Share

Chapter 3 Single Rasa Janda

"Untuk apa kamu ke sana lagi?" tegur Novita begitu melihat anak kesayangannya muncul dari balik pintu garasi.

"Ke sana ke mana?" tanya Abraham balik tak acuh, tanpa menghentikan langkah menuju kamarnya.

Setelah bercerai untuk yang kedua kalinya, kedua orang tuanya memang memintanya kembali ke rumah mereka. Mengingat saudara perempuan Abraham sudah menikah semua.

"Berhenti dulu, Bram! Mami sedang bicara." Novita meringsek ke depan menghalau jalan Abraham.

"Besok saja dibahas, Mam. Bram capek seharian meeting."

"Lah itu tahu capek. Kamu ngapain ke rumah Sukoco?"

"Mami tahu dari mana?"

"Tahu lah, mata-mata Mami banyak."

Abraham tidak akan meragukan hal itu sedikit pun. Uang bisa melakukan segalanya, nyatanya kedua mantan istrinya menghilang setelah ia ceraikan. Contohnya Intan, walau awalnya ia menceraikan karena alasan keturunan pada akhirnya Abraham menerima kenyataan jika Intan juga telah berkhianat darinya.

"Keturunan Sukoco itu nggak ada yang beres, satunya mandul dan yang satunya lagi murahan. Lebih bego lagi anakku, sudah tahu begitu masih mau sama anak dari Prama," ujar Yakub Shelter.

"Papi dulu yang jodohkan kami."

"Iya, tapi kamu seharusnya cukup pintar untuk menolak. Tidak harus kalian bersama, Prama dan Papi juga punya beberapa kandidat lain. Tapi kamu saat melihat Intan pertama kali seperti kucing kelaparan melihat ikan segar di atas meja."

"Dan hari ini dia pulang malam karena habis singgah ke sana setelah ada info jika Intan terlihat di sana."

"Ngapain kamu masih cari dia? Bukti pengkhianatan dan dia yang mandul belum cukup?"

"Bukan begitu, Pi."

"Papi nggak mau tahu kamu nggak boleh lagi menemui keluarga mereka."

Abraham tidak lagi menyahuti ucapan kedua orang tuanya. Namun langkahnya terhenti saat ada sosok Dharma, sepupunya di sana.

"Kamu kapan datang?" tanya Abraham.

"Belum lama."

"Kamu habis minum?"

"Sedikit. Kamu tahu aku tidak bisa kembali ke apartemen karena Mami bisa jatuh sakit lagi."

Kedua orang tua itu tak lagi merecoki Abraham karena sudah tahu dari kediaman Sukoco sudah pasti anaknya akan singgah di klub yang mereka kelola.

"Kamu ngapain ke rumah Sukoco?" tanya Dharma begitu mereka berdua berada di dalam kamar Abraham.

Abraham sambil membuka pakaian atasnya dan berkata, "Jangan mulai deh."

"Aku hanya bertanya saja. Tujuanku dan kedua orang tuamu berbeda. Aku tidak akan melarang dengan siapa kamu berhubungan. Tetapi jangan lagi dekati Intan. Aku tahu kamu penasaran dengannya. Seolah menghilang begitu saja."

"Ya. Aku ingin membalas dendam. Aku tidak menduga dia tak sepolos yang aku tahu. Semua yang ada padanya menipu. Berbeda dengan Melia."

"Tentu saja mereka berbeda," gumam Dharma lirih.

Abraham yang hendak meraih handuk baru lalu berbalik menghadap sepupunya tersebut.

"Apa kamu bilang?"

"Tidak ada," ujar Dharma seraya menggeleng.

"Sepertinya aku mendengar sesuatu dari mulutmu?" tanya Abraham lagi tak mau kalah ia sangat yakin.

"Tidak ada hanya pikiranmu saja mungkin."

"Masa? Jika kamu tahu sesuatu tentang Intan beritahu aku."

"Bagaimana aku bisa memberitahumu? Aku saja tidak pernah berbicara dengannya selam kalian menikah, kamu posesif sekali."

"Aku yang protektif bukan posesif. Aku masih membebaskan dia tapi dia yang nggak mau. Lebih suka di rumah seperti babu."

"Kalau dia seperti itu, lalu bagaimana bisa dia selingkuh?"

Abraham berkacak pinggang dan tersenyum masam. "Orang kalau niat selingkuh ya selingkuh aja. Bisa dengan siapa pun."

"Kamu nggak curiga dengan siapa itu orang yang disebut sebagai selingkuhannya."

"Si Aris."

"Iya dia."

"Aku dulu sering meminta dia untuk mengambilkan dokumen di rumah. Menyesal aku memakainya sebagai asisten. Makanya aku ganti asistenku menjadi perempuan sekarang."

Dharma yang melihat wajah Abraham semakin kesal memilih untuk undur diri.

"Kamu sampai kapan menginap di sini?"

"Hanya malam ini. Besok aku harus kembali. Ada pameran furniture antik."

"Kamu bilang akan bekerjasama dengan temanmu yang memiliki galery? Siapa tahu furniture mereka bagus dan bisa dipakai untuk hotelku yang baru nanti."

"Bisa diatur itu. Saat ini dia sedang mencari gudang dan workshop."

"Kalau begitu bisa kamu kirimkan katalog?"

"Aku usahakan. Nanti ya nggak janji bisa cepat karena dia baru selesai masa pemulihan."

"Apa yang terjadi?"

"Kecelakaan mobil dua tahun yang lalu. Untung saja dia bisa bangkit walau sudah tersakiti sedemikian rupa.

"Temanmu pasti orang yang sangat kuat dan tegar."

"Ya dan dia seorang wanita."

"Wow … kamu pasti sangat tertarik padanya?" goda Abraham yang mulai terlihat membaik suasana hatinya.

"Jika dia mau membuka hatinya mungkin saja. Dia janda."

"Jangan deh. Lebih baik kamu cari yang masih single."

"Single rasa janda juga sudah banyak sekarang ini. Aku rasa menikahi janda lebih baik."

Abraham melemparkan handuknya ke arah Dharma dan di tangkap pria bertinggi 180cm dengan berperawakan sedang dengan rambut lurus sebahu dan di kuncir kuda.

"Itu cuma maumu saja. Uwa bisa terkejut jika kamu menikahi janda."

"Kalau janda yang ini berbeda dan aku yakin Ayah akan setuju. Kamu tahu, dia kembang desa sedari dulu."

"Jadi dia berasal dari desa yang sama atau hanya satu kelurahan?"

"Rahasia."

Sepeninggal Dharma, kembali Abraham merasa kesepian. Melirik pada botol Vodka yang tersisa setelah botol ia mengurungkan niatnya. Ia kembali mengingat saat tadi memindai isi rumah Sukoco. Tak sekalipun ia melihat foto Intan tergantung di sana dan selama ini ia baru menyadari hal itu. Saat semua hilang, baru terasa.

Hanya saja semua terasa salah, kenapa ia meratapi wanita yang dulu juga mengkhianatinya. Jika Aris tidak mengaku Abraham tidak akan kehilangan kepercayaan pada Intan. Rasanya masih tidak rela, entah apa yang mengganjal. Apakah karena wajah pucat Intan saat keputusan hakim dijatuhkan atau karena sebab lain.

Menurut informasi yang ia dapat, surat cerai juga belum diambil oleh Intan. Bukankah itu juga yang ia inginkan, terbebas darinya dan juga keluarga Sukoco. Aris bangkrut juga sebab Intan. Begitu informasi yang ia dapat.

Abraham melirik ponsel di atas nakas yang berkedip dan segera ia raih. Ternyata pesan dari Amanda. Abraham menggeleng pelan tak habis pikir. Nomor Melia sudah tidak aktif setelah perceraian mereka. Nomor Intan masih aktif tetapi tidak ada satupun panggilannya yang diterima apalagi pesannya tak ada satupun yang dibaca mantan istrinya itu. Namun mantan adik iparnya ini malah gigih memberikan perhatian kepadanya.

Abraham seperti apa yang dikatakan ayahnya tadi, akan membalas dendam bukan untuk meraih hati Amanda. Sudah cukup, ia hanya ingin menemukan Intan dan membuat wanita itu mengakui semua perbuatannya sebelum ia melaporkan kepada polisi. Ia sangat ingin melihat wajah sombong Prama semakin malu akan ulah anak-anaknya yang jago akting dan manja itu.

tbc

Keep healthy everyone

Jangan lupa tinggalkan jejak dan share link cerita ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status