"Lho dari mana? Kok hari gini baru sampai, Nduk?" Tanya Ibu cemas. Ibu sudah memakai mukena. Karena Maghrib baru saja menyapa."Damar? Kamu kenapa, Nak? Astaghfirullah siapa yang memukulmu seperti ini, Nak? Ya Allah, Bapak ...!"Ibu benar-benar cemas. "Retna! Damar kenapa? Siapa yang mengh ajarnya sampai babak belur begini?" Retna diam menunduk takut."Bu ..." Tangis Mas damar pecah membuat Ibu terdiam bingung. Bapak kemudian datang."Kenapa kamu, Damar? Kamu ini dari dulu selalu bikin ulah. Udah nikah pun masih membuat susah," bentak Bapak geram."Pak! Jangan gitu! Dia anakmu," bela Ibu."Dia anakmu, bukan anakku!" Sentak Bapak lalu membuang pandang. Ibu menatap Bapak dengan mata berkaca-kaca. Aku juga bingung mau bagaimana. Apa maksud Bapak jika Mas Damar anak Ibu, bukan anak Bapak? Aku penasaran, tapi saat ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Suasana makin panas. Aku tak tau apa yang akan terjadi jika Ibu dan Bapak tau Mas Damar berzina dengan baby sitter anaknya yang merup
"Oh, engga kok, Mbak. Dinara ini bekerja di perusahaan Papa saya. Saya kenal atasannya. Jadi, saya rasa Mbak salah orang kalau bilang Dinara bisa gaji besar karena merayu bosnya. Bos Dinara itu seperti kulkas. Tak akan mudah menaklukkannya," ujar Cheryl lalu tersenyum simpul, Mbak Ulya melengos. Cheryl tertawa lirih. Diikuti Bapak dan Ibu. Aku masih menatap Cheryl. Mengingat-ingat apa pernah aku bercerita tentang Pak Joshua padanya?"Dinara! Kok bengong?""Eh, anu enggak. Gapapa. Maafkan Mbak Ulya ya, Cher," imbuhku segan."Gapapa, namanya ga tau dan ga menyangka kamu bisa menjadi sekretaris Pak Joshua ya wajar ngomong kayak gitu.""Kamu tau Pak Joshua itu kayak kulkas dari siapa?" Tanyaku masih penasaran."Lho, kan emang kamu yg cerita," ujarnya mengeryitkan kening. Aku terkekeh, berarti aku tanpa sadar menceritakan semuanya tentang Pak Joshua pada Cheryl."Besok Minggu kita jalan jalan yuk, Cher," Ajakku."Maaf, Ra. Aku kalau Minggu ke gereja bersama keluarga. Hmm... Gimana kalau Sa
"Mas! Kamu kenapa? wajahmu lebam-lebam gitu?" Mbak ulya mendekat lalu memegang bagian wajah suaminya yang terlihat membiru.Entah apalagi yang mereka bicarakan aku memilih ke depan saja.***Keesokan harinya. Pagi-pagi sudah rame diluar. Aku yang sehabis subuh ketiduran beranjak keluar."Ga bisa, Retna! Bulan ini kamu sudah aku gaji. Ini baru tanggal 5 kamu sudah minta pulang. Balikin uangku kalau kamu mau pergi!" Seru Mbak Ulya kencang."Kalau aku balikin untuk ongkos pulang aku tak punya, Mbak," sahut Retna memelas. Tas ditangannya dilepas ke lantai."Wis tho, Nduk. Biar Retna bawa uangnya. Kasian dia. Mungkin kangen sama Ibunya di kampung. Nanti pasti balik lagi, ya tho Na?" Mbak Retna menggelengkan kepalanya yang masih menunduk."Enggak, Bu. Saya ga akan balik lagi. Saya di kampung saja, bantu Bapak ngarit di ladang. Lumayan upahnya buat makan.""Bo doh kamu! Udah aku bawa kesini, Bude Yani pasti seneng kamu disini, dari pada di kampung. Kotor, gatal dan menji jikan." Aku tertawa
"Ibu mau gantiin Retna? tidak! Pokoknya ga boleh. Urusan anaknya biar Mbak Ulya aja yang mikirin. Ibu setelah ini mau bantu bantu Bapak di toko!" Sahutku yang langsung menghampiri mereka.Ibu dan Mbak Ulya menoleh serentak. "Kamu itu terlalu banyak mengatur! Biarin aja ibu melakukan apa yang Ibu mau!" Cetusnya."Ibu bukannya mau, Mbak. Tapi, ibu hanya tak tega melihat anak-anakmu ditelantarkan oleh mamanya.""Siapa yang nelantarin! Aku kerja, Dinara!" Hardiknya."Iya, Mbak kerja. Tapi, Mbak ga ikhlas membayar baby sitter untuk mengasuh anak-anak Mbak. Malah mbak membawa sepupu Mbak itu kesini ngaku ngaku sebagai baby sitter yang diambil dari yayasan. Aku sudah tau semua, Mbak. Mbak ga usah ngeles lagi." Mbak ulya terdiam dengan raut wajah gusar."Sepupu? Jadi Retna itu sepupunya Ulya?" Tanya Ibu menatap Mbak ulya yang terdiam."Iya, Bu. Nara dengar sendiri kok dia bisik bisik di kamar. Dia membawa sepupunya kesini sebagai pembantu agar namanya harum dikampung sebagai pahlawan. Tapi,
Aku hanya tersenyum. Aku juga baru bergabung. Belum tau banyak tentang Perusahaan milik keluarga Cheryl itu."Mbak Ulya terlalu berlebihan. Oh ya, aku minta maaf, ya Mbak. Nanti aku akan mengganti ponsel Mbak yang aku rusakin.""Tak usah, Ra. Nanti Mbak beli yang baru aja." Ucapnya santai. Syukurlah dia tak mempermasalahkan. Walau begitu aku masih bertekad mengganti ponselnya kalau gajian nanti.Satu masalah selesai. Aku berangkat kerja dengan langkah yang ringan. Beribu beban yang terasa menindih seakan lenyap menghilang. Semoga saja Mbak Ulya dan Mas Damar kali ini bersungguh-sungguh menyadari kesalahannya.Tak terasa sudah sebulan berlalu. Ibu dan Bapak mulai menyibukkan diri dengan jualan sarapan lagi kalau pagi. Lalu berangkat ke toko saat siang. Tapi, itu hanya beberapa hari saja. Aku khawatir Bapak kecapekan. Sehingga aku mencari satu karyawan untuk menjaga toko. Seorang gadis muda bernama Aulia. Dia direkomendasikan oleh Cheryl. Katanya anak itu jujur dan tak neko neko. Benar
"Duduk di depan! Kamu kira saya supir!" Sentaknya saat aku mau membuka pintu mobil bagian belakang. Reflek aku terdiam lalu kembali menutup pintu yang sudah kubuka. Duh, nasib. Punya bos ga lak, arog an, sok ngatur, gengsi tinggi. Hatiku terus mengoceh sampai puas. Ga berani juga ngomong langsung bisa bisa langsung dipecatnya aku."Nah gitu! Anda kira anda siapa seenaknya duduk dibelakang. Mau jatuhin wibawa saya." Gumamnya namun masih sangat jelas terdengar. Secara aku sudah duduk disampingnya."Maafkan saya, Pak. Sungguh tak ada niat seperti itu," ucapku bersungguh-sungguh. Walau sebenarnya hatiku kesal juga mendengar ocehannya.Permintaan maafku lewat begitu saja bak angin lalu. Pak Joshua sama sekali tak menanggapi. Matanya lurus ke depan menatap jalanan yang mulai padat merayap. Aku meraih ponsel."Pak, saya ijin menelpon mau mengabari Bapak sama Ibu kalau saya telat pulang." Lama tak ada jawaban."Telepon aja. Kenapa minta ijin saya. Saya kan bukan pacar kamu!"Astaghfirullah, P
"MasyaAllah, Nak Joshua. Iya Nak, Bapak percaya. Kalau Nara nak al tolong omelin aja." Aku merenggut. Emang aku bocah apa!"Tenang, Pak. Dinara kalau sama saya tak bisa pecicilan apalagi nakal. Bapak tak perlu khawatir."Astaghfirullah, ini orang nyebelin nya kok bisa berlapis-lapis gitu kayak wafer.Tak lama obrolan mereka selesai. Pak Joshua menyerahkan ponsel padaku tanpa berkata sepatah kata pun. Masih ada sisa senyum di bibirnya. Kalau dilihat dia manis juga. Bibirnya yang merah tak pernah tersentuh tem bakau. Wajahnya juga putih bersih dengan mata yang menyipit khas orang luar sana. Karena sepertinya Pak Joshua ini masih satu keturunan dengan Cheryl yang merupakan ada darah Tionghoa."Ga usah lihatin saya seperti itu. Nanti sayang!"Astaghfirullah, aku langsung memalingkan wajah. Gi la ternyata tingkat kepedeannya tinggi juga. Dih, amit amit jadi sayang! Untuk dekat dekat dengannya saja aku sudah ngeri.Tak lama kami pun sampai pada sebuah showroom yang cukup luas. Ngapain kesin
Bapak berkaca-kaca melihatku pulang membawa mobil. Berkali-kali beliau mengucapkan terima kasih pada Pak Joshua. Laki-laki itu menyambut hangat, bahkan bos Som bong itu mau duduk di sofa tua ruang tamu rumah kami untuk mengobrol. Meyakinkan pada Bapak jika mobil itu bukan hutangan. Tapi, memang hibah pemberian darinya untukku."Tenang, Pak. Saya tak bermaksud apa-apa. Selain untuk memudahkan Dinara bekerja. Karena kami sering keluar untuk bertemu klien. Jadi, saya belikan mobil. Itu pun atas persetujuan Pak Edward.""MasyaAllah, Nak. Bapak tak tau harus bilang apa lagi. Terima kasih banyak, Nak. Semoga Nak Joshua, istri dan anak-anaknya sehat semua, panjang umur, berkah bahagia." Do'a panjang Bapak. Pak Joshua tersenyum lalu menoleh padaku yang juga tertunduk segan. Pak, istrinya masih diplanet antah berantah, apalagi anak. Aku membuang pandang ke arah mobil mengalihkan pandangan Pak Joshua yang meminta bantuan. Aku yakin Bapak hanya memancing Pak Joshua untuk membuka jati diri."Saya