Share

2. Nyawa Milikmu

Tidak perlu cenayang untuk menebak apa yang baru saja terjadi di dalam ruangan itu sebelum Billy--produser Max membukanya.

Pemandangan bokong itu bukan hal baru untuk Zoe. Ia baru melihatnya tadi pagi, saat Max bangun dari ranjang. Mereka tidur bersama tadi malam. 

Max mencumbunya tadi malam, sampai nyaris membuat Zoe melewatkan alarm pukul tiga pagi. Zoe harus bangun sepagi itu untuk menyiapkan barang-barang yang akan dibawa Max.

Usaha yang dilakukannya dengan sukarela. Tanpa keluhan. Zoe tidak pernah ingin mengeluh, meski bebannya semakin lama semakin berat. Ia rela melakukannya demi Max.

Demi pria yang saat ini mencoba memakai celana dalamnya, karena baru saja tidur dengan wanita lain. 

"Apa ini?" Billy bertanya tidak terdengar marah, ia bahkan tampak puas saat melihat orang yang membawa kamera itu mengambil gambar Iris dan Max bergantian.

“Awas kalau kau menulis hal buruk tentangku!” Ancaman itu dari Iris, yang tengah memakai bajunya.

“Tidak akan. Aku tidak ingin bermusuhan dengan Wolf.” Wartawan itu tahu siapa yang ada di belakang Iris.

“Tidak akan ada masalah. Kalian cocok sekali. Gosip tidak akan menyakiti kalian.” Billy melontarkan pendapat yang menarik Zoe ke alam nyata.

Billy dengan jelas mengatakan tidak ingin keterlibatan Max dengan wanita—Zoe, diketahui umum. Kini ia dengan enteng mengatakan hubungan Max dan Iris tidak akan membawa masalah. 

“Kita ke ruang ganti lain saja.” Wartawan satu lagi, terlihat tidak nyaman dan langsung mundur keluar.

“Oh, ya! Ayo. Kita tidak perlu membahas hal ini.” Billy dengan bergegas melambai ke arah Max, lalu mereka semua keluar meninggalkan Iris yang tampak bersungut-sungut—masih tidak berusaha memperbaiki pakaiannya yang berantakan.

Tapi tentu Zoe tidak akan diam. Sebelum sampai di ruang ganti, Zoe menyambar lengan Max. Menariknya ke arah tangga darurat yang tadi dipakainya untuk naik. 

“Zoe…” Max berusaha bicara sambil menggaruk kepalanya. Ia tampak kebingungan.

Zoe tidak sanggup bicara. Ia tadi memang menahan diri agar tidak membuat keributan—agar Max tidak mendapat nama buruk, tapi saat tidak ada yang mendengar pun, wanita itu masih tidak mampu mengatakan apapun.

Bayangan Max yang tak mengenakan sehelai benang pun bersama wanita lain memenuhi benaknya saat ini.

“Mengapa kau… tega... ” Suara Zoe bergetar dan tenggorokannya langsung terasa kering saat akhirnya bisa bersuara.

“Kau salah paham, Zoe. Yang kau lihat… Belum terjadi apapun. Kami tidak…”

“Belum? Berarti kau memiliki niat untuk melakukannya?! Kalau begitu, apa bedanya?!” Kesabaran Zoe habis. Ia mendorong dada Max dan berteriak.

“Kau anggap apa aku, Max? Kau lupa padaku begitu saja karena dia?! Bahkan jika kau belum melakukan apapun, dengan niat itu kau telah mengkhianatiku!”

“Zoe! Ini tidak penting. Aku hanya ingin bersenang-senang tadi. Oke? Aku hanya ingin pengalaman baru, yang….”

PLAK!

Zoe melayangkan tamparan telak.

“Bersenang-senang? Kita tidur bersama tadi malam! Itu kurang menyenangkan untukmu?”

Zoe menutup bibirnya dengan tangan, karena air matanya akhirnya merembes turun. Zoe menahannya sejak tadi, tapi rasa sakit itu tak tertahan lagi saat Max menyebut ‘bersenang-senang’. Kalimat yang mengesankan seolah Max menderita saat bersamanya.

“Dengar… Maafkan aku. Itu tadi hanya… pikiranku kosong saat dia merayuku. Iris… dia menggodaku.”

Max meraih kedua bahu Zoe, meremas pelan. Meminta pengertian.

“Aku hamil.” Zoe tadinya ingin memilih saat yang lebih santai, atau hangat. Tapi ia harus mengatakannya sekarang, untuk memberi Max rasa tanggung jawab dan tidak berbuat bodoh.

Tapi bagi Max kabar itu serupa mimpi buruk.

“Apa maksudmu? Itu tidak mungkin. Aku selalu memakai kondom. Kau jangan mengada-ngada!” Max berseru panik.

Zoe menatap Max. Reaksi itu jauh dari bayangannya. Mereka tidak berencana memiliki anak, tapi setelah sekian lama bersama—lima tahun lebih, Zoe tentu berharap setidaknya akan ada simpati, bukan penolakan keras.

“Tidak, Max. Tiga bulan lalu kau tidak memakainya. Kau mabuk dan aku sudah menolak, tapi kau tetap melakukannya.”

Zoe menahan tangis. Banyaknya kekecewaan yang berpusar dalam dirinya, tidak mampu lagi tersalurkan menjadi emosi. Apalagi ia terus melihat Max menggelengkan kepalanya, tidak ingin menerima kenyataan.

“Tapi hanya sekali itu! Tidak mungkin!”

“Apa maksudmu tidak mungkin? Kau pikir aku akan tidur dengan pria lain? Itu maksudmu?!” Zoe merasa tertuduh.

“Bukan begitu. Mungkin kau salah. Bisa jadi kau salah.” Max  memperbaiki, tapi luka itu sudah ada. Ketidakpercayaan dan penolakan itu sudah menyakitinya.

“Aku memakai tiga test pack dan semuanya positif. Aku hamil, Max! Anak kita.”

“Apa maksudmu?”

Zoe tersentak saat tiba-tiba pintu darurat itu membuka. Kepala Billy muncul dengan wajah marah.

Produser itu menutup pintu di belakangnya rapat-rapat, sambil melotot ke arah Zoe. Wajahnya merah membara penuh amarah. 

“Siapa yang hamil? Kau hamil?” 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Nila Elok
kasihan zoe
goodnovel comment avatar
Ernhy Ahza II
kmu yg sbar zoe ...
goodnovel comment avatar
Ernhy Ahza II
Malang skli nasib mu zoe ......gmna bsa sih kmu bsa punya pacar kek max itu ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status