Share

TERJEBAK DI KAMAR PENGANTIN 2

Aku terbuai dalam aksara mimpi nan indah. Berlari dan melompat tinggi tanpa batu kerikil yang menahan langkah. Andai tahu hidup seindah mimpi, mungkin lebih baik aku memilih tertidur tanpa terjaga lagi.

***

Aku menelan saliva dengan susah payah. Hampir saja kelopak mata ini terpejam saat Bang Habib mengikis jarak. Matanya fokus menatap bibirku saat ini. Apa dia ingin meminta haknya? Mengapa aku merasa was-was?

Bukannya ini yang aku panjatkan dalam sujud tadi? Aku menggelengkan kepala, berusaha berpikir jernih dan tidak terpengaruh dengan sikapnya yang berubah-ubah.

Bang Habib tersenyum remeh seraya menegakkan punggung. Namun, manik mata berwarna coklat madu itu masih mengunci bibirku yang terkunci rapat.

Dia berdecak kesal, lalu berkata. "Tidurlah, Ra. Ini sudah larut."

Ada apa dengan dia? Sejenak perhatian, tapi beberapa jenak kemudian, dia kembali arogan tanpa perasaan.

Ranjang empuk dengan sejuta kenangan Bang Habib dan Mbak Naya menjadi saksi bisu malam pertamaku yang hampa. Tidak ada aktivitas pengantin atau pun hanya bercengkrama layaknya sahabat. Ranjang ini terlalu dingin untuk ukuran tubuhku.

Andai dia mencintaiku, mungkin saat ini kami mereguk surga dunia dalam ibadah yang sah. Namun, semua angan hanya menari indah di benak yang tidak punya batasan. Mustahil. Seperti berharap hujan meteor di saat langit dipeluk mendung nan tebal. Serumit itulah hubunganku dan Bang Habib.

Rasa kantuk membuat kelopak mata terasa berat. Gawai di genggaman, terjatuh di sisi ranjang. Raga ini sudah tidak kuat lagi menopang lelah. Aku butuh istirahat tanpa memikirkan apa pun lagi.

Gigiku bergemeletuk menahan gigil yang menusuk tulang. Baru saja mata ini terpejam dan terhanyut dalam pusaran mimpi sesaat, tapi sepertinya aku demam. Apa karena selimut lembab yang masih membungkus tubuh ini?

Gerakan di sisi kiri membuat tubuhku mengayun pelan, lalu telapak tangan yang terasa hangat menyentuh dahi setelah dia berhasil menurunkan selimut.

"Kamu demam, Ra? Tubuh kamu panas dan berkeringat, tapi kamu menggigil." Bang Habib terdengar panik, lalu turun dari atas ranjang.

Sejak kapan dia baring di sisiku? Perasaan, aku baru saja tertidur. Tanpa aku sadari, ternyata kami tidur di ranjang ubah sama.

"Minum obat demam dulu, Ra. Abang mau cari obat dulu. Kalau nggak salah Naya suka menyimpan obat di kamar," ucap Habib seraya turun dari ranjang. Kemudian, terdengar suara laci yang dibuka, lalu ditutup kembali.

Aku ingin menyingkirkan selimut dari atas tubuh, tapi untuk bergerak saja rasanya sulit. Padahal, aku sudah merasa gerah akibat keringat yang mengucur deras.

Bang Habib telah kembali dan duduk di sisi ranjang, tepat di sampingku. Dia menurunkan selimut, tapi aku tahan dengan susah payah. Tenagaku lemah tanpa sisa sehingga dengan mudah Bang habib menyingkirkan selimut itu hingga bawah dada.

"Ra nggak mau minum obat." Aku menggeleng lemah saat Bang Habib memaksa agar menelan kapsul yang pasti pahit itu. Sejak kecil, aku memang susah menelan obat.

"Jangan keras kepala, Ra! Kamu mau minum sendiri atau Abang yang paksa?"

Belum sempat diri ini menjawab, Bang Habib memencet hidungku hingga mulut sedikit terbuka, lalu dengan mudahnya dia memasukkan kapsul itu ke dalam mulut. Air putih di nakas dia berikan agar aku dapat menelan obat yang terasa menyangkut di tenggorokan.

Aku masih berbaring di atas bantal yang sengaja ditinggikan. Untuk duduk rasanya tidak kuat dan kepalaku terasa berputar. Bang Habib menuju walk in closet setelah memastikan posisiku nyaman saat ini. Walaupun, dengan posisi meringkuk seperti bayi dalam kandungan.

Setelah beberapa jenak laki-laki berahang tegas itu kembali ke sisi ranjang dan mendekatiku. Di tangannya terdapat baju kaos berwarna biru. Pencahayaan lampu utama di kamar ini berpendar terang, sehingga memudahkan mata sayuku menatap setiap gerak gerik Bang Habib.

"Ra mau tidur aja, Bang," imbuhku menolak mengganti pakaian. Rasa pusing membuat aku malas untuk bergerak.

Bang Habib mendesah panjang, "Biar Abang yang ganti baju kamu. Kamu bisa makin sakit kalau tetap memaksa pakai baju basah," sahutnya membuat aku bungkam. Untuk menolak rasanya tidak mungkin. Dia suamiku dan berhak atas diri ini sepenuhnya.

Bang Habib membuka kancing piyama dengan mata terpejam rapat tanpa mau melihat. Apa dia begitu jijik padaku? Sehingga untuk menatap tubuh ini pun dia tidak sudi.

Aku menggigit bibir bawah saat telapak tangannya tidak sengaja menyentuh bagian tubuhku. Jutaan kupu-kupu seolah-olah menari di atas perut. Walau hanya sesaat, tapi aku menikmatinya.

"Sudah. Sekarang tidur lagi, ya." Dia tersenyum tipis sembari membuka mata lebar.

"Terima kasih," ujarku tulus. Rambut lembabku dia belai sesaat sebelum bangkit berdiri dan mengitari sisi ranjang. Kemudian merebahkan badan di sisi ranjang yang kosong.

Tubuhku masih menggigil. Mungkin efek obat belum bekerja dengan sempurna. Bang Habib menarik pundakku dengan lembut dan menjadikan lengannya sebagai bantal. Tangan kirinya memeluk tubuhku, tepat di atas perut.

Aku makin tidak dapat memejamkan mata. Detak jantung semakin kuat dan bertalu-talu. Laki-laki yang tengah memelukku erat ini pun belum tertidur. Terlihat dari gerakan napasnya yang belum teratur.

Apakah aku serakah, jika meminta Tuhan untuk menghentikan waktu? Aku ingin menikmati kebersamaan ini tanpa ada yang mengganggu. Tuhan ... Dengarkan aku.

"Ra .., jika nanti ada laki-laki baik dan mencintai kamu. Tolong kasih tahu Abang, agar Abang bisa melepaskan kamu tanpa rasa bersalah." Ucapan Bang Habib menghempaskanku pada kenyataan.

Aku mendongakkan kelapa, satu tanganku yang memeluk perut Bang Habib, tetap bertahan di sana. "Bagaimana kalau Ra tetap bertahan dalam pernikahan ini?" ucapku sendu.

Bang Habib berdecak kesal dan mengangkat daguku dengan dua jarinya. "Jangan naif, Ra! Pernikahan ini tidak benar. Kita nggak saling cinta dan pernikahan ini pasti tidak akan berhasil."

Aku tertawa hambar. Berulang kali dia mengatakan bahwa ikatan suci ini hanya pernikahan konyol dan ... itu sangat menyakitkan untukku.

"Bagaimana kalau Ra cinta Abang? Apa Abang akan bertahan?" Aku menantang manik matanya dengan lekat. Sempat terlihat bahwa dia terkejut dengan perkataanku.

Bang Habib mendekat dan jarak kami semakin dekat. Hidung kami nyaris bersentuhan. Aku ingin mundur karena merasa tidak nyaman, tapi dia menahan tengkukku agar tetap seperti ini.

"Kamu sadar apa yang kamu katakan, Ra?" Aku mengangguk samar menjawab pertanyaannya. Bang Habib semakin mendekat hingga puncak hidung kami bersentuhan. Embusan napas hangatnya membelai pipiku. Jika dia bicara, pasti bibir kami akan saling bersentuhan.

"Tidak ada cinta antara saudara, Ra. Harusnya kamu tahu itu." Bentakan Bang Habib terdengar tertahan. Meskipun kamar ini kedap suara.

Aku menggelengkan kepala melihat betapa keras kepala suamiku ini. "Kita hanya saudara sepupu. Dalam agama, tidak ada larangan untuk mencintai sepupu, bahkan sampai menikah seperti kita." Aku mematahkan argumen Bang Habib yang keliru.

Dia terdiam cukup lama, tapi sorot matanya menghujam jantungku.

Tuhan ... tolong aku!

---

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ova Bakri
siap ... makasih say
goodnovel comment avatar
Fithriah Arrahman
Next... Semangat kak Thor!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status