"Kamu kenapa gak jadi ke Bali?" tanya Kara setelah pulih dari keterkejutannya. Bagas tak menjawab, ia menarik tangan Kara dan mengajak Kara pergi tanpa kata-kata. Kara menahan Bagas sekuat tenaga. Bagas menatap Kara tak mengerti, "Kenapa? Kamu masih betah berduaan sama Gavin?!" bentak Bagas dingin. Kara melotot, "Bukan begitu! Tapi tas dan laptop saya masih di dalam sana!" sahut Kara seraya menunjuk ke arah Coffee Shop. "Ini Kar," tiba-tiba saja Gavin sudah muncul dengan tas tangan dan tas laptop Kara. Bagas langsung merebutnya dengan kasar. "Gak usah sok akrab! Gak cukup nyokap lo ngerebut bokap gue? Sekarang lo mau ngerebut bini gue juga?" sentak Bagas dengan nada dingin. Kara mendelik, ia tahu keributan akan segera terjadi. Dengan gerakan cepat ia menarik tangan Bagas dan mengajak Bagas menjauh dari Gavin yang menatap dengan rahang mengeras. "Lepasin tangan saya!" sentak Bagas seraya melepaskan tangannya dari Kara. Kara yang terkejut langsung diam. "Ini terakhir kali ya saya li
Kara membuka matanya di pagi hari dengan perasaan menyesal. Betapa konyolnya apa yang ia lakukan kemarin. Untuk apa ia bermain jawab cepat dan menyuruh Bagas memilih antara dirinya dan Thalita, sungguh konyol! Dengan gusar Kara memukul kepalanya sendiri, merasa sangat bodoh. Ia rasanya enggan bangkit dari tidur dan tak berniat melangkah keluar kamar, ia tak ingin bertemu Bagas. Ditambah sekarang adalah hari Sabtu, yang artinya Bagas libur dan mungkin akan berada di Penthouse seharian. Kara sudah mandi dan berganti pakaian, tapi ia belum berani beranjak keluar kamar sama sekali. Ia bisa saja bertahan di dalam selama-lamanya, tapi perutnya terasa lapar sekali. Akhirnya pada pukul dua siang Kara menyerah. Dengan sangat perlahan Kara membuka pintu kamarnya, ia mengintip, melihat ke kanan dan ke kiri, tak ada siapapun. Kara melangkah berjinjit menuju dapur, membuka kulkas dengan perlahan, rencananya ia akan mengambil beberapa makanan dari lemari dan kulkas lalu kembali menuju kamar. Na
Kara dan Bagas berjalan dengan tergesa menyusuri lorong rumah sakit yang tampak agak lengang. Sesekali Kara melirik wajah Bagas yang terlihat sangat khawatir. "Ma! Papa Gimana?!" tanya Bagas begitu bertemu dengan Mama nya. Kara berdiri di sebelah Bagas, menunggu jawaban Mama mertuanya. Mama Bagas yang terlihat seperti baru saja menangis, menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan nya perlahan. "Papa ada di ruang ICU, sekarang kondisinya masih belum stabil," jawab Mama berusaha terdengar tabah. Setelah mengetahui suaminya pernah berselingkuh hingga memiliki seorang anak seumuran Bagas, yaitu Gavin, membuat Mama Bagas agak menjaga jarak dengan suaminya. Rasanya sulit untuk berpura-pura tidak terjadi apa-apa walaupun perselingkuhan tersebut terjadi berpuluh tahun yang lalu. Fakta yang lebih membuat Mama Bagas merasa sakit hati adalah fakta bahwa suaminya masih berhubungan dengan sangat baik dengan Ibu Gavin. "Kalian tolong jaga disini dulu ya, Mama mau pulang dulu," tukas Mama sam
Kara kembali ke depan ruang ICU dan tak mendapati Bagas, ia mencari-cari Bagas dimana-mana namun masih tak menemukannya. Dengan rasa penasaran Kara mengambil ponselnya dari dalam tas dan mencoba menghubungi Bagas, tak diangkat. Kemana Bagas? Jangan-jangan Bagas melihat Kara waktu Kara sedang mengobrol dengan Gavin di Coffee Shop? Jangan-jangan Bagas marah dengan Kara? Segala pikiran buruk melintas di kepala Kara. Entah mengapa ia merasa sangat takut jika Bagas marah dengannya. Saat ia sedang merasa cemas, Bagas muncul dari kejauhan, membuat Kara langsung berlari menghampirinya. "Kamu dari mana? Kamu gak marah kan?!" tanya Kara dengan agak terengah karena habis berlari. Bagas mengernyitkan dahi, "Marah kenapa? Saya dari toilet," jawab Bagas bingung karena wajah Kara terlihat panik. Kara menarik nafas lega, sepertinya Bagas tidak melihatnya mengobrol dengan Gavin. "Oh iya Itu kopi kamu disitu," tukas Kara sambil menunjuk ke arah kursi ruang tunggu yang berada di jarak beberapa mete
"Ya udah lo mau nginep di rumah gue dulu? Mumpung suami gue lagi dinas luar kota," usul Nadine saat Kara datang kepadanya setelah segala drama yang terjadi di rumah sakit. Kara mengaduk minumannya, berpikir. "Jangan deh Nyuk, gak wise aja gitu kayaknya kalo gue pergi ninggalin rumah waktu berantem gini, ya walaupun nikah-nikahan tapi tetep aja, kayaknya gak etis aja," tukas Kara sambil masih terus mengaduk Lychee Ice Tea yang es batunya mulai mencair. Nadine bertepuk tangan sambil tertawa, "Gilaaaaa lo udah berubah seratus persen deh Nyuk! Waaahh kalah sih gue sama lo!" ujar Nadine yang terkejut mendengar jawaban Kara yang bijak dan dewasa, seperti bukan Kara. Kara tertawa sambil melempar Nadine dengan tissue, "Sialan lo!" seru Kara malu. "Aneh banget sih Nyuk, bokapnya Bagas kok kayak gitu ya? Maksud gue, kan kasian Bagas, walaupun misalnya dia ngerasa bersalah sama Gavin, tapi kan harusnya gak ngorbanin perasaan Bagas," tukas Kara dengan tatapan menerawang. "Gak ngerti juga sih
Kara gelisah di atas tempat tidurnya, ia bolak-balik berganti posisi dari tidur menjadi duduk, ia menyesal kenapa tadi ia menjawab pertanyaan Bagas dengan begitu cepat tanpa berpikir, pasti sekarang Bagas sudah bisa membaca jika Kara mulai menyukainya! Kara merutuki kebodohannya. Kara berharap semoga Bagas tidak salah paham, entah kenapa Kara tidak mau jika Bagas mengiranya mengharapkan pernikahan ini akan berlanjut seperti pernikahan normal pada umumnya. Ia tidak mau terlihat seperti orang yang terlalu mengharapkan cinta Bagas, duh harga diri Kara mau di taruh dimana? Apalagi harus terang-terangan bersaing dengan Thalita, membayangkannya saja Kara tak mau. Karena tak bisa tidur, Kara mulai melakukan push up dan sit up agar tubuhnya segera merasa lelah dan mengantuk. Setelah perutnya keram akibat sit up sampai tiga ratus kali, Kara merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur sampai secara tak sadar ia sudah hanyut dalam mimpi panjang yang indah. *****Satu hari lagi resepsi pernikahan
Kara sedang duduk di ruang TV saat Bagas masuk ke dalam Penthouse dengan wajah muram, Bagas melirik Kara sekejap lalu melanjutkan langkahnya menuju ke dalam, sebelum Bagas sempat masuk ke dalam kamar, Kara berjalan cepat mengejarnya. "Tadi saya sama mama ketemu Thalita di salon!" seru Kara sambil memblokir langkah Bagas. Bagas terlihat terkejut, namun ia berusaha menyembunyikannya, "Terus kenapa?" sahut Bagas datar. "Terus kenapa? Thalita ngomong sesuatu seolah-olah dia mau ngebocorin rahasia kita! Ya saya sih gak rugi ya kalau sampe ini bocor, toh utang Papa saya udah kamu bayar, tapi kamu? Posisi CEO kamu? Ya good luck deh with that!" seru Kara kesal. Bagas bergeming, wajahnya tampak kaku. Sebelum masuk ke dalam kamar, Kara berbalik badan lagi, "Oh ya, kamu tadi di sana juga kan? We saw your car," tukas Kara lalu masuk ke dalam kamar dan menutup pintu rapat-rapat, entah mengapa ia merasa sangat amat kesal dengan Bagas. Bagas masih terdiam di tempatnya berdiri, ia tak menyangka b
Dua minggu sudah berlalu sejak resepsi pernikahan Kara dan Bagas digelar. Semenjak itu mereka tidak saling berbicara mengenai segala kejadian yang terjadi selama acara tersebut. Baik kejadian saat Thalita mengancam Bagas maupun kejadian saat Kara memutuskan untuk mencium bibir Bagas di depan seluruh tamu undangan. Segalanya berjalan seperti biasa, hanya saja Kara merasa Bagas mulai sangat menjaga jarak dengannya. Bagas lebih sering menghabiskan waktunya di kantor atau di kamar dan jarang duduk bersama dengan Kara. Kara mulai berasumsi jika sikap Bagas terjadi karena Thalita mengancamnya. Karena Kara dapat mendengar dengan jelas ancaman Thalita waktu itu. Atau bisa jadi Bagas menjauh karena Bagas merasa tidak nyaman dengan sikap Kara yang mulai terasa berbeda, maksudnya mungkin Bagas tidak suka jika Kara mulai jatuh hati padanya. Kara menanggapi semuanya dengan acuh ia berusaha memfokuskan diri dengan bisnis fashionnya yang akan segera ia mulai. Segala urusan legalisasi perijinan u