Jam sudah menunjukkan pukul 21.30 saat Kara dan Bagas sampai di penginapan yang sudah Kara sewa sejak jauh-jauh hari. Penginapan tersebut merupakan rekomendasi dari sahabat Kara yang bernama Nadine.
Bangunan penginapannya terlihat agak kuno, namun masih kokoh. Dindingnya terlihat seperti baru saja di cat ulang, Kara dapat menebak dari aroma khas cat dinding yang memenuhi rongga hidungnya. Di belakangnya Bagas berdiri dengan wajah yang sama sekali tidak menyenangkan.
Kara menekan bel yang terpasang di dinding sebelah pintu satu kali, lalu mundur satu langkah menunggu pintu dibuka. Beberapa saat kemudian seorang wanita tua dengan rambut yang agak kelabu muncul, ia merapatkan kardigan wol cokelat tuanya saat pintu penginapan dibuka lebar.
"Sudah ada reservasi?" tanyanya langsung saja tanpa basa-basi karena malas berlama-lama berada di udara terbuka.
Kara menunjukkan bukti pemesanan yang tersimpan di email yang ada di ponselnya, Wanita itu mengangguk sambil tersenyum.
"Ahhh Indonesia! Silahkan masuk," tukasnya seraya membuka pintu lebar-lebar.Dengan cepat Kara masuk sambil menarik koper hitamnya, tak menghiraukan Bagas yang ada di belakangnya.
Ruang utama penginapan tersebut sangat kuno dan sederhana, hanya terdapat dua sofa dengan penutup kain warna-warni di atasnya dan perapian kuno yang kelihatannya masih berfungsi dengan baik.
"Mari, saya antar ke atas," tukas si wanita tua seraya menunjuk tangga yang cukup tinggi di depan mereka. Kara yang juga terkejut, pura-pura tidak melihat Bagas yang melayangkan tatapan protes padanya.
Setelah melalui perjuangan panjang mengangkat koper yang cukup berat, akhirnya mereka sampai di lantai tiga.
Wanita tua tersebut membuka sebuah pintu berwarna cokelat dan mendorongnya kuat-kuat. Pintu berderit pelan saat terbuka, menandakan engselnya sudah usang.Kara nyaris berencana untuk memaki Nadine habis-habisan karena merekomendasikan penginapan ini, namun saat pintu kamar terbuka sepenuhnya, Kara ternganga.
Kamar tersebut cukup luas, dengan satu buah tempat tidur untuk dua orang, sebuah lemari ukuran sedang, sepasang kursi dengan bantalan empuk yang menghadap jendela dan sebuah lukisan kuno yang menggambarkan kota Amsterdam di tahun 1800-an, sangat indah. Catnya di dominasi oleh warna krem dan putih tulang. Satu buah vas bunga dengan bunga mawar merah segar tampak di letakkan di atas meja yang kursinya menghadap ke jendela. "Nah, kamar mandi ada di sebelah sana. Sudah saya pastikan kebersihannya. Jika membutuhkan, dapur ada di lantai satu. Kalian bisa mengambil air minum dan roti gratis di sana," ujar wanita tersebut dengan logat belanda yang sangat kental, yang untungnya dapat dimengerti dengan baik oleh Kara yang memang menguasai beberapa bahasa termasuk Dutch, sementara Bagas hanya terdiam meraba-raba maksud si wanita tua. "Kalau begitu saya akan kembali turun, oh ya saya dengan Elise. Kalian bisa menghubungi saya kapan saja jika membutuhkan bantuan, nomor telepon saya ada di kartu sebelah vas bunga."Setelah Kara mengucapkan terimakasih, Elise keluar dan menutup pintu di belakangnya, meninggalkan dua orang asing yang tidak saling kenal berada dalam satu ruangan dengan kecanggungan yang tak dapat dibayangkan.
Kara mendorong kopernya ke depan lemari, dan mulai menata sedikit barang-barang yang mungkin akan dipakai esok di dalamnya.
"Kamu bisa pakai lemari yang ini," tukas Kara sambil menunjuk pintu lemari di sebelahnya.Tanpa menjawab Bagas meletakkan kopernya begitu saja sembarangan, lalu dengan satu gerakan cepat ia merebahkan tubuh di atas tempat tidur yang dilapisi sprei linen berwarna putih.
Kara melotot, "siapa bilang kamu boleh tidur disitu?!" pekiknya kesal.Bagas memiringkan badannya menghadap Kara, "Saya udah bayar 50 kali lipat dan gak dapet tempat tidur? Yang bener aja! Kalau kamu mau, kamu bisa tidur di sebelah saya, kalau gak mau ya silahkan tidur di kursi atau di lantai, suka-suka kamulah!" Skak mat! Kara mati gaya. Dengan wajah sebal Kara menyampirkan handuk di lehernya, mengambil baju ganti lalu masuk ke kamar mandi dan membanting keras pintu di belakangnya, membuat Bagas yang sudah hampir terpejam langsung sepenuhnya terjaga. Kara mengisi bathtub dengan air hangat dan memasukan bathbomb aroma lavender di dalamnya. Sambil menunggu air penuh Kara membuka ponselnya, mengabarkan pada Nadine sahabatnya bahwa ia sudah sampai dengan selamat. Ia sempat terpikir untuk mengabari Papanya juga, tapi urung. Kara masih kesal.Setengah jam kemudian Kara keluar kamar mandi dan mendapati Bagas sedang berbicara di ponselnya sambil berdiri menghadap ke jendela, membelakangi Kara.
"Mama urus lah, aku gak tau lagi deh! Siapa? Gavin? Yang benar aja! Ya udah aku pastikan aku dapet calon istri segera setelah aku balik dari Eropa!"Kara yang tidak bermaksud menguping tetap dapat mendengar pembicaraan Bagas dengan baik karena kamar yang tidak begitu luas dan suara Bagas yang cukup keras.
Ia pura-pura sedang sibuk merapihkan kopernya saat Bagas berbalik badan dan menatapnya.
"Nguping ya kamu?" tuduhnya dengan tatapan tajam.Kara Memonyongkan bibirnya,
"Nuduh gak berdasar! Gak jelas!" sahutnya, lalu berdiri sambil menenteng satu buah mie cup yang dibawanya dari Indonesia. Tanpa niat menawarkan mie cup pada Bagas, Kara turun ke dapur dengan handuk masih di kepalanya.Dapur di lantai satu tampak kuno namun bersih. Terdapat kitchen set berwarna cokelat tua, dua buah kompor, satu buah microwave, satu buah meja makan, dan satu buah kulkas ukuran sedang.
Kara memasukan mie cupnya ke dalam microwave, lalu menunggunya matang sambil membuka-buka ponselnya. Tak lama kemudian mie cup rasa ayam bawangnya matang, aromanya memenuhi seluruh area dapur yang sedang sepi saat itu.
Saat Kara sedang asik menyantap mie cup ayam bawangnya, tiba-tiba Bagas muncul. Ia mengusap-usap perutnya yang kelaparan. Gengsi meminta mie cup pada Kara, Bagas mencari-cari roti di lemari.
Setelah membuka tutup beberapa pintu lemari, akhirnya Bagas menemukan sebuah lemari dengan tumpukan roti di dalamnya. Ia memanaskan roti ke dalam microwave lalu mengolesinya dengan butter yang tersedia di sana.
Kara yang fokus pada mie cup ayam bawangnya, pura-pura tidak menyadari keberadaan Bagas yang jelas jelas lalu lalang di depannya sejak tadi. Saat itu Kara sedang duduk di atas kursi tinggi di depan meja marmer besar yang ada di dapur.
"Besok kalau kita keluar, kunci kamarnya gimana?" tiba-tiba Bagas memecah kesunyian panjang yang terbangun di antara mereka.
Kara terdiam, menghentikan aktivitas makannya, membuat garpu mie nya melayang di udara.
"Kuncinya saya yang bawa!" sahut Kara lugas. Bagas menghampiri Kara, "Gak bisa! Nanti kalau saya pulang duluan mau masuk susah! Elise gak punya duplikatnya?" tanya Bagas sambil memasukan suapan roti terakhir ke dalam mulutnya.Kara hanya menyahut dengan mengangkat bahu. "Jadi kamu lagi cari calon istri?"
pancing Kara sambil melirik Bagas sedikit.Mata Bagas langsung memicing tajam, "Dasar tukang nguping!" ujar Bagas.
Kara menggebrak meja pelan,
"Enak aja! Saya bukan nguping! Orang kedengeran kok!" kelit Kara seraya bangkit dari duduknya lalu membuang cup yang kosong dan berjalan ke atas sambil menenggak air putih dari botol yang sudah di isinya tadi. Sebelum Bagas sampai ke kamar, Kara sudah membatasi tempat tidur mereka dengan guling dan bantal bantal kecil dari kursi dekat jendela. Ia juga meletakan semprotan merica di bawah bantalnya untuk jaga-jaga jika Bagas mulai kurang ajar. Tidur dengan orang asing yang benar-benar baru kenal beberapa jam kedengarannya seperti hal yang sangat konyol, tapi itu benar-benar terjadi pada Kara. Demi uang jajan tambahan selama solo travelingnya. Kara pura-pura memejamkan mata saat pintu kamar terdengar dibuka dari luar. Tak lama kemudian terdengar langkah kaki masuk ke dalam dan mendekat ke tempat tidur. Tak lama kemudian Bagas merebah di samping garis batas yang sudah dibuat Kara, membuatnya tersenyum tenang. Kara sedang bermimpi menaiki perahu di venice dengan seorang pria tampan ketika tiba-tiba sebuah tangan menyentuhnya. Dengan kecepatan super kilat Kara mengambil semprotan merica di bawah bantalnya dan menyemprotkan isinya ke seseorang yang berdiri di samping tempat tidurnya. "Aaaaaaaaaaaaaaaaaaak!" Sebuah teriakan kesakitan terdengar keras, membuat burung-burung yang sempat hinggap di jendela terbang tinggi berpindah tempat.Kara langsung terduduk tegak dan benar-benar terkejut saat mendapati Bagas sedang meraung kesakitan karena semprotan merica yang Kara semprotkan padanya secara reflek.
"Ma Ma Maaf, saya reflek!" cicit Kara takut-takut.
Bagas masih menutupi wajahnya dengan kedua tangannya saat berteriak,
"PEREMPUAN GILAAAAA!!!!"Seolah semuanya sudah diatur, Papa berpulang tepat ketika Kara berkunjung ke Indonesia. Serangan jantung karena komplikasi katanya, persis seperti penyakit Papa mertuanya. Papa Kara yang tidak pernah keluar masuk rumah sakit sama sekali, justru berpulang lebih dulu. Tak ada pesan terakhir yang terucap, namun Kara tahu, Papa hanya ingin Kara pulang, untuk menemani Papa di hari akhirnya. Semuanya terasa seperti mimpi, Kara merasa seperti melayang. Namun keberadaan Bagas dan Brie selalu bisa membuat Kara sadar bahwa hidup harus terus berlanjut. Orang yang paling terlihat terpukul adalah tante Nia, baru tiga tahun pernikahan, ia sudah harus kembali menjanda. Walau hanya tiga tahun, tapi ikatan cinta mereka seolah mengalahkan hubungan suami istri yang sudah terjalin bertahun-tahun lamanya. Tante Nia seperti kehilangan cahaya di wajahnya, ia berduka lebih dari Kara. Empat hari sudah berlalu sejak meninggalnya Papa dan ditengah rasa dukanya Kara harus hadir di pernikahan Gavin. Kara bisa
Satu Tahun Kemudian, "Itu Juan!" teriak Kara seraya menunjuk Juan yang mengangguk ke arahnya. "Apa kabar Ju?" sapa Bagas lalu menjabat tangan Juan dengan ramah. "Baik Pak, mari Pak mobilnya di sebelah sini," tukas Juan mengarahkan Bagas, Kara dan Brianna menuju mobil yang akan membawa mereka ke rumah orang tua Bagas. "Wah, tiga tahun gak pulang, ternyata cukup banyak yang berubah yaaa..." cetus Kara takjub melihat perubahan kota Jakarta. Bagas mengangguk, "Iya, kangen juga sama Jakarta! Brie ini hometown kamu nihh, Jakarta!" seru Bagas sambil mengamit tangan Brie. Brie yang sedang asik dengan mainannya tak begitu peduli. Hari ini Bagas dan Kara membawa Brie kembali ke Jakarta untuk mengunjungi keluarga mereka, sekaligus untuk menghadiri resepsi pernikahan Gavin dengan gadis pilihannya yang belum pernah dikenalkan kepada Kara ataupun Bagas. Mobil berhenti tepat di depan rumah orang tua Bagas. Papa dan Mama Bagas tampak menyambut di teras dengan wajah tak sabar. Mereka bukannya tak
Dua tahun kemudian, "Gimana menurut kamu jadinya?" tanya Bagas sambil melipat kedua tangan di depan dadanya. Kara tampak berpikir sejenak, "Yah susah juga sih Gas, dia kan ngelakuin hal kayak gitu karena tamunya kurang ajar, Kita gak bisa pecat orang hanya karena dia mempertahankan harga dirinya," tukas Kara tegas. Bagas menghela nafas panjang, "Ya saya setuju sih sama kamu, tapi kita harus siap kehilangan pelanggan dari Froil, which is mereka adalah salah satu company yang rutin kerjasama dengan restoran kita..." ujar Bagas dengan berat hati. Kara mendekat pada Bagas, memegang kedua tangan Bagas. "Whenever you stuck with this kind of situation just remember apa tujuan awal kita ngejalanin bisnis, it's never about money Gas, kita ngejalanin bisnis ini karena kita suka dan kita mau terus sama-sama, iya kan?" tukas Kara lembut. "Yeah, you're right... Ini nih kenapa kamu mesti sesekali kunjungan ke kantor, untuk ngingetin saya mana yang baik dan mana yang buruk!" seru Bagas lalu mena
"Gas! Brie kok kayak kuning gitu sih?" seru Kara saat ia sedang berjemur bersama Brie di halaman rumah. Bagas yang sedang memeriksa tanaman terkejut lalu menghampiri Kara. "Masa sih?!" tukas Bagas tak percaya, ia mengamati wajah Brie dengan seksama, "Iya sih Kar, waduh kenapa yah?" tanya Bagas dengan khawatir. "Kayaknya gara-gara bilirubin-nya tinggi deh, kita bawa ke dokter aja deh Gas!" tukas Kara merasa takut. Sebagai ibu baru, Kara masih meraba-raba bagaimana caranya menjadi ibu yang baik bagi Brianna, sehingga segala hal kecil tidak akan luput dari perhatiannya. Pagi itu setelah mandi dan sarapan, Bagas dan Kara bergegas menuju St. Pauls dan langsung mendaftar di poli anak. "Brianna Rose Mahendra!" panggil seorang perawat. Bagas dan Kara segera bangkit dan masuk ke dalam ruang periksa. Dokter mengatakan jika Brie mengalami breastfeeding jaundice yang membuatnya menjadi kuning. Dokter menyarankan Kara untuk lebih sering menyusui Brie dan makan makanan yang bergizi serta menghin
Dunia seakan runtuh bagi Bagas saat ia melihat Kara terkulai lemas. Dokter mengatakan Kara mengalami perdarahan hebat sehingga dokter perlu memberikan Kara alat bantu nafas dan transfusi darah karena HB kara yang anjlok ke angka 7.Bagas diminta untuk menunggu di luar agar ia tidak panik, sementara bayi perempuan mereka sudah di urus oleh perawat dan di masukan ke dalam inkubator karena kondisinya yang prematur. Di sela doa dan tangisnya Bagas teringat Mamanya, ia menghubungi Mamanya dan menceritakan apa yang terjadi, Mama sangat terkejut dan memberi wejangan untuk membesarkan hati Bagas. "Ma makasih ya udah lahirin aku ke dunia, selama ini aku gak tau kalau perjuangan Mama dulu mungkin juga seberat ini. Aku minta maaf kalau selama ini selalu bikin Mama kecewa, sekarang aku minta tolong sama Mama buat do'ain Kara supaya dia bisa lalui semua dengan baik..." ujar Bagas sambil sesekali menyeka air matanya. "Aku gak akan bisa hidup bahagia kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama K
Dengan panik Bagas menggendong Kara ke dalam mobil. Kara merasakan sedikit mulas pada perutnya, "Okee Kara relaks atur nafas... atur nafas... everything will be alright..." Kara mencoba menenangkan diri sementara Bagas sedang sibuk mencari rumah sakit terdekat di mesin pencarian google. "Oke Kar, let's do this! Hang in there baby!" seru Bagas lalu menginjak pedal gas dan melaju menuju St. Pauls Hospitals. Baik Kara maupun Bagas sama sekali tidak mengira bahwa Kara akan mengalami pecah ketuban di usia kandungan yang baru menginjak 33 minggu. Keringat dingin mulai membasahi kening dan leher Kara, Bagas merasa sangat gugup dan panik karena ia tidak menyangka hal ini akan terjadi lebih awal. Ia hanya terus menerus mengatakan pada Kara bahwa semua akan baik-baik saja. Sampai di rumah sakit, Bagas segera menghentikan mobil di depan IGD dan meminta bantuan staf medis untuk membawa Kara ke dalam. Kara terlihat sudah sangat pasrah sambil terus menerus mencoba mengatur nafasnya. Seorang per
Bukan hal mudah untuk berbicara pada Mama dan Papa Bagas perkara keinginan Bagas dan Kara untuk pindah ke negara lain. Tapi setelah mereka mengatakan ini semua demi keselamatan dan kenyamanan hidup cucu mereka, akhirnya Papa dan Mama Bagas setuju, bahkan Papa Bagas berjanji akan membantu untuk memblokir akses Visa Thalita ke negara tersebut. "Konyol ya Gas kita..." gumam Kara seraya memandang ke sekeliling penthouse. Bagas menoleh, menatap Kara dengan tatapan penuh tanda tanya. "Selama dua tahun pernikahan, kita udah berapa kali pindah rumah, ini penthouse baru di renov terus mau kita tinggalin lagi," tukas Kara setengah tertawa. Bagas ikut mendengus tertawa, "Gak pa pa lah, ikutin insting aja, yang penting happy!" seru Bagas yang sudah merasa sangat yakin dengan keputusannya. Kara mengangguk, "Semoga di tempat yang baru kita bisa lebih bahagia ya Gas..." ucap Kara seraya merangkul leher Bagas dengan kedua tangannya. "Semoga..." sahut Bagas lalu mengecup bibir Kara lembut. *****Sa
"Gas, kamu yakin mau melanjutkan perkara ini?" tanya Kara pelan. Saat itu ia dan Bagas sedang duduk berdua di kitchen bar. Bagas melamun, menatap piring di depannya dengan tatapan kosong. "Saya takut Kar, saya takut dia akan bertindak lebih jauh..." tukas Bagas tanpa menatap Kara. "Kemaren Theo bilang Thalita bisa aja dijerat hukuman sampai lima belas tahun penjara, kamu yakin kamu gak akan merasa bersalah sama dia seumur hidup kamu?" tanya Kara dengan perasaan yang campur aduk. Bagas mendongak, "Memangnya kamu bisa memaafkan?" Bagas balik bertanya, matanya menatap Kara dalam. "Saya lebih baik memaafkan Thalita dari pada harus ngeliat kamu berkubang dalam rasa bersalah seumur hidup kamu," tukas Kara, tak ada keraguan di matanya. "Kamu yakin Kar? Dia gila Kar, dia bisa bertindak nekat!" seru Bagas, bayangan Thalita yang histeris kemarin melintas di benaknya. "Saya justru mau tanya sama kamu, kamu yakin setelah menjebloskan Thalita ke penjara lagi untuk waktu yang lama kamu bisa hi
"Nemuin Thalita?!" tanya Kara dengan wajah terkejut. Bagas mengangguk pelan. Saat itu mereka sudah berada di Penthouse yang interiornya sudah selesai dirubah menjadi lebih ramah anak. "Emang gak bahaya?" tukas Kara dengan wajah gamang. Bagas menghela nafas panjang, "Kar, dia jadi kayak gitu karena saya..." gumam Bagas sambil menunduk. Dua tahun yang lalu di positano, Bagas berjanji akan kembali ke Thalita setelah kontrak pernikahannya dengan Kara selesai. Thalita dengan segala kehidupan bebasnya mempercayakan hatinya kepada Bagas, satu-satunya pria di dunia yang pernah dicintainya, tapi Bagas mengecewakannya. Seumur hidup Thalita ia tidak pernah dicampakkan. Puluhan kali berpacaran dengan banyak pria, Thalita adalah pihak yang selalu mencampakkan. Namun Bagas merubah semuanya. Bagas menyakitinya dan meninggalkannya tepat di saat ia memilih untuk mempercayakan hidupnya pada Bagas. Tak ada lagi yang tersisa bagi Thalita, bagi Thalita hidupnya berakhir tepat saat Bagas memilih untuk