"Ibu mau gantiin Retna? tidak! Pokoknya ga boleh. Urusan anaknya biar Mbak Ulya aja yang mikirin. Ibu setelah ini mau bantu bantu Bapak di toko!" Sahutku yang langsung menghampiri mereka.Ibu dan Mbak Ulya menoleh serentak. "Kamu itu terlalu banyak mengatur! Biarin aja ibu melakukan apa yang Ibu mau!" Cetusnya."Ibu bukannya mau, Mbak. Tapi, ibu hanya tak tega melihat anak-anakmu ditelantarkan oleh mamanya.""Siapa yang nelantarin! Aku kerja, Dinara!" Hardiknya."Iya, Mbak kerja. Tapi, Mbak ga ikhlas membayar baby sitter untuk mengasuh anak-anak Mbak. Malah mbak membawa sepupu Mbak itu kesini ngaku ngaku sebagai baby sitter yang diambil dari yayasan. Aku sudah tau semua, Mbak. Mbak ga usah ngeles lagi." Mbak ulya terdiam dengan raut wajah gusar."Sepupu? Jadi Retna itu sepupunya Ulya?" Tanya Ibu menatap Mbak ulya yang terdiam."Iya, Bu. Nara dengar sendiri kok dia bisik bisik di kamar. Dia membawa sepupunya kesini sebagai pembantu agar namanya harum dikampung sebagai pahlawan. Tapi,
Aku hanya tersenyum. Aku juga baru bergabung. Belum tau banyak tentang Perusahaan milik keluarga Cheryl itu."Mbak Ulya terlalu berlebihan. Oh ya, aku minta maaf, ya Mbak. Nanti aku akan mengganti ponsel Mbak yang aku rusakin.""Tak usah, Ra. Nanti Mbak beli yang baru aja." Ucapnya santai. Syukurlah dia tak mempermasalahkan. Walau begitu aku masih bertekad mengganti ponselnya kalau gajian nanti.Satu masalah selesai. Aku berangkat kerja dengan langkah yang ringan. Beribu beban yang terasa menindih seakan lenyap menghilang. Semoga saja Mbak Ulya dan Mas Damar kali ini bersungguh-sungguh menyadari kesalahannya.Tak terasa sudah sebulan berlalu. Ibu dan Bapak mulai menyibukkan diri dengan jualan sarapan lagi kalau pagi. Lalu berangkat ke toko saat siang. Tapi, itu hanya beberapa hari saja. Aku khawatir Bapak kecapekan. Sehingga aku mencari satu karyawan untuk menjaga toko. Seorang gadis muda bernama Aulia. Dia direkomendasikan oleh Cheryl. Katanya anak itu jujur dan tak neko neko. Benar
"Duduk di depan! Kamu kira saya supir!" Sentaknya saat aku mau membuka pintu mobil bagian belakang. Reflek aku terdiam lalu kembali menutup pintu yang sudah kubuka. Duh, nasib. Punya bos ga lak, arog an, sok ngatur, gengsi tinggi. Hatiku terus mengoceh sampai puas. Ga berani juga ngomong langsung bisa bisa langsung dipecatnya aku."Nah gitu! Anda kira anda siapa seenaknya duduk dibelakang. Mau jatuhin wibawa saya." Gumamnya namun masih sangat jelas terdengar. Secara aku sudah duduk disampingnya."Maafkan saya, Pak. Sungguh tak ada niat seperti itu," ucapku bersungguh-sungguh. Walau sebenarnya hatiku kesal juga mendengar ocehannya.Permintaan maafku lewat begitu saja bak angin lalu. Pak Joshua sama sekali tak menanggapi. Matanya lurus ke depan menatap jalanan yang mulai padat merayap. Aku meraih ponsel."Pak, saya ijin menelpon mau mengabari Bapak sama Ibu kalau saya telat pulang." Lama tak ada jawaban."Telepon aja. Kenapa minta ijin saya. Saya kan bukan pacar kamu!"Astaghfirullah, P
"MasyaAllah, Nak Joshua. Iya Nak, Bapak percaya. Kalau Nara nak al tolong omelin aja." Aku merenggut. Emang aku bocah apa!"Tenang, Pak. Dinara kalau sama saya tak bisa pecicilan apalagi nakal. Bapak tak perlu khawatir."Astaghfirullah, ini orang nyebelin nya kok bisa berlapis-lapis gitu kayak wafer.Tak lama obrolan mereka selesai. Pak Joshua menyerahkan ponsel padaku tanpa berkata sepatah kata pun. Masih ada sisa senyum di bibirnya. Kalau dilihat dia manis juga. Bibirnya yang merah tak pernah tersentuh tem bakau. Wajahnya juga putih bersih dengan mata yang menyipit khas orang luar sana. Karena sepertinya Pak Joshua ini masih satu keturunan dengan Cheryl yang merupakan ada darah Tionghoa."Ga usah lihatin saya seperti itu. Nanti sayang!"Astaghfirullah, aku langsung memalingkan wajah. Gi la ternyata tingkat kepedeannya tinggi juga. Dih, amit amit jadi sayang! Untuk dekat dekat dengannya saja aku sudah ngeri.Tak lama kami pun sampai pada sebuah showroom yang cukup luas. Ngapain kesin
Bapak berkaca-kaca melihatku pulang membawa mobil. Berkali-kali beliau mengucapkan terima kasih pada Pak Joshua. Laki-laki itu menyambut hangat, bahkan bos Som bong itu mau duduk di sofa tua ruang tamu rumah kami untuk mengobrol. Meyakinkan pada Bapak jika mobil itu bukan hutangan. Tapi, memang hibah pemberian darinya untukku."Tenang, Pak. Saya tak bermaksud apa-apa. Selain untuk memudahkan Dinara bekerja. Karena kami sering keluar untuk bertemu klien. Jadi, saya belikan mobil. Itu pun atas persetujuan Pak Edward.""MasyaAllah, Nak. Bapak tak tau harus bilang apa lagi. Terima kasih banyak, Nak. Semoga Nak Joshua, istri dan anak-anaknya sehat semua, panjang umur, berkah bahagia." Do'a panjang Bapak. Pak Joshua tersenyum lalu menoleh padaku yang juga tertunduk segan. Pak, istrinya masih diplanet antah berantah, apalagi anak. Aku membuang pandang ke arah mobil mengalihkan pandangan Pak Joshua yang meminta bantuan. Aku yakin Bapak hanya memancing Pak Joshua untuk membuka jati diri."Saya
Astaghfirullah, dadaku terasa panas. Ya Allah, bisa ga ciptaanMu yang satu ini di reset lagi. Biar aku ga jantungan setiap ngobrol sama dia.Sore itu, mbak Ulya datang. Dia mengitari mobilku yang terparkir di halaman."Wah, Dinara hebat kamu! Bisa bisanya Pak Joshua membelikan kamu mobil. Pasti ada sesuatu nih?" selorohnya sambil meraih satu kursi dan duduk di depanku. Bapak masih ditoko. Katanya tadi Aulia meminta beliau datang karena banyak barang yang habis."Sesuatu apa, Mbak? Pak Joshua membelikan murni karena aku karyawannya. Tak ada hal lain!" Tegasku. Perempuan itu menyipitkan mata seolah tak percaya dengan apa yang aku katakan."Tolongin mbak, dong, Ra. Bujuk Pak Joshua untuk menandatangani kontrak kerja sama perusahaan Mbak dengan perusahaan kalian. Itu satu satunya jalan agar mbak dapat promosi jabatan menjadi Manager. Plis, Ra." Mbak ulya memohon. "InsyaAllah ya, Mbak. Nanti aku usahakan," Sahutku malas."Beneran ya, Ra. Kasih sekali lagi pasti semua permintaan kamu dikab
"Dinara! Kamu ini kenapa sih!" Pekik Mbak Ulya sambil meraba pipinya. Pasti sakit sekali, karena tanganku pun terasa panas setelah menam par perempuan itu."Jaga ucapan, Mbak. Jika mbak mengira aku menjual harga diri karena harta, Mbak salah. Aku lebih baik menderita dari pada memberikan apa yang seharusnya aku jaga sampai mati.""Kamu jangan sok suci, Ra. Dimana mana untuk mendapatkan hati atasan pasti harus mengorbankan diri. Toh sama sama enak," ujarnya santai.Aku menatap perempuan itu tajam, tak kusangka dia akan menjawab seperti itu, mura han!"Jangan jangan Mbak, seperti apa itu ya? Memberikan apa yang seharusnya hanya boleh dinikmati suami Mbak pada laki-laki lain agar mendapatkan apa yang mbak inginkan?"Wajahnya pias. Aku menyengir. "Pantas Mbak yang hanya lulusan SMA bisa bekerja sebagai staff keuangan. Berapa kali Mbak melakukan hal itu? Apa setiap hari dan mengaku lembur pada Mas Damar?" tudingku tanpa takut."Diam kau Dinara! Jangan lancang! Itu fitnah namanya. Akan kub
Sepanjang perjalanan Fikri diam. Hingga sampai di warung saat aku menawarkan es krim baru wajah murungnya memudar."Fikri tak boleh jajan sama Papa dan Mama.""Lho kenapa?""Kata Mama, kalau mau jajan suruh Papa nyari uang dulu." Aku menghela napas dalam-dalam."Trus?""Trus Papa marahin Mama deh. Mama dipukul Papa."Aku tertegun. Anak kecil tak mungkin bohong. Setelah Fikri tenang dan mau main di kamar aku pun kembali menemui Mas Damar yang ternyata sedang ngobrol dengan Ibu."Damar capek, Bu. Ulya makin hari makin jadi. Dulu selalu pulang malam. Dan sekarang dia jarang pulang ke rumah. Damar tak begitu bisa menjaga Alesha dan Fikri, apalagi buat ngojek sudah gak bisa sama sekali," lirih Mas Damar dengan suara parau."Sabar, Mar. Mungkin Ulya lagi banyak kerjaan.""Tapi, udah keterlaluan, Bu. Dia kredit barang barang mahal tanpa ijin dari Damar. Walau bukan Damar yang mencari uang, tapi setidaknya dia harus menghargai damar sebagai suami."Aku akhirnya berjalan ke arah mereka dan dud