenyataannya Ashley memang harus tau siapa Sisil sebenarnya.Keduanya melangkah lebih dalam masuk ke dalam kamar, kemudian Hans menutup pintu kamar rapat. Ada rasa campur aduk di dalam hati pria itu, apakah ini waktu yang tepat mengatakan semuanya pada sang istri?“Uhm … Ash?” panggil Hans tiba-tiba menghentikan langkah kaki sang wanita.
Ashley mengerutkan kening. Ia perlahan turun dari gendongan Hans, berdiri di samping suaminya yang masih mematung, menatap ke arah sosok asing yang berdiri di ruang tamu. "Siapa perempuan itu? Kenapa Ko Hans terlihat begitu tegang?" batin AshleyPerempuan itu tampak anggun, dengan senyum lebar yang seolah tidak menyadari keterkejutan yang mengisi udara di sekitar mereka. Rambutnya tergerai rapi, bibirnya dilukis merah muda, dan matanya bersinar—seolah kedatangannya adalah kabar baik.Belum sempat Ashley bertanya, perempuan itu tiba-tiba melangkah cepat dan langsung memeluk Hans begitu saja, tanpa ragu.Ashley tersentak. Ia berdiri terpaku, matanya membelalak. Dadanya sesak seketika, jantungnya berdegup keras. Sedetik tadi, malam terasa hangat. Kini, ia seperti dilempar ke dalam kolam es.Sementara Hans juga tampak terkejut. Tubuhnya menegang beberapa detik, sebelum akhirnya ia mendorong perempuan itu perlahan, menjauh dari dirinya.
Setelah makan sore yang hangat dan sederhana, Hans dan Ashley akhirnya memutuskan untuk pulang. Hari mulai gelap, dan suasana di antara mereka dipenuhi dengan kehangatan yang masih membekas dari obrolan-obrolan kecil selama makan tadi. Di dalam mobil, Ashley memegang kotak kecil berisi kalung itu erat-erat di pangkuannya. Jemarinya sesekali menyentuh liontin bintang di dalamnya, seolah memastikan hadiah itu nyata dan bukan sekadar khayalan."Aku masih nggak percaya kamu melakukan ini," katanya pelan, masih menatap kotak itu. “Kupikir kita cuma mau makan aja.”Hans melirik sekilas sambil tersenyum. "Kamu suka?" Ashley mengangguk, senyumnya melebar. "Iya, aku sangat suka."Beberapa saat mereka diam. Musik lembut mengisi keheningan, menemani pemandangan lampu-lampu jalan yang melintas perlahan di balik kaca jendela.Tidak lama kemudian, Hans menepikan mobil ke bahu jalan yang cukup sepi, lalu mematikan mesin.As
Sore harinya, dokter akhirnya masuk dengan senyum hangat di wajahnya. Setelah memeriksa hasil tes dan kondisi fisik Ashley, ia memberikan keputusan yang dinanti-nanti."Semua hasilnya baik. Tidak ada indikasi komplikasi. Jadi, Bu Ashley sudah boleh pulang sore ini, ya. Tapi tetap harus banyak istirahat di rumah."Ashley nyaris melompat dari tempat tidur kalau saja Hans tidak langsung menahan bahunya. Senyum lebarnya tidak luntur sedikit pun sejak dokter mengucapkan kata “boleh pulang.”“Terima kasih banyak, Dok!” ucap Ashley semangat.Hans mengangguk sopan. Setelah proses administrasi dan pengambilan obat selesai, mereka pun meninggalkan rumah sakit.Sepanjang perjalanan di dalam mobil, Ashley nyaris tak berhenti tersenyum. Ia duduk dengan tubuh condong ke depan, memeluk tas kecilnya, sementara pandangannya sesekali melongok keluar jendela.Hans yang menyetir di sebelahnya melirik beberapa kali, lalu tersenyum tipi
Pagi menjelang dengan langit yang perlahan berubah cerah, cahayanya menyusup masuk lewat tirai kamar rumah sakit. Ashley duduk di tepi ranjang, mengenakan sweater tipis dan celana panjang yang dibawakan Hans semalam. Rambutnya tergerai seadanya, luka di kepalanya sudah dibalut rapi. Meski nyut-nyutan masih terasa, wajahnya terlihat jauh lebih segar daripada malam sebelumnya.Hans mondar-mandir di kamar, membereskan tas kecil yang berisi barang-barang Ashley. Sesekali ia melirik istrinya, memastikan semuanya baik-baik saja.Ashley menggeser selimutnya pelan dan menurunkan kaki ke lantai. Dengan hati-hati, ia berdiri, lalu berjalan perlahan ke arah kamar mandi.Hans yang sedang membereskan tas langsung menghentikan gerakannya. “Mau ke mana?” tanyanya cepat.“Mau ke kamar mandi,” jawab Ashley tanpa menoleh.“Biar aku antar,” ucap Hans, sudah melangkah mendekat.Ashley menoleh sebentar. “Nggak usah, Ko. Aku bisa sendiri.”Ha