Pagi yang cerah dengan udara yang cukup dingin, masih dikisaran 16 derajat. Kara mematut dirinya di depan kaca, ia mengenakan dress bunga-bunga panjang model A line dengan lengan berbentuk ruffle. Rambut panjangnya di curly sedikit dan ia biarkan tergerai dengan anggun. "Inget Nyuk, lo mesti behave, kelakukan lo kan kadang out of the box!" Nadine mengingatkan Kara yang sebentar lagi akan bertemu orang tua Bagas. Kara tersenyum kecil,"Iya iyaa, duh ngeri ngeri sedep nih gue," tukas Kara menatap grogi ke arah jendela. Tak lama setelah itu Kara berkumpul dengan semua keluarganya termasuk Nadine untuk mengingat-ingat naskah kepura-puraan yang akan mereka tampilkan hari ini. Rasanya seperti mimpi, dalam waktu sekejap mereka menjadi keluarga penipu!"Oma excited sekali Karaaa!" pekik Oma yang memang sejak dulu cita-cita nya ingin menjadi pemain teater. Kara tertawa miris. "Duh semoga tante gak keceplosan yah," tukas Tante Intan, tante Kara yang super seksi dan bahenol. Kara memejamkan
"Yes perfect! Oh my God Nyuk! Ngaca deh, ya ampun lo cantik banget Nyuuuk, pengen nangis gue!" pekik Nadine saat Kara sudah selesai di rias dan sudah mengenakan gaun pengantinnya. Dengan tak sabar Kara berjalan ke depan cermin dan terperangah melihat pantulan bayangannya yang sempurna. Gaun pengantin lace dengan lengan berbentuk trompet dan belahan dada berbentuk V yang hanya menampakkan belahan dada nya saja, menyembunyikan bagian lagiannya. Gaun tersebut ketat di bagian atas sampai ke paha dan lebar dari paha sampai ke bawah, menjuntai sampai menutupi lantai. Rambutnya di bentuk bridal chignon dengan tudung putih panjang tersemat di chignon bun nya menjuntai indah ke bawah. "Nyuk, astaga gue kayak orang nikah beneran!" bisik Kara tak percaya. Nadine memeluknya hati-hati, takut merusak gaun pengantin Kara. "Gak ada nikah bohongan Nyuk, upacaranya ya sakral, sama kayak pernikahan yang lainnya. Intinya lo beneran nikah!" tukas Nadine suaranya tercekat karena terharu. Beberapa me
Malam bergulir begitu cepat, tanpa Kara sadari jam digital di ponselnya sudah menunjukkan pukul 4.00 pagi. Dengan kepala yang sangat pusing karena terlalu banyak minum whiskey, Kara bangkit dari duduknya di sofa, dan berjalan mengelilingi kamar, nihil, Bagas tak ada di sana. Ia duduk menggelosor di atas karpet tebal, menyandarkan tubuhnya pada sisi tempat tidur. Entah kenapa hatinya merasa sangat merana sekali, namun ia tidak begitu mengerti apa yang membuatnya merana. Apa ia cemburu? Bagaimana bisa ia merasakan cemburu jika rasa cinta pun ia tak punya! Apa dia mulai menyukai Bagas? Kara mendengus, membuang gagasan itu jauh-jauh dari kepalanya. Ia sudah hampir tertidur di atas karpet saat samar-samar ia melihat langkah kaki seseorang dengan sepatu pantofel hitam berjalan di depannya. Kara mendongak, memicingkan matanya yang sudah agak buram karena pengaruh alcohol, lalu menggelengkan kepala, berusaha memfokuskan pandangannya. Yap, benar itu Bagas! Bagas berdiri menunduk menatap Kar
Kara memicingkan matanya, merasakan sakit kepala entah karena apa. Ia meraba tempat tidur di sebelahnya, kosong, tak ada Bagas di sana. Saat bangkit dari tempat tidur Kara meringis menahan rasa sakit di telapak tangan kanannya yang terasa perih. Ia melangkah perlahan ke kamar mandi sambil mengingat-ingat apa yang terjadi pagi tadi. Samar-samar ia bisa mengingat semuanya, berdebat sengit dengan Bagas, gelas yang pecah dan kedinginan di tangga turun yang mengarah ke pantai. Tiba-tiba Kara teringat akan sesuatu, ia meraba mantel di tubuhnya lalu membukanya cepat-cepat dan terkejut saat melihat mantel tersebut bukan mantel Bagas. Kara membolak-balik mantel itu dan tak mendapatkan petunjuk apapun, saat putus asa Kara meraba saku mantel dingin tersebut dan ia terperanjat seketika. Sebuah kartu nama. Gavin MahendraDirector of Operation and SystemMahendra CorpJadi Pria yang tadi malam menyapanya adalah Gavin? Kara masih ingat saat seorang Pria bertanya padanya, namun setelah itu Kara t
"Kar, kamu mau kemana sih?!" teriak Bagas yang sudah lelah mengikuti Kara yang tak tahu mau kemana. Kara mendengus, "siapa suruh ngikutin saya," tukasnya sambil tetap berjalan. Rasa kesalnya pada Bagas masih berada di ubun-ubun. Bagas hanya diam saja tak menyahut, ia terus mengikuti Kara yang ternyata menuju ke pantai yang cukup sepi. Kara duduk di salah satu kursi yang ada di sana, menatap jauh ke laut lepas. Dengan ragu-ragu Bagas beringsut mendekati Kara, "Intinya kamu marah sama saya karena apa sih? Coba jelasin ke saya, jangan cuekin saya begini dong!" oceh Bagas sebal. Kara melengos, "Beneran mau tau?" tanya Kara tanpa menatap Bagas. "IYA!" sahut Bagas dengan nada tak sabar. Kara berbalik badan menatap Bagas, ia menarik nafas panjang, mencari alasan, karena sebenarnya ia juga tidak tahu kenapa ia bersikap seperti itu. "Kamu itu orang tersombong ter-sok kaya dengan empati rendah yang pernah saya kenal, saya marah karena kamu gak tau bagaimana cara menghargai orang lain, ka
Kejadian dua hari yang lalu di villa pulau Capri masih membuat Kara dan Bagas saling mengacuhkan satu sama lain. Mereka hanya berpura-pura mesra di depan keluarga, namun akan kembali saling mengacuhkan saat hanya berduaan. Hari ini Kara, Bagas dan seluruh keluarga kembali ke Indonesia. Kara dan Bagas tetap saling diam di dalam pesawat, sama sekali tak berbicara satu sama lain. Sampai di Jakarta, Kara hampir lupa kalau ia harus ikut Bagas ke rumahnya, bukannya malah ikut dengan keluarganya. Ia memeluk Papanya dan sempat menangis sebentar, lalu kembali bergabung bersama keluarga Bagas setelah Papa menitipkan Kara pada Bagas, meminta Bagas menjaga Kara dengan baik, yang kedengarannya menjadi sangat aneh mengingat sebelumnya Papa Kara berniat menikahkan Kara dengan laki-laki tua bangka. "Kara, besok atau lusa kita ngobrol untuk resepsi kamu dan Bagas yah! Mama gak sabar deh!" tukas Mama sebelum mereka berpisah, karena Kara akan ikut Bagas pulang ke Penthousenya. Kara tersenyum lebar l
Kara terkejut bukan main saat melihat SMS notifikasi dari Bank bahwa terdapat transfer uang sejumlah dua ratus juta rupiah dari rekening Bagaskara Mahendra. Ia melompat kegirangan di kamarnya, saat itu jam menunjukkan pukul dua siang. Bagas menepati janjinya. Kara merebahkan tubuhnya ke atas kasur, berpikir akan memakai uang jajan bulan pertamanya untuk apa. Tapi entah mengapa pikirannya tertuju pada Bagas, Ia merasa tidak adil karena bersikap kurang baik pada Bagas, padahal Bagas sudah menepati janjinya untuk memberikan fasilitas dan uang jajan bagi Kara."Ah biarin aja dia mau sama Thalita kek sama siapa kek, yang penting gue dapet duit!" tukas Kara sambil bangkit dari tidur nya. Dengan gesit Ia menuju ke dapur, berniat untuk memasak sesuatu untuk Bagas, karena sejak sarapan mereka belum makan apa-apa lagi. Kara membuka kulkas dan mengeluarkan bahan makanan, Ia memilih untuk memasak sup ayam dan perkedel, berharap Bagas suka. Dengan susah payah Kara meracik bumbu, namun entah me
Hari kedua tinggal bersama. Kara mulai menikmati perannya sebagai istri orang kaya (walaupun pura-pura) tapi nyatanya cukup menyenangkan juga. Kara tidak harus pusing memikirkan bayar listrik, uang bulanan, dan yang jelas tidak ada lagi yang namanya mengisi botol shampoo yang sudah habis dengan air. Ia baru saja selesai olahraga di jogging track yang ada di lantai dasar gedung Penthouse dan sedang menuang jus jeruk ke dalam gelas saat tiba-tiba Bagas muncul. Kara nyaris saja menumpahkan jusnya saking ia terperangah melihat penampilan Bagas yang super perlente. Bagas mengenakan setelan suit terbaiknya karena hari ini adalah hari serah terima jabatan CEO yang selama ini ia dambakan. "Mau kopi dong Kar!" tukas Bagas sambil mengetik sesuatu di ponselnya. Kara mencibir kesal, "tolong Kara!" tukas Kara mengingatkan Bagas untuk selalu menggunakan kata 'tolong'. Bagas mendongak, "iya, tolong KARA!" ulang Bagas dengan mimik yang menyebalkan. Sambil mencibir Kara membuatkan Bagas kopi dan