Bagas menutup wajahnya yang sangat kesakitan, ia berlari ke kamar mandi dan membasuh wajahnya dengan air yang mengalir.
Kara yang bingung mulai mencari cara menangani orang yang terkena semprotan merica di mesin pencarian g****e.
Ya ampun!
Efek peradangan menyebabkan mata tertutup, menghilangkan penglihatan untuk sementara, perasaan terbakar di paru-paru dan sesak nafas. Pertolongan pertama : Basuh dengan air, air garam atau kompres dengan susu.Kara bergegas berlari mengambil tiga kotak susu uht di kopernya, lalu menuangkannya pada sebuah wadah yang ada di kamar mandi. Saat itu Bagas sedang meringis kesakitan tanpa bisa membuka mata.
"Sini biar saya kompres pake susu. Kata g****e bisa bantu ngurangin efek peradangan," tukas Kara panik.
Bagas yang ingin marah-marah memilih untuk menyimpan amarahnya untuk nanti saja. Dan membiarkan Kara mengompres wajah dan lehernya dengan handuk yang sudah di rendam susu uht.
"Maaf ya, saya benar-benar lupa kalau ada kamu di kamar ini. Jadi saya reflek nyemprotin pepper spray waktu kamu bangunin saya," Kara kali ini benar-benar merasa bersalah melihat Bagas kesakitan seperti itu.
Setelah selesai di kompres susu, Bagas masih belum bisa membuka matanya.
"Kamu tiduran di tempat tidur aja! Eh tunggu tunggu tapi baju kamu basah!" ujar Kara seraya menatap kaus Bagas yang basah kuyup karena tadi ia buru-buru membasuh wajahnya.
Dengan kesal dan tak peduli Bagas membuka kaus nya yang basah dan melemparkannya begitu saja ke lantai kamar mandi. Lalu ia berjalan meraba-raba dinding menuju ke tempat tidur.
Kara malu sendiri melihat Bagas telanjang dada, tapi melihat Bagas kesulitan berjalan mau tak mau ia berjalan cepat menyusul Bagas dan membimbingnya naik ke atas tempat tidur.
"Kamu tanggung jawab, kipasin muka saya!" tukas Bagas sambil mengipasi wajahnya dengan tangan.
Kara memanyunkan bibirnya, namun tetap saja ia menyeret kakinya turun mengambil kipas portabel di kopernya lalu duduk di sebelah Bagas.
Sambil menodongkan kipas portabel ke wajah Bagas, Kara mengamati tubuh bagian atas Bagas yang terlihat seperti tubuh model-model majalah fashion pria. Perutnya six pack dengan dada yang bidang, membuat Kara menjadi berpikir yang tidak-tidak.
Ia langsung berdeham keras untuk mengalihkan pikirannya,
"Ummmm sebagai tanda permintaan maaf saya, saya buatin sarapan ya!" tukas Kara dengan nada ceria.Bagas tidak menjawab, hanya diam saja menikmati sensasi terbakar di kedua matanya. Karena tidak dijawab, Kara menganggap diam berarti setuju. Ia meletakkan kipas portabel dan baru akan beranjak turun saat Bagas menarik tangannya.
Jantung Kara sempat dag dig dug, karena sudah lama rasanya sejak terakhir kali ia di sentuh oleh pria.
"Mau kemana? Enak aja! Muka saya masih perih!" omel Bagas tanpa membuka mata, karena matanya memang belum bisa terbuka.
Kara memegangi kipas di wajah Bagas sampai hampir 40 menit lamanya, "Bagas, tangan saya pegel banget nih!" keluh Kara sambil meregangkan kedua tangannya ke atas.
Namun Bagas tak menyahut,
"Bagas! Bagas!" Kara sempat khawatir takut jika Bagas terkena efek semprotan merica yang lebih berat dan menjadi tak sadarkan diri. Namun suara dengkuran halus dari bibir Bagas membuat Kara menghembuskan nafas lega.
Kara membuka ponselnya dan mendapati hari sudah hampir siang. Harusnya hari ini ia jalan-jalan mengunjungi Damrak Amsterdam Centraale, De Wallen dan Rijksmuseum. Tapi karena insiden 'semprotan merica' ia harus menunda agendanya.
Ia turun ke dapur masih dengan baju yang ia kenakan untuk tidur tadi malam. Lalu memasak nasi di rice cooker mini yang ia bawa dari Indonesia. Setelah itu ia menghangatkan rendang kering dan membuat omelette dari bahan yang ada di kulkas. Semoga Elise tidak keberatan. Jika keberatan paling-paling ia kena denda.
Setelah nasi matang, Kara makan dengan lahapnya, ia rasanya akan mati jika selama beberapa hari tidak makan nasi!
Kara menyusun nasi, rendang dan omelette di atas piring lebar yang ia temukan di dapur. Lalu membawanya ke atas. Brunch untuk Bagas, pasiennya hari ini.
'Hari yang sial!' maki Kara dalam hati.Saat Kara masuk ke dalam kamar, mata Bagas masih terpejam. Kara meletakkan piring makan di meja dekat jendela. Lalu ia mengambil handuk dan baju ganti, bersiap untuk mandi.
15 menit Kara berada di kamar mandi, saat ia keluar dari kamar mandi piring makan yang tadi dibawanya sudah bersih tak bersisa. Di kursi dekat jendela Bagas terlihat sedang duduk sambil merokok dengan jendela yang dibuka lebar.
Kara mendekat takut-takut pada Bagas, ia masih mengenakan handuk di atas kepalanya.
"Gimana matanya?" tanya Kara pelan sambil berdiri tidak jauh dari Bagas yang sedang melihat ke jendela.
Bagas menoleh, lalu menatap Kara dengan kedua matanya yang sembab dengan bola mata yang berwarna kemerahan. Kara menggigit bibirnya, merasa bersalah. Bagas melengos lagi ke arah jendela, tidak menghiraukan Kara.
Dengan perlahan Kara berjalan dan duduk di kursi sebelah Bagas. Ia memainkan sisir yang sedang ia pegang sambil curi curi pandang ke arah Bagas yang terlihat masih kesal.
"Bagas, saya beneran minta maaf nih. Saya gak pernah punya niat nyelakain orang seumur hidup saya. Saya jadi ngerasa bersalah banget liat mata kamu jadi kayak gitu. Maaf banget ya," tukas Kara sungguh-sungguh.
Awalnya Kara pikir Bagas tidak akan merespon, tapi Bagas mengalihkan pandangannya ke arah Kara dan berkata,
"Permintaan maaf diterima tapi dengan satu syarat!"Kara langsung menegakkan tubuhnya, dalam hati ia merutuki kesialannya. Kenapa juga ia mesti sharing kamar dengan orang arogan ini!
Bagas menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu berpaling menatap Kara yang menunggunya menyelesaikan kalimat. "Kamu harus cariin saya perempuan untuk saya nikahi."
What?! Mata Kara membelalak saking terkejutnya, ia nyaris tertawa dan menganggap Bagas sedang bercanda, tapi lalu ia teringat percakapan Bagas dengan Mama nya via telpon kemarin malam. Astaga!
"Nikah? Bener-bener nikah?!" tanya Kara masih tak mengerti. Apa pria ini seputus asa itu? Sampai calon istri saja minta dicarikan, oleh orang asing pula!
Bagas menatap Kara dengan tatapan datar, "Iya nikah secara resmi, tapi dengan perjanjian pranikah."
Kara mengangguk-anggukkan kepalanya, "Okeee, contoh isi perjanjiannya apa?" tanya Kara penasaran.
"Yang penting kamu cariin dulu calonnya! Kok jadi kamu yang tanya-tanya!" tukas Bagas ketus, membuat Kara mencibir kesal.
"Ya gimana caranya saya promosiin kamu ke orang? Kan saya mesti paham maksud kamu cari istri buat apa! Huh!" gerutu Kara sambil bangkit dari kursi yang didudukinya.
"Gak perlu usaha lah buat promosiin saya. Kamu ngerti kan maksud saya?" tukas Bagas percaya diri membuat Kara mencibir dan menunjukkan ekspresi ingin muntah. Walaupun apa yang dikatakan Bagas ada benarnya.
Kara mematut diri di cermin bulat dengan bingkai matahari yang terpasang di dinding. Ia sudah mengganti baju kamarnya dengan celana kulot berwarna biru muda dan crop top berwarna putih.
"Karena kamu udah baik-baik saja, jadi saya bisa pergi!" tukas Kara pada Bagas yang baru saja selesai mandi.
Bagas melirik Kara, menilai perempuan yang sekamar dengannya dari atas sampai bawah. Rambut cokelat brunette, mata cokelat, hidung mancung, bibir sensual, gigi putih rapi, tinggi 168cm, berat badan kira-kira 49 atau 50 kg, kulit putih. Boleh juga. Pikirnya.
"Kamu mau nikah sama saya?" tanya Bagas tiba-tiba membuat Kara nyaris memulaskan lip cream ke sebagian wajahnya. Ia mengumpat sedikit lalu menghapus pipi kanannya yang tercoret lip cream, sambil menghapus ia menoleh menatap Bagas dengan dahi mengernyit.
"Kamu sakit jiwa ya?" ujar Kara setengah ngeri. Bagas diam saja, ia malah sibuk mengambil baju ganti di lemari, seenaknya mengganti baju di depan Kara yang sengaja fokus menatap cermin.
"Orang jaman sekarang pada kenapa sih ya Tuhan! Kamu tuh sama aja deh sama Papa saya, nyuruh saya kawin sama bapak tua bangka! Mana kutilnya banyak! Gila kali demi utang seratus miliar saya mesti nikah sama orang kayak gitu! Terus sekarang kamu, nyari istri udah kayak nyari baju di Mall, seenak udel aja! Yang namanya cinta emang udah musnah apa gimana sih!" omel Kara entah pada siapa, ia sibuk menata rambutnya sambil terus mengegerutu.
Hal yang tidak Kara sadari adalah, sedari tadi Bagas menyimak serius semua omelannya. Ia berdiri menatap Kara dengan bibir sedikit membentuk senyuman. Satu ide muncul di kepalanya.
"Saya lunasin utang Papa kamu. Tapi kamu nikah sama saya. Kontrak dua tahun, setelah itu kamu bebas," tukas Bagas seperti sedang menawar mobil di showroom, ringan.
Kara langsung menoleh, menatap Bagas lama. Lalu ia kembali menatap cermin.
"Kasih saya alasan kenapa saya mesti bilang iya?" tukas Kara sambil tetap menatap ke arah cermin yang memantulkan wajah cantiknya.Bagas tertawa pelan,
"Masih butuh alasan? Kamu pilih nikah sama bapak tua bangka yang banyak kutilnya itu dan utang Papa kamu lunas atau nikah sama cowok ganteng, kaya raya seperti saya dan utang Papa kamu sama-sama lunas juga? Anak SD juga ngerti kali jawabannya!" Suara Bagas terdengar sangat menyebalkan.Kara yang tidak suka di pojokkan memilih untuk sok jual mahal,
"Saya pikir-pikir dulu deh!" tukas Kara sambil meraih tas tangannya dan melangkah keluar ruangan meninggalkan Bagas berdiri sendiri di sana, menatap Kara dengan ekspresi arogan khas nya.*****
Seolah semuanya sudah diatur, Papa berpulang tepat ketika Kara berkunjung ke Indonesia. Serangan jantung karena komplikasi katanya, persis seperti penyakit Papa mertuanya. Papa Kara yang tidak pernah keluar masuk rumah sakit sama sekali, justru berpulang lebih dulu. Tak ada pesan terakhir yang terucap, namun Kara tahu, Papa hanya ingin Kara pulang, untuk menemani Papa di hari akhirnya. Semuanya terasa seperti mimpi, Kara merasa seperti melayang. Namun keberadaan Bagas dan Brie selalu bisa membuat Kara sadar bahwa hidup harus terus berlanjut. Orang yang paling terlihat terpukul adalah tante Nia, baru tiga tahun pernikahan, ia sudah harus kembali menjanda. Walau hanya tiga tahun, tapi ikatan cinta mereka seolah mengalahkan hubungan suami istri yang sudah terjalin bertahun-tahun lamanya. Tante Nia seperti kehilangan cahaya di wajahnya, ia berduka lebih dari Kara. Empat hari sudah berlalu sejak meninggalnya Papa dan ditengah rasa dukanya Kara harus hadir di pernikahan Gavin. Kara bisa
Satu Tahun Kemudian, "Itu Juan!" teriak Kara seraya menunjuk Juan yang mengangguk ke arahnya. "Apa kabar Ju?" sapa Bagas lalu menjabat tangan Juan dengan ramah. "Baik Pak, mari Pak mobilnya di sebelah sini," tukas Juan mengarahkan Bagas, Kara dan Brianna menuju mobil yang akan membawa mereka ke rumah orang tua Bagas. "Wah, tiga tahun gak pulang, ternyata cukup banyak yang berubah yaaa..." cetus Kara takjub melihat perubahan kota Jakarta. Bagas mengangguk, "Iya, kangen juga sama Jakarta! Brie ini hometown kamu nihh, Jakarta!" seru Bagas sambil mengamit tangan Brie. Brie yang sedang asik dengan mainannya tak begitu peduli. Hari ini Bagas dan Kara membawa Brie kembali ke Jakarta untuk mengunjungi keluarga mereka, sekaligus untuk menghadiri resepsi pernikahan Gavin dengan gadis pilihannya yang belum pernah dikenalkan kepada Kara ataupun Bagas. Mobil berhenti tepat di depan rumah orang tua Bagas. Papa dan Mama Bagas tampak menyambut di teras dengan wajah tak sabar. Mereka bukannya tak
Dua tahun kemudian, "Gimana menurut kamu jadinya?" tanya Bagas sambil melipat kedua tangan di depan dadanya. Kara tampak berpikir sejenak, "Yah susah juga sih Gas, dia kan ngelakuin hal kayak gitu karena tamunya kurang ajar, Kita gak bisa pecat orang hanya karena dia mempertahankan harga dirinya," tukas Kara tegas. Bagas menghela nafas panjang, "Ya saya setuju sih sama kamu, tapi kita harus siap kehilangan pelanggan dari Froil, which is mereka adalah salah satu company yang rutin kerjasama dengan restoran kita..." ujar Bagas dengan berat hati. Kara mendekat pada Bagas, memegang kedua tangan Bagas. "Whenever you stuck with this kind of situation just remember apa tujuan awal kita ngejalanin bisnis, it's never about money Gas, kita ngejalanin bisnis ini karena kita suka dan kita mau terus sama-sama, iya kan?" tukas Kara lembut. "Yeah, you're right... Ini nih kenapa kamu mesti sesekali kunjungan ke kantor, untuk ngingetin saya mana yang baik dan mana yang buruk!" seru Bagas lalu mena
"Gas! Brie kok kayak kuning gitu sih?" seru Kara saat ia sedang berjemur bersama Brie di halaman rumah. Bagas yang sedang memeriksa tanaman terkejut lalu menghampiri Kara. "Masa sih?!" tukas Bagas tak percaya, ia mengamati wajah Brie dengan seksama, "Iya sih Kar, waduh kenapa yah?" tanya Bagas dengan khawatir. "Kayaknya gara-gara bilirubin-nya tinggi deh, kita bawa ke dokter aja deh Gas!" tukas Kara merasa takut. Sebagai ibu baru, Kara masih meraba-raba bagaimana caranya menjadi ibu yang baik bagi Brianna, sehingga segala hal kecil tidak akan luput dari perhatiannya. Pagi itu setelah mandi dan sarapan, Bagas dan Kara bergegas menuju St. Pauls dan langsung mendaftar di poli anak. "Brianna Rose Mahendra!" panggil seorang perawat. Bagas dan Kara segera bangkit dan masuk ke dalam ruang periksa. Dokter mengatakan jika Brie mengalami breastfeeding jaundice yang membuatnya menjadi kuning. Dokter menyarankan Kara untuk lebih sering menyusui Brie dan makan makanan yang bergizi serta menghin
Dunia seakan runtuh bagi Bagas saat ia melihat Kara terkulai lemas. Dokter mengatakan Kara mengalami perdarahan hebat sehingga dokter perlu memberikan Kara alat bantu nafas dan transfusi darah karena HB kara yang anjlok ke angka 7.Bagas diminta untuk menunggu di luar agar ia tidak panik, sementara bayi perempuan mereka sudah di urus oleh perawat dan di masukan ke dalam inkubator karena kondisinya yang prematur. Di sela doa dan tangisnya Bagas teringat Mamanya, ia menghubungi Mamanya dan menceritakan apa yang terjadi, Mama sangat terkejut dan memberi wejangan untuk membesarkan hati Bagas. "Ma makasih ya udah lahirin aku ke dunia, selama ini aku gak tau kalau perjuangan Mama dulu mungkin juga seberat ini. Aku minta maaf kalau selama ini selalu bikin Mama kecewa, sekarang aku minta tolong sama Mama buat do'ain Kara supaya dia bisa lalui semua dengan baik..." ujar Bagas sambil sesekali menyeka air matanya. "Aku gak akan bisa hidup bahagia kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama K
Dengan panik Bagas menggendong Kara ke dalam mobil. Kara merasakan sedikit mulas pada perutnya, "Okee Kara relaks atur nafas... atur nafas... everything will be alright..." Kara mencoba menenangkan diri sementara Bagas sedang sibuk mencari rumah sakit terdekat di mesin pencarian google. "Oke Kar, let's do this! Hang in there baby!" seru Bagas lalu menginjak pedal gas dan melaju menuju St. Pauls Hospitals. Baik Kara maupun Bagas sama sekali tidak mengira bahwa Kara akan mengalami pecah ketuban di usia kandungan yang baru menginjak 33 minggu. Keringat dingin mulai membasahi kening dan leher Kara, Bagas merasa sangat gugup dan panik karena ia tidak menyangka hal ini akan terjadi lebih awal. Ia hanya terus menerus mengatakan pada Kara bahwa semua akan baik-baik saja. Sampai di rumah sakit, Bagas segera menghentikan mobil di depan IGD dan meminta bantuan staf medis untuk membawa Kara ke dalam. Kara terlihat sudah sangat pasrah sambil terus menerus mencoba mengatur nafasnya. Seorang per