"Maaf, saya agak lama," ujarku sambil menarik bangku di sebelah Pak Joshua. Orang-orang yang satu meja dengan kami tersenyum sambil menganggukkan kepala."Kamu dari mana? Ke toilet aja lama banget! Nyasar ya!" Bisik Pak Joshua tepat ke telingaku. Jelas tak ada yang curiga jika boss kill er ini sedang mengomeliku karena wajahnya yang masih mengulas senyum.Aku tak menjawab, bergegas makan makanan yang sengaja kusendok sedikit aja. Malu karena semua sudah selesai makan. Usai ngobrol ngobrol sebentar kami pun pamit. Saat sampai di lobby salah satu teman Pak Joshua menyapanya. "Wah, akhirnya bakalan sold out juga nih teman kita," Ledeknya.Aku menunduk segan. "Hanya teman," sahut Pak Joshua melirikku sekilas."Tapi, kalian cocok, Josh. Serius. Om Edi pasti sangat senang lihat anaknya bisa jatuh cinta juga." Mereka pun tertawa. Sedangkan aku tak tau harus berbuat apa. Mataku terus berpendar mengelilingi gedung itu. Tadi, apa yang kulihat sempat kurekam. Itu akan menjadi bukti penting nant
Dia sangat percaya diri jika aku menyukainya."Serius dia bilang gitu, Ra?" Teriak Cheryl di seberang sana. Aku sengaja menelpon Cheryl untuk melegakan hati. Tak mungkin aku menceritakan ini pada Bapak ataupun Ibu sementara aku sendiri masih ragu. Beruntung Cheryl juga sedang begadang mengerjakan tugas akhir."Iya, Cher. Aku pikir dia becanda. Tapi, sepertinya dia serius.""Maksud kamu Kak Joshua mau pindah agama?""Kak Joshua?""Maksudku Pak Joshua." Dia meralat."Ga tau, Cher. Aku pusing."Tak lama telepon pun kututup. Tenang Dinara, anggap aja itu candaan laki-laki yang terdesak hendak menikah karena paksaan orang tua. Masa depanmu masih panjang. Ga perlu mikirin balas budi ataupun masa depan orang. Toh, selama ini setiap gajian hutang selalu di cicil. Tapi, kalau ternyata dia yang jadi masa depanku gimana?Hingga pagi aku tak bisa tertidur. Namun, karena sudah subuh aku terpaksa bangun, mandi dan sholat. Meski ngantuk tapi tetap harus kerja. Selain itu aku juga harus kuliah malamn
Kenyataan yang baru saja terungkap membuat air mata jatuh berderai. Ternyata Ibu bukanlah ibu kandungku. Aku dirawat sejak masih bayi karena Ibu kandungku meninggal sesaat setelah aku lahir."Nduk, walau kamu bukan anak kandung Ibu. Tapi, ibu menyayangi kamu seperti Ibu sayang sama Damar." Ibu memelukku menciumi berkali-kali. Sesak sekali rasanya. Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku sudah terlanjur menyayangi Ibu seperti Ibu kandungku sendiri."Kamu katanya sayang tapi selalu membedakan anakku dengan anakmu, Ruslina. Kau tau, aku sangat sakit melihat perlakuanmu yang tak adil pada Dinara." "Pak, jangan membuat anakku membenciku karena Bapak salah paham ketika melihat keadaan!""Salah paham apa Ruslina? sebelum menikah kita sepakat untuk adil dalam menyayangi anak anak kita. Tapi, nyatanya kamu lebih melindungi Damar dari pada Dinara!""Bukannya Bapak yang selalu memandang Damar sebelah mata! Bapak tak pernah menghargai usahanya! Bahkan, Bapak tak peduli saat dia di pehaka. Aku ta
Menjelang siang, aku, Bapak dan Ibu datang ke rumah sakit dimana Mbak Ulya dirawat. "Gimana Ulya, Mar?" Mas Damar yang duduk di kursi panjang ruang tunggu tampak kacau. Kemudian dia menangis di bahu Ibu. Ternyata Mbak Ulya mendapatkan cidera parah pada area kewanitaannya begitu juga pada bagian tubuh belakang. An*nya robek. Mbak Ulya diduga mendapat kekerasan dari pelaku orientasi s*ks*al menyim pang. Kemungkinan lelaki tua yang kulihat kemarin pelakunya. Kini dia sedang dalam pengejaran polisi. Yang mengenaskan, Mbak Ulya ternyata dalam keadaan hamil. Dia mengalami keguguran dan pendarahan hebat serta luka yang cukup parah. Sehingga rahimnya harus diangkat.Tubuhku merinding sebadan. Membayangkan rasa sakit dan hal mengerikan yang dialami kakak iparku itu. Tak sedikit biaya yang harus dikeluarkan. Sementara Mbak ulya sudah tak punya asuransi kesehatan dari perusahaan. Karena dia dan manager yang menjadi lawan mainnya selama ini sudah dipecat beberapa bulan lalu. Mereka diduga mela
"Ha? Mimpi kowe, Mar! Minta Dinara jual mobilnya. Ga tau malu kamu itu. Ga mikir!" Bentak Bapak. Ibu menahan tangan Bapak yang yang hendak menghampiri Mas Damar."Sudah toh, Pak.""Anak ga tau malu ini kudu dikasih kaca yang besar. Biar tau diri! Kemarin waktu kamu punya mobil pernah ga nawarin Dinara jalan-jalan, atau nganterin dia kuliah?" "Tapi, kan Damar yang membiayai kuliahnya, Pak?" kilah Mas Damar."Oh, berarti kamu minta dikembalikan uangnya?"Mas Damar terdiam. Wajahnya gusar."Pak, sudah. Jangan diomel-omelin terus Damarnya.""Bela terus anakmu itu! Dari dulu ga ada benarnya! Dapat uang pesangon bukannya buat modal usaha, malah untuk manjain istri. Sekarang baru merasakan akibatnya!""Aarrrgh! Bapak bukannya bantu malah bikin sakit hati!" Sentak Mas Damar yang kemudian pergi ke kamar dan membanting pintu dengan kencang.Astaghfirullah ... Lirih kami serentak."Itu lah kalau anak selalu dimanja. Aku bukan ga sayang sama Damar, Ruslina. Tapi, dia itu laki-laki. Kalau sudah b
"Tenang Rik. Masih banyak perempuan cantik yang mengantri untuk kamu jadikan istri." Ujarku."Jadi, benar kamu sudah jadian sama bosmu itu, Ra?" Riko menatapku lekat. Aku membuang napas panjang."Ga lah, ngaco kamu!" Aku menampik.Tak lama Riko pamit terlebih dahulu karena dia harus menjemput Mamanya yang sedang ke salon."Gimana, Ra?" Kini kami tinggal berdua."Aku ga tau, Cher. Rasanya tak mungkin aku menerima Pak Joshua. Ini masalah iman. Tak mungkin salah satu diantara kami berubah keyakinan hanya karena cinta.""Apa kamu mencintai dia, Ra? Kamu serius dengannya?""Aku ga tau, Cher. Aku baru merasakan sebatas debar yang tak biasa." Gumamku."Nah itu yang namanya cinta, Ra! Kamu sama Pak Joshua itu memang cocok.""Kalau kamu saja sama dia gimana?" Mata Cheryl membola meski tetap terlihat sipit."Ih, ngarang kamu! Mana boleh.""Lho kenapa?kalian satu suku, satu keyakinan. Dan Papa kamu sudah kenal Pak Joshua dengan baik pastinya."Cheryl tertawa lirih. Lalu bangkit dan meraih tasnya
Mbak Ulya meraung-raung melihat Mas Damar yang datang bergandengan mesra dengan perempuan yang pernah menjadi baby sitter di rumahnya dulu--Retna."Diam Ulya! Aku sudah ga ada rasa sama kamu. Sekarang pilih, mau menerima Retna sebagai madumu. Atau kau pergi dari hidupku!"Astaghfirullah, Mas Damar. Ada apa dengannya? Apa kesalahan Mbak Ulya menjadi alasan untuknya mendua. Dan yang menyakitkan perempuan itu masih saudara dari Mbak Ulya sendiri.Bik Sumi yang datang sambil menggendong Alesha menatap pasangan itu heran. Aku melambaikan tangan ke arahnya."Bik, bawa Alesha ke kamar aja, ya. Ga usah keluar dulu." "Baik, Mbak.""Fikri mana?""Fikri tadi ikut Nenek dan Kakeknya jalan jalan ke taman depan. Sepertinya sekalian beli sarapan. Karena tadi Ibu berpesan agar saya tak usah masak," jelasnya."Oh, baiklah kalau gitu." Aku kembali menyimak pertengkaran Mas Damar tanpa berniat untuk ikut campur."Mas! Selama ini aku yang menghidupi kamu, Mas! Aku yang bekerja siang malam agar kebutuhan
Tanpa sepatah katapun Mas Damar bangkit. Lalu menarik tangan Retna untuk ikut bersamanya. Kemudian berlalu meninggalkan tatapan penuh kemarahan."Dasar anak ed an!""Pak sudah." Ibu memaksa Bapak untuk duduk. Lalu mengejar Mas Damar."Damar! Kamu mau kemana?"Mas Damar menghentikan langkah. "Damar mau pergi, Bu. Perempuan itu terserah Ibu mau diapakan. Damar sudah jijik melihatnya." Ucapnya dingin."Lalu gimana dengan anak-anakmu, Mar?" Suara ibu bergetar. Tangisnya belumlah reda. Pasti sangat sakit melihat apa yang Mas Damar lakukan."Terserah Ibu! Damar mau mencari kehidupan Damar sendiri!" Mendengar itu darahku naik ke ubun-ubun."Heh! Lelaki tak bermo ral! Lu kira kami ini siapa?lu punya masalah kami yang menanggung, Lu bikin anak, lalu kami yang merawat? Tak punya ot ak lu, Mas!""Diam kau Dinara!" Bentaknya."Kau yang diam, Mas! Seharusnya setua ini kau tak menyusahkan Ibu lagi, Mas! Jika memang kau mau menikah lagi. Tanggung jawab sama anak dan istrimu! Jangan limpahkan pada ka