Mulut mereka menganga tak percaya. Kejadian ini tak pernah ada di desa ini. Lalu, sebenarnya apa yang tengah terjadi?
Wisaka berdiri mematung, sementara semua kejadian berputar terus di otaknya seperti sebuah film. Wisaka masih berharap, hari kemarin bukanlah kali terakhir perjumpaannya dengan sahabatnya.
Terkenang kembali saat delman yang dia tumpangi bergerak di jalan berbatu. Kala seekor kuda jantan coklat dengan gagahnya berlari menembus kabut pagi. Wisaka pemuda berperawakan tinggi dengan rambut gondrong, badannya ikut terguncang - guncang di dalamnya.
Desa Keris nampak tenang dan damai. Kabut pagi menyelimuti kampung tersebut, meninggalkan hawa yang sangat dingin. Desa yang nyaman karena tergolong aman dari para perampok yang masih suka mengganggu di daerah lain.
Rumah-rumah panggung beratap daun rumbia berjauhan satu dengan yang lainnya, terhalang oleh kebun ataupun sawah. Satu dua orang penduduk nampak berjalan melintasi pematang sawah menuju jalan utama, memikul hasil kebun untuk dibawa ke pasar.
Bau mistik dan klenik masih suka menguar di malam-malam tertentu, dari pembakaran hio dan kemenyan. Penduduk percaya itu bisa mengusir siluman yang menyamar dan mengganggu mereka.
Kemenyan menjadi begitu penting dalam kehidupan sehari-hari. Benda itu masih digunakan untuk media pengobatan tradisional juga untuk ritual- ritual sebelum menanam dan memanen.
"Mang, Firman menikah dengan siapa?" tanya Wisaka kepada Mang Arman, kusir delman. Sambil matanya tak berpaling dari pemandangan sekitarnya.
Mang Arman menoleh sejenak ke arah Wisaka.
"Dengan Sulastri, Den, masih tetangga kan? Temen masa kecil kalian juga," jawab Mang Arman.
"Oh iya, Mang, aku ingat, yang badannya bongsor itu ya?"
"Iya, bener yang badannya semok itu," jawab Mang Arman sambil tertawa kecil.
Wisaka tersenyum. Pemuda itu teringat kenangan masa kecilnya bersama Firman, Umar, Dayat, Sulastri, Ningrum, Enok serta yang lainnya.
Masih jelas di benaknya, saat dulu mereka mencari ikan di sungai sambil telanjang.
"Lempar ke sini tombaknya, Firman" seru Wisaka.
Firman melempar tombak bambu runcingnya. Wisaka menyambutnya, kemudian menancapkannya saat ikan lewat di sela-sela batu.
"Horeeee, dapat ... dapat," Wisaka berjingkrak-jingkrak. Begitupun Firman berjoget-joget kegirangan.
"Pendekar mabuk menangkap ikan!" seru Wisaka lagi, sambil berjalan sempoyongan.
"Ahaha ... hahaha." Firman tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk Wisaka yang bertingkah konyol.
"Wisaka jadi pendekar, hidup ... hidup!" seru Umar sambil meninju udara ke atas.
"Pendekar mabuk cinta, haha ...." Wisaka tergelak.
'Ahh, indahnya,' batin Wisaka. Senang dan sedih sekaligus di waktu bersamaan, membuat Wisaka tersenyum getir.
Senang kala dia dapat bertemu kawan lama dan berencana mengantarkannya ke kursi kebahagiaan. Namun, sedih kala momen bahagia itu berbingkai duka. Kini Wisaka harus mengantar Firman ke pembaringannya yang abadi.
Berputar lagi episode terakhir di benaknya, saat baru tiba di desa. Secepatnya dia menemui Firman, tidak memperdulikan ibunya yang berteriak-teriak karena masih kangen. Bertemu dengan Firman adalah prioritasnya saat itu.
"Wisaka, apa kabar?!" Firman berteriak begitu melihat kemunculan Wisaka.
Saat itu dia tersenyum lebar seraya merentangkan kedua tangannya.
"Baik ... baik, apa kabar juga nih calon pengantin?" tanya Wisaka sambil memeluk Firman dengan erat.
"Baik ... hahaha." Firman tergelak digoda Wisaka.
Wisaka menghela napas panjang. Seharusnya masih banyak cerita yang ingin didengar dari Firman. Seharusnya besok dia melihat kawan karibnya itu bersanding di pelaminan.
Begitu banyak kata 'seharusnya' yang lain kalau maut ini tidak begitu kejam memisahkan mereka. Badan Wisaka luruh ke tanah melihat pemandangan di depan matanya. Dia menggeleng kuat-kuat.
Wisaka memandang hampa mayat sahabatnya itu. Shock luar biasa dengan kejadian tersebut. Kematian yang tidak pernah terduga. Pemuda itu mengerti kalau semua mahluk akan mati, tetapi dengan cara seperti ini, hati siapa pun tidak akan bisa terima.
Semalam Firman masih tertawa bersama saat warga menggoda, sekarang sudah terbujur kaku menjadi mayat. Gosong menghitam dan kering tanpa tersisa darah dalam tubuhnya.
Wisaka bergidik ngeri membayangkan mahluk yang menyedot darah Firman. Kalau manusia tentu mempunyai taring yang begitu tajam. Seandainya binatang, mengapa harus menelanjanginya? Banyak pertanyaan muncul di benak Wisaka.
"Ayo ... ayo, kita bawa ke rumah jasad ini, kita jangan terbengong di sini!" seru Kang Saep, membuyarkan lamunan Wisaka.
"Ayo, siapa tahu mahluk jahanamnya masih di sini dan bisa menyerang kita juga," kata yang lain menimpali.
"Wisaka, jangan bengong aja, ayo!" ajak Kang Saep.
"Iy -- iyy-- iya, Kang," kata Wisaka gugup. Tersadar dari lamunannya tentang almarhum Firman.
Sebagian warga menebang pohon bambu untuk menggotong jasad Firman. Sarung salah satu penduduk direlakan untuk itu. Mereka memasukkan mayat ke dalamnya, kemudian menggotongnya menuju kampung.
Teriakan histeris menggema saat mayat dibaringkan di ruangan. Ibunya Firman memeluk anaknya yang terbujur kaku dengan badan mengkerut hitam.
"Anakku ... Gusti ... ada apa ini?" tanyanya kepada orang-orang yang mengantarkan mayat anaknya.
"Seseorang telah menyerangnya di hutan, Ceu," jawab Kang Saep.
"Terus pernikahannya bagaimana ini?!" Ibunya Firman menangis sesenggukan, diguncang-guncangnya tubuh anaknya.
"Sudah, Ceu, kasihan almarhum," cegah Kang Saep.
"Bagaimana dengan Sulastri? Pasti sedih dengan kejadian ini," imbuh wanita setengah baya itu.
Semua terdiam. Membayangkan keluarga Sulastri yang pastinya akan histeris pula begitu mendengar berita ini. Namun, lebih cepat memberi kabar akan lebih baik. Kejadian ini harus secepatnya sampai ke telinga calon besan.
Akhirnya diputuskan seseorang harus pergi ke rumah Sulastri. Kang Saep ditemani Wisaka, walau bingung cara menyampaikannya, Kang Saep tak urung sampai juga. Hari sudah dini hari kala itu.
"Ceu ... Ceu, buka pintunya," kata Kang Saep sambil mengetuk pintu.
Lama tak ada jawaban, maklum orang-orang baru saja terlelap. Kang Saep mengetuk lagi pintu, kali ini cukup keras.
Seseorang membuka pintu, merasa heran, ada apa, saudaranya Firman datang dini hari?
"Ada apa, Kang."
"Sulastri mana?"
"Ada di kamarnya, ada apa sih? Bikin kaget aja, sebentar aku panggil."
Kang Saep menunggu dengan gelisah, masih bingung harus bagaimana menyampaikan kabar duka ini kepada Sulastri. Sulastri pasti kaget dan tidak menerima kenyataan, kalau calon suaminya sudah menjadi mayat.
Salah satu keluarga Sulastri yang penasaran mendekati Wisaka. Ia bertanya ada apa sesungguhnya? Wisaka bingung harus menjawab bagaimana. Dia tidak menemukan kata yang tepat di pikirannya.
"Anu ... an--"
"Anu apa?" Keluarga Sulastri memotong jawaban Wisaka.
"Emmh ...." Wisaka masih mencari istilah yang tepat untuk menyampaikan kabar duka ini. Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar jeritan. Sontak semua berlari ke dalam rumah.
"Ada apa ini, ada apa ini?"
Anggini tidak menyangka Eyang Gayatri sampai turun untuk membasmi para iblis ini. "Anggini, lama tidak berjumpa." Eyang Gayatri mengusap rambut gadis itu. Dia sudah menganggapnya sebagai cucu. Setelah Cempaka --muridnya menikah dengan Wisaka. Makanya Eyang Gayatri menganjurkan Cempaka untuk mengajari jurus Bunga Persik. Sementara itu, Iblis Tengkorak tengah berjuang mengenyahkan suara dari telinganya. Darah kental semakin banyak mengucur dari telinganya. Jurus Kijang Mengorek Telinga ini memang begitu dahsyat. Apalagi yang melemparkan jurus Eyang Astamaya. Iblis Tengkorak tidak bisa berkutik. Benang ajaib yang membelitnya semakin membuatnya tidak berdaya. Sejurus kemudian Eyang Gayatri menunduk malu. Sebelumnya kedua orang tua itu saling bertatapan mata. Eyang Astamaya tersenyum kepada Gayatri. Eyang Gayatri tersenyum juga dari balik cadarnya. Eyang Gayatri memberikan kantung hitam kepada Eyang Astamaya. Tempat arwah iblis yang menyamar menjadi Sumina
Jaka dan Anggara tengah terpesona, mereka melihat kehebatan makhluk yang bernama Suminar. Namun Jaka sudah mendapat peringatan dari bapaknya, itu hanyalah tipuan."Anggara, usap matamu … usap matamu!" Jaka berteriak."Baiklah, Jaka!"Mereka berkali-kali mengusap mata masing-masing, kemudian mundur karena kaget. Perempuan itu tampak sangat menyeramkan kini. Kedua matanya pecah, meleleh darah kental di mukanya."Wow!" Jaka berteriak.Anehnya, Suminar masih bisa tahu posisi Anggara dan Jaka. Dia mempersiapkan sebuah serangan."Kang, hati-hati!" Anggara berteriak memperingatkan Jaka."Siap!" Jaka mempersiapkan sebuah pukulan jarak jauh.Setelah yakin dengan perkiraannya, Suminar mendorong sebuah kekuatan dahsyat ke arah mereka berdua. Tentu saja Anggara dan Jaka secepat kilat berganti posisi. Angin yang dihasilkan dari serangan Suminar melabrak sebuah pohon.Draaak … bruuuk.Pohon bes
Suminar bergerak diam-diam. Dia mulai menjamah Anggara. Lidahnya perlahan-lahan menjulur-julur keluar masuk dengan cepat. Kepalanya berubah menjadi kecil dan gepeng. Ia menampakkan wujud aslinya, seekor ular siluman.Suminar yang masih bertubuh manusia, menyentuh tubuh lelaki itu. Anggara belum menyadari apa yang terjadi. Dia masih tertidur pulas. Suminar mendesis, air liurnya menetes dari sela-sela taringnya yang tajam."Mengapa tubuhnya berbau amis?" Hati Suminar bertanya-tanya. Dia merasa terganggu dengan bau badan Anggara. Lelaki itu tetap terlelap.Suminar mengabaikan bau badan Anggara. Dia meneruskan aksinya. Malam ini Anggara harus menjadi pengantinnya. Ritual ini harus segera dilakukan. Tidak boleh gagal lagi."Beruntung sekali, aku menemukan pemuda ini … ssst … ssst, dia cari mati dengan mengantarkan nyawanya ke sini." Wanita siluman itu sangat senang. Dia tidak berpayah-payah mencari tumbal untuk malam purnama ini. Dia mendes
Semua kaget dengan pernyataan Wisaka. Besok malam gadis itu harus menjadi umpan Sepasang Iblis dari Timur. Sebenarnya Wisaka mempunyai rencana yang begitu hebat. Wisaka sudah paham kebiasaan sepasang iblis itu."Besok malam adalah malam purnama. Kalau sepasang iblis itu benar adanya Iprit, mereka pasti akan mencari tumbal. Seorang gadis untuk ritual pengantin." kata Wisaka menjelaskan."Tidakkah itu berbahaya, wahai Wisaka?" tanya Anjani."Tentu saja kita akan mengawalnya, mengawasi diam-diam." Wisaka mengatur siasat untuk besok malam. Mereka mendengarkan baik-baik.Jaka memegang tangan Dialin yang terasa dingin, mencoba menyalurkan kehangatan. Dialin memandang Jaka, kemudian menunduk. Hatinya merasa bahagia bertemu dengan Jaka. Pengganti kekasihnya yang tewas di tangan sepasang iblis. Dialin seperti mendapatkan kembali roh jiwanya. Sejak kematian kekasihnya, jiwanya juga terasa ikut mati.Dialin seperti mendapat kekuatan kembali. Dendam mengalir d
Jaka bangkit dari tidurnya, duduk di dahan sambil memperhatikan jalan. Bayangan hitam itu begitu cepat melesat. Jaka tidak sempat melihatnya.Tidak lama kemudian datang dua orang yang sama berpakaian hitam juga. Rupanya mereka mengejar bayangan tadi. Jaka beranjak mengikuti keduanya."Sialan!" umpat si pengejar."Ke mana dia perginya?" tanya yang satu lagi."Entahlah, ayo cepat kita susul!"Jaka yang bersembunyi di rimbunan pepohonan melihat mereka pergi. Pemuda itu menggeliatkan badan."Ssst …."Satu desisan terdengar dari samping pemuda itu. Jaka cepat menoleh, terlihat olehnya seorang gadis tengah menempelkan telunjuknya di bibirnya."Dialin!" seru Jaka tertahan. Senang sekali Jaka bisa bertemu dengan gadis tersebut.Dialin memberi isyarat supaya Jaka diam. Matanya masih memperhatikan ke arah jalan tadi. Takut pengejarnya datang lagi."Mereka sudah pergi," bisik Jaka.Dialin me
Jaka menghadik Aliya yang sudah kurang ajar kepadanya. Dia belum tahu dengan siapa berhadapan. Jaka menuntun Anggini mengajaknya pergi."Tunggu!" seru Aliya.Jaka, Anggara dan Anggini mengurungkan niatnya pergi dari tempat itu. Memandang heran kepada Aliya."Seenaknya saja kau bawa dia!" sergah Aliya sambil menunjuk Anggini."Mau kau apakan adikku?" tanya Jaka.Aliya terdiam saat Jaka menyebutkan Anggini sebagai adiknya. Lama dia memperhatikan wajah lelaki di depannya itu. Ketampanan Jaka sudah membuatnya terpesona."Dia adikmu?" tanya Aliya kepada Jaka."Kau pikir aku siapanya?" dengkus Anggini kesal. "Ayo! gak usah ladeni dia, Perempuan Gila!"Aliya sangat marah saat dikatakan perempuan gila oleh Anggini. Aliya meradang, menyerang Anggini dengan beringas. Sudah dari tadi dia ingin sekali menyakiti Anggini. Gadis yang dicintai oleh Anggara."Berani sekali kau mengatai diriku gila, Perempuan Sundal,"