POV Yazid "Pulanglah, Josh. Kalau kamu pulang. Mama akan memberikan apa yang kamu mau."Entah dari mana datangnya, Mama sudah berada di samping mobilku."Mama? Mama kok tau josh disini?" Tanyaku agak khawatir. Namun, melihat mama yang memakai kerudung aku jadi ragu. Jangan-jangan Mama sadar setelah setahun ini ditinggalkan anak-anaknya."Josh, kamu sudah mendapatkan jalan kebenaran. Kenapa kamu tidak mengajak Mama?" Mata Mama sendu. Tak ada lagi sinar keangkuhan seperti dulu. Agaknya Mama sudah menyesali semuanya."Maksud Mama?" "Pulanglah Josh. Kita mulai lagi hidup seperti dulu. Mama tak akan memaksa apa yang tidak kamu suka. Kamu bebas memilih jalan hidupmu, Nak." Suara Mama begitu lembut. Menggetarkan hati yang memang selalu merindukannya. Aku mendekat dan memeluk Mama. Mama memelukku erat. Bahunya turun naik menahan isak. Kini aku sebenar yakin jika Mama memang sudah berubah."Joshua akan pulang bersama mama. Tapi, ijinkan Joshua untuk kerumah terlebih dahulu, Ma. Karena mama s
Tak menyangka jika Bu harsanti telah menyiapkan preman-preman itu untuk membuatku menyerah. Itu tidak akan pernah terjadi. Meski nyawa harus kukorbankan. Bagiku pernikahan adalah ikatan suci yang dapat terpisah karena memang sudah tidak ada kecocokan di antara pasangan suami-isteri. Atau salah satunya menyerah dan melepaskan tanggung jawabnya dengan cara baik-baik. Tidak dengan cara seperti ini.Enam orang preman sudah kutaklukkan. Begitulah mereka hanya modal tampang seram dan tubuh besar menganggap remeh seorang perempuan.Tepat saat preman terakhir kujatuhkan. Perutku terasa kram. Aku meringis, menahan sakit. Lalu terduduk dilantai. "Lepas! Lepaskan!" Suara teriakan perempuan di belakang mengejutkanku. Aku menoleh seketika darahku terkesiap. Kini Pak Edward dan Mama Mas Yazid sedang bergelut memperebutkan sebuah stik golf yang ada di tangan Bu Santi. "Sudah cukup, Ma! Cukup! Papa tak pernah mengijinkan Mama sampai sejauh ini!""Iya! Ini kemauan Mama sendiri. Papa terlalu lemah. P
Semua mata menatap ke arah Papa. Aku dan Zahra saling pandang. Sangat jelas jika Zahra tampak sangat kecewa dengan penolakan Papanya.Aku menepuk pundak sahabat sekaligus adik iparku itu pelan. Lalu memeluknya. Ada isak kecil yang terdengar sumbang."Saya tak bisa kalau saya tak diajak ikut ke dalam kebahagiaan yang anak saya dapatkan." Lanjut Papa lantang.Zahra melepas pagutannya dan langsung membalikkan badan menoleh ke arah Papa. Aku pun sama. Yang kulihat sungguh diluar dugaan. Papa meraih tangan Ustadz Hanif."Bantu saya untuk masuk dan mempelajari Islam."Mas Yazid yang berbeda disana bergegas mendekati Papa. Dan langsung memeluknya. Lelaki itu menangis haru. Bagaimana tidak, cukup berat perjuangannya meyakini papa akan kepercayaan barunya ini. Kalau akhirnya harus meninggalkan kedua orang tuanya. Dan kini tanpa diminta ataupun dipaksa. Papa Edward menyatakan ingin masuk Islam.Hari itu juga Papa mengikrarkan keislamannya dengan membaca dua kalimat syahadat. Suara haru menyelim
"Ma ..." "Saya bukan Mamamu!"sentaknya lalu masuk tanpa kupersilahkan. Bahunya bahkan sampai menyengol lenganku."Ini rupanya rumah yang dibelikan suamiku untukmu?" Mama mengitari ruang tamu dengan mata menatap lukisan lukisan alam yang sengaja dipajang Mas Yazid."Mana foto pernikahan kalian, kalau benar kamu sudah resmi menikah dengan anakku!" Mata itu kini mengarah tajam padaku."Kami memang tidak memajang foto, Ma. Tapi pernikahan kami tercatat resmi dalam catatan sipil.""Halah, kalian bisa saja membayar calo untuk mendapatkan itu.""Astaghfirullah, buat apa, Ma? Pernikahan tanpa ijab qobul, tidak disaksikan oleh para saksi sama saja batal. Apalagi pernikahan palsu. Itu hanya akan menambah dosa, merugikan diri sendiri. Tinggal berdua dengan pasangan yang belum sah menjadi suami, sama saja dengan berzina!" Suaraku sedikit meninggi. "Halah! sok ngomong dosa. Dalam agama kamu, memisahkan seorang anak dengan ibunya apakah tidak berdosa?" Wajah Bu harsanti memerah. Aku menunduk samb
IBUKU BUKAN BABUMU 1 "Bu, itu botol susunya dicuci yang bersih, ya. Jangan sampai ada bekas susu yang tertinggal. Jangan lupa setelah itu masukin ke sterilizer. Pastikan airnya pas. Jangan sampai rusak alatnya. Satu lagi, baju Alesha dan Fikri jangan cuci pake mesin. Pake tangan saja. Nanti, baju anak-anak rusak!" Seru Mbak Ulya sambil merapikan dandanannya yang sebenarnya sudah rapi. Tanpa menoleh pada Ibu.Mas Damar takut takut menatap Ibu. Bapak tertunduk. Hanya aku yang mengangkat kepala menahan kesal. Semenjak Mas Damar di PHK dari perusahaan, wibawanya sebagai seorang suami seakan hilang. Mbak Ulya kini seolah berperan sebagai kepala keluarga. Mengatur dan memerintah semaunya."Mas, nanti kamu ga usah jemput. Dan nanti-nanti kalau jemput jangan pakai jaket ojol. Aku malu!""Iya ..." Cicit Mas Damar dengan wajah masih ditekuk."Ini uang tiga ratus ribu untuk belanja. Sekalian beli susu dan diapers Alesha. Hemat-hemat! Aku ini lelah nyari uang," ujarnya lagi seraya melempar tiga
IBUKU BUKAN BABUMU 2"Oh, sungguh? Kebetulan sekali kalau begitu! Aku memang sudah muak menjadi sapi perah di keluarga ini. Biaya hidup kalian aku yang tanggung. Listrik, beras, uang kuliah bahkan beli sab ...""Stop! Kau tak perlu mengungkit dan melebih-lebihkan, Mbak! kau jangan pura-pura amnesia. Sewaktu, Mas Damar masih bekerja. Dia memenuhi semua kebutuhanmu dan sekarang pun sekuat tenaga dia bekerja agar tidak melulu meminta padamu. Jadi, jangan merasa paling berjasa. Jika tidak mengasuh anak-anakmu, Ibu sama Bapak masih tetap bisa berjualan. Sekarang urusi diri kita masing-masing. Kau pergi dari sini. Bawa anak-anakmu. Kau kira mudah mencari pembantu yang amanah dijaman sekarang!"Dengan bebas bibirku mengeluarkan kata-kata yang selama ini mendesak didalam dada. "Dinara, kamu ini apa-apaan, Nduk. Jangan musuhi Mbak-mu seperti itu. Jika bukan Ibu siapa yang akan merawat Alesha dan Fikri." Suara ibu bergetar menahan tangis. Rasa sayangnya pada cucu membuat Ibu betah didurhakai m
IBUKU BUKAN BABUMU 3"Damar! Kalau kamu apa apakan Dinara! Bapak tak akan mengampunimu!" Teriak Bapak kencang. Tangan Mas Damar yang terangkat kembali dia turunkan. "Hah!" Dia menghembuskan napas kasar.Perlahan aku membuka mata. Mas Damar sudah duduk di sofa dengan bahu turun naik. Kedua tangan saling memilin."Kamu itu! Seharusnya berterima kasih pada adikmu. Dia peduli sama Ibunya. Ga seperti kamu! Ibumu dijadikan babu sama Ulya. Kau diam saja!" Bapak mendekat dengan kaki yang digeret."Seharusnya dia berkata baik-baik, Pak. Sekarang Ulya tak mau lagi mengeluarkan dana untuk kuliah Dinara! Dia malah akan menggugat cerai jika Damar tetap membantu." Suara Mas damar serak. Sungguh ja hat perempuan itu. Tega dia membuat suaminya berada dalam dilema."Tak apa, Mas. Nara akan berhenti sementara kuliah. Selamatkan saja rumah tangga Mas. Tak perlu hiraukan kami," lirihku.Mas Damar menyugar rambutnya dengan kasar lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Laki-laki yang masih mengenakan
IBUKU BUKAN BABUMU (4)"lepaaaas! Lepas!" Mbak Ulya berteriak histeris karena rambutnya kutarik kencang."Dinara! Ya Allah, Nara! Lepaskan Mbak-mu, Nduk." Ibu berusaha menarik tanganku agar terlepas dari rambut Mbak Ulya. Namun, sakit hatiku masih belum lah reda. Sekuat tenaga aku buat perempuan itu kapok. Hingga kepalanya ketarik juga ke bawah."Kau selalu menghinaku, Mbak! Seolah-olah hidupku kau yang menanggung. Padahal, apa yang kau berikan pada kami adalah timbal balik atas apa yang telah kami lakukan untuk kamu dan anakmu!" Nafasku memburu. Seiring tangan yang masih mencengkeram rambut perempuan itu erat."Iya, Ra. Iya! Mbak minta maaf. Tapi, lepaskan dulu, Ra. Lepaskan, mbak sakit, Ra!" Aku tak menggubris."Apa yang Mbak katakan pada Mas Damar? Sehingga dia hampir menamparku!" Gigiku masih gemeretuk menahan emosi."Ga ada, Ra. Mbak ga bilang apa-apa.""Bohong! Tak mungkin Mas Damar sebegitu marahnya jika mbak tidak mengatakan macam-macam." Suaraku makin meninggi."Ampun, Ra. A