Share

Bab 3. Siasat

ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (3)

Tatapan kami saling mengunci. Mata bulat dan jernih miliknya terlihat tenang, tanpa sedikitpun emosi yang terpancar dari sana. Dia memang benar benar berbeda.

"Tentu saja aku sudah Move On. Kata siapa aku mau balikan sama Mas Nabil?" Tanyaku sambil tertawa.

Meisya tersenyum.

"Kalau begitu, kenapa Mbak masih tinggal di sini?" Ujarnya tenang. 

Aku tertawa. Apakah kau merasa diriku adalah ancaman?

"Tanyakan saja pada calon mertuamu. Eh, belum ya? Belum calon. Mama belum tentu setuju."

Meisya mengangguk anggukan kepalanya sambil matanya tak lepas memperhatikanku. 

"Hemm, gitu ya. Jadi, apakah Mbak disini untuk memberi Mama kisi kisi, perempuan mana yang boleh dan tak boleh dinikahi Mas Nabil? Atau bahkan Mbak disini untuk menghalangi Mas Nabil menikah lagi? Atau, bahasa kasarnya, meng-ha-sut?"

Wajahku memanas mendengar kata katanya. Senyum yang sedari tadi kupasanh di wajah berangsur lenyap.

"Kalau kau ingin menikah dengan Mas Nabil, kusarankan agar kau bisa mengambil hati Mama. Dan sayangnya, itu tak akan mudah."

Meisya tersenyum.

"Kita buktikan saja nanti ya Mbak." Ujar Meisya sambil membalikkan tubuhnya. 

"Oh ya Mbak. Betul kata Mas Nabil. Sebaiknya Mbak memakai baju yang sopan meski hanya di rumah saja. Sebab ini rumah Ibunya, tentu saja Mas Nabil akan sering datang." Tambahnya lagi sebelum berlalu.

Langkahnya anggun menghampiri Mama dan Mas Nabil yang masih berbincang. Aku memperhatikan dari jauh dengan hati geram. Kulihat Mama menunjukkan gelang baru di tangannya pada Mas Nabil. Aku tersenyum. Hem, apa kau gak tau kalau kue saja gak cukup untuk mengambil hati calon mertua. 

Tak lama, kulihat Meisya dan Mas Nabil masuk ke dalam mobil dan segera berlalu tanpa menoleh lagi padaku. Aku duduk di kursi tamu, memasang wajah sedih, yang segera ditanggapi oleh Mama.

"Kamu kenapa Vi?"

"Gak apa apa Ma." Ujarku sambil mengusap mataku yang basah.

Mama memegang lenganku.

"Meisya ngomong apa? Jawab Mama."

"Gak Ma. Nanti kalau Mas Nabil gagal menikah lagi, Vivi yang akan disalahkan seperti kemarin kemarin. Iya kan?" Aku mulai terisak. 

"Ya gak to. Kalau Nabil gagal nikah lagi, berarti itu bukan jodohnya. Mungkin saja jodohnya masih sama kamu."

Aku mengusap mata, lalu memeluk Mama.

"Tapi Meisya bilang, aku harus pergi dari rumah ini Ma. Karena apapun yang terjadi dia akan menikah dengan Mas Nabil."

"Meisya bilang begitu?"

Aku mengangguk. Ya gak sama persis begitu sih. Tapi kan dia tadi seolah olah mengusirku. Iya kan?

"Belum jadi mantu aja sudah mau menguasai rumah ini." Sungut Mama. Beliau mengelus elus punggungku 

"Sudah sudah jangan sedih. Selamanya kamu tetap anak Mama. Meski Nabil menikah lagi, kamu akan tetap tinggal sama Mama. Biarkan Nabil tinggal di rumahnya sendiri. Atau kalau perlu, Mama akan membujuk Nabil supaya rujuk sama kamu. Ngapain cari perempuan lain kalau ada berlian di dalam rumah?"

Aku mengangguk kuat kuat, mengusap air mataku sambil tersenyum.

Apa kubilang. Mau menikahi Mas Nabil? Jangan mimpi.

***

"Nah, udah cantik."

Aku menyematkan jepit kupu kupu di atas telinga Tiara. Gadis kecilku sejak tadi tak henti merengut.

"Tiara gak mau jalannya sama Tante Meisya. Kenapa gak sama Mama aja sih?"

Aku tersenyum.

"Ya kan yang mau menikah dengan Papa itu Tante Meisya. Dia mau kenalan sama anak Mama yang cantik."

"Harus ya Ma?"

"Emm… ya gak harus sih. Tapi kan kamu sebaiknya kenalan juga sama calon Mama kamu."

Tiara masih mencebik. 

"Terus aku harus ngomong apa sama mereka? Kalau Tante Meisya tanya tanya aku harus jawab apa?"

"Jawab sejujurnya. Kan Mama gak pernah ngajarin Tiara berbohong."

Itu memang benar. Aku sangat berhati hati bersikap di depan Tiara. Bagaimanapun, dia masih kecil. Pikirannya polos dan lurus lurus saja. Maka, dia selalu tahu saat aku memberi hadiah pada Mama, saat aku menenteng makanan kesukaan Mama sepulang kerja. Atau bahkan saat aku mencuci piring dan menyapu, yang tentu saja hanya sesekali kulakukan. Meski biasanya, kegiatan itu tidak akan berlangsung lama karena Mama pasti akan langsung mengambil alih apapun yang kukerjakan.

"Sudah sudah, istirahat sana. Kamu kan capek."

Ah, tak sia sia aku royal pada Mama. Selain aku menganggapnya sebagai ganti Ibuku yang sudah meninggal, Mama satu satunya yang akan membuat rencanaku berjalan mulus. 

Rencana untuk kembali menyatukan keluarga kecilku yang sempurna, yang hancur berantakan karena ulahku.

Masih kuingat kata talak yang diucapkan Mas Nabil lima tahun lalu. Saat itu, aku baru saja pulang kerja diantar seorang teman lama, yang kutemui di tempat reuni. Doni, teman SMA ku ternyata telah sukses dengan bisnis property nya. Beberapa kali kami janjian bertemu. Aku tahu dia menaruh hati padaku. jadi kenapa tidak kumanfaatkan sekalian? Lalu aku memintanya datang ke rumah untuk mengajak Mas Nabil bekerja. Kala itu Mas Nabil baru merintis karier. Gajinya hanya dua juta. Tak ada sepersepuluh nya dari pendapatanku setiap bulan.

"Belajar bisnis donk Mas. Aku malu sama teman teman kalau ditanya suamiku kerja apa. Masa suami Vivian yang pengusaha minimarket sukses cuma karyawan biasa dengan gaji dua juta." Ujarku pedas.

Wajah Mas Nabil memerah. Dia baru saja pulang kerja ketika kami berpapasan di pintu rumah. Aku mengikutinya masuk kamar sementara Doni menunggu di ruang tamu.

"Kamu sudah tahu Mas masih merintis karir Vi. Kenapa mau Mas nikahi?"

"Ya, karena aku cinta sama Mas."

"Lalu, kenapa sekarang kamu permasalahkan? Gaji dua juta itu tidak akan selamanya. Kalau Mas rajin akan ada jenjang karir di sana."

"Kelamaan Mas. Aku baru sadar ternyata cinta aja gak cukup. Aku malu tiap kali kumpul sama teman teman dan membahas pekerjaan suami." Ujarku kesal.

"Dan kamu bawa lelaki lain ke rumah kita, apa maksudmu?"

"Aku membawanya untuk mengajarimu bisnis."

"Tidak perlu!"

"Dia itu jauh lebih baik segalanya dari kamu Mas. Belajarlah darinya. Jangan bikin aku sengsara terus terusan!"

"Jadi kau mulai membandingkan aku dengan lelaki lain? Atau kau memang punya hubungan terlarang dengannya?"

"Mas, jangan mengalihkan pembicaraan! Kamu bikin harga diriku nyungsep tau gak? Tau gini mending aku gak nikah sama kamu! Kamu gak layak jadi suamiku. Mending aku cari lelaki lain yang sepadan, bukan sampah kayak kamu."

Tangan Mas Nabil seketika terangkat. Matanya merah menahan amarah, seketika itu juga aku sadar bahwa aku sudah keterlaluan. Tangan itu lalu dia turunkan lagi. Selama aku mengenalnya sampai akhirnya kami menikah, mas Nabil tak pernah kasar meski aku kerap menyindirnya karena uang yang dia beri hanya cukup untuk jajan Tiara.

"Kalau kamu menganggap aku sampah. Baiklah, silahkan cari lelaki lain yang pantas untukmu. Mulai sekarang, kamu bukan istriku lagi. Kita bercerai."

Mas Nabil menatapku dalam, sebelum akhirnya pergi, masih dengan kemeja kerjanya. Dia bahkan tak menoleh pada Doni yang menunggu di ruang tamu.

Aku terhempas. Seketika rasa sesal menghantamku bertubi tubi. Bagaimana aku bisa sebodoh itu? Padahal aku sangat mencintainya.

"Vi? Tiara udah siap? Itu Nabil udah datang."

Kudengar suara Ibu mengetuk pintu. Aku menghela nafas, lalu menggamit tangan Tiara dan membuka pintu. Di sana, mantan suamiku berdiri. Dan aku tak bisa tak terpesona melihatnya. 

"Ayo kita berangkat. Nanti kita jemput Tante Meisya dulu ya." Mas Nabil meraih tangan Tiara.

"Mas…" 

Aku melangkahkan kaki, sengaja menginjak sebotol VCO yang kutumpahkan diam diam, sehingga membuatku terpeleset dan terjatuh dengan kepala membentur lantai. Masih kudengar suara riuh Mama dan Tiara yang menjerit melihatku jatuh.

Aku memejamkan mata.

***

VCO = Virgin Coconut Oil alias minyak kelapa murni. Biasanya digunakan untuk pijat dan untuk mengobati ruam pada bayi.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
HHhHHHHHHHhHH
goodnovel comment avatar
Adriana Lim
nyerah aku baca ini. maaf. sebel sm tokoh utama.
goodnovel comment avatar
Partinah Partinah
ceritanya bagus, beda dengan cerita novel2 yg lain, klo novel yg lain, pasti PU nya adalah tokoh teraniaya, tp ini PUnya adalah tokoh yg bersalah di awalnya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status