Share

BAB 6. MONA

"Udah-udah, biarin aja dia pergi ngerusak moments saja. Lebih baik sekarang kita makan diluar," ajak Alkana, Mona hanya menganggukan kepala sambil tersenyum dengan tangannya bergelayut manja dilengan Alka.

"Ayo kita berangkat sekarang,"

"Mau kemana kalian?" Tanya Oma yang baru saja keluar dari kamar bersama Arum.

Mona berdecih kesal mendengar pertanyaan Oma.

"Mau pergi keluar sebentar Oma" jawab Alkana sambil tersenyum ramah.

"Semenjak kamu kenal sama wanita ini, waktumu habis hanya untuk mengurusi dia." Sindir Oma pada cucu semata wayangnya.

"Apa maksud Oma?" Tanya Mona dengan suara memelas, Arum yang melihatnya menaikan bahu tak suka.

"Oma, Alkana cinta sama Mona," Alkana berusaha membela diri.

"Kamu memang cinta sama dia, tapi wanita itu cuma cinta sama hartamu!" Sentak Oma.

Arum hanya terdiam mendengar perselisihan yang terjadi di antara mereka.

"Oma!" Sentak Alkana. Oma hanya memalingkan wajahnya.

"Ayo Arum, antar aku ke dapur," pinta Oma. Arum hanya mampu menurutinya.

*

Lampu rumah sudah mulai samar, semua pelayan nampak sedang beristirahat. Arum dapat melihat hanya ada dua orang pelayan yang menginap dirumah ini. Hanya dirinya dan satu asisten pribadi nyonya Lidia yang selalu mengikuti kemanapun nyonya Lidia pergi.

Dan ada lima satpam yang berjaga diluar, maklum saja rumah ini besar dan pasti akan menjadi sasaran empuk para penjahat diluaran sana.

Kamera pengawas juga ada disetiap sudut rumah ini, untung saja kamar Arum bebas dari kamera pengawas itu.

"Kamu pergilah istirahat, sudah malam." Ucap Oma.

"Baik Oma, selamat malam." Pamit Arum, Oma hanya menganggukan kepala.

Arum mendudukan badanya diatas ranjang miliknya, ternyata tidak terlalu lelah menjaga Oma. Hanya menemaninya berjalan-jalan, menonton tv, dan membantu Oma mengerjakan hal yang lain.

"Sepi sekali, biasanya kalau dirumah jam segini masih ngobrol sama bapak dan ibu," Arum menatap langit-langit kamarnya, air matanya menetes dia merasakan rindu didalam hatinya. Ingin sekali menelfon kedua orang tuanya, tapi hari sudah larut. Rasanya akan tidak pantas, apalagi mengingat kedua orang tuanya tidak mempunyai ponsel dan harus pinjam ke tetangga.

Arum menarik nafas panjang, lalu mengeluarkannya pelan.

Dia mencoba untuk menutup matanya, walau rasa mengantuk belum bersarang penuh pada dirinya.

"Buka pintunya!"

Arum tersentak mendengar suara Alkana yang berteriak keras, Arum berusaha untuk tidak peduli dan menutupi telinganya dengan bantal.

"Buka! Apa kalian tidak punya telinga!" Alkana kembali berteriak, bahkan kali ini sambil menggedor pintu rumah.

Kamar Arum memang jaraknya tidak terlalu jauh dari pintu utama. Kamarnya terletak dilantai bawah, karena kamar Oma juga ada dilantai bawah. Sengaja mungkin agar memudahkan Oma beraktivitas setiap harinya.

"Brisik banget sih tu cowo!" Gerutu Arum, dia kembali menutup matanya.

"Bukaaa!" Teriak Alkana.

Arum mulai risih dan beranjak duduk dengan paksa.

"Lagian kemana sih para satpam? Pelayan yang lain juga pada kemana sih!" Geram Arum.

"Aduh lupa! Disini kan cuma ada aku sama asisten nyonya Lidia. Dia pasti ga denger karena tidur dilantai dua." Gumam Arum.

Dengan paksa dia harus membuka pintu untuk Alkana.

"Gak punya telinga yah kamu!" Sentak Alkana saat melihat Arum membuka pintu rumah.

Arum mendengus kesal, "Masih mending dibukain!" Ketus Arum.

"Minggir!" Alkana mendorong Arum, tapi baru saja masuk kedalam rumah tubuh pria itu limbung. Arum dengan sigap langsung membantunya berdiri.

Keadaan ini membuat wajah Arum dan Alkana saling berdekatan.

"Ganteng," gumam Arum lirih, tapi Alkana dapat mendengarnya.

Alkana langsung menoyor kepala Arum ke belakang, Arum menyesali ucapanya barusan.

"Ngapain Lo pegang-pengang!" Sentak Alkana, Arum menatap nyalang pria didepannya itu.

"Kalo ada orang lain disini, ga bakalan Sudi aku nolong kamu!" Ucap Arum kasar.

"Brisik Lo!" Alkana kembali berteriak, Arum langsung menutup hidungnya. Dia dapat merasakan aroma minuman keras dari Alkana.

"Kamu mabuk yah?" Tanya Arum menelisik. Ada perasaan lega saat tau Alkana mabuk, karna mungkin dia tidak akan menganggap serius pujian Arum tadi tentang dirinya.

"Bukan urusan Lo!" Sentak Alkana.

"Apa-apaan kalian!" Teriak nyonya Lidia sambil menuruni tangga, mungkin wanita ini mendengar suara gaduh dilantai bawah.

Arum yang terkejut langsung melepaskan tubuh Alkana, membuat pria itu terjatuh lumayan keras ke lantai.

"Aduhh, gila kamu yah!" Sentak Alkana.

"Arum! Cepat bantu Alka!" Perintah Lidia, Arum hanya menurutinya dan membantu Alkana berdiri.

"Kamu mabuk lagi, ha?" Tanya Lidia.

"Bukan urusan mamih," jawab Alkana lirih sambil tersenyum sinis.

"Ini semua karena didikan ayahmu yang kurang ajar itu!" Teriak Lidia.

Alkana hanya tersenyum sinis.

"Arum, bawa Alkana ke lantai atas. Bawa dia ke kamarnya, dan ingat! Jangan sampai Oma tau hal ini," ucap Nyonya Lidia penuh penekanan.

Arum menganggukan kepalanya, Lidia jalan didepan Arum. Arum mengikuti dibelakangnya sambil mamapah tubuh Alkana yang lebih besar dari dirinya.

"Berat banget," keluh Arum lirih, dia terus memapah Alkana sambil menaiki tangga.

Arum sesekali melihat ke atas, menghitung berapa anak tangga lagi yang harus dia pijak.

"Tidurkan dia disana," perintah Lidia.

Setelah menidurkan Alkana, Arum pamit kepada Lidia.

"Keluarga ini benar-benar aneh!" Kesal Arum, dia sesekali memijat tangannya yang mulai terasa sakit karna membantu Alkana tadi.

"Arum kangen banget sama Bapak sama ibu," gumam Arum sambil memejamkan matanya saat sampai didalam kamar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status