"Sialan!”
Zoe memaki saat melihat lift sedang mengantri, dengan terpaksa ia membelokkan arah larinya ke tangga. Zoe nekat meski tujuannya adalah lantai enam. Menunggu lift akan membuatnya terlambat.
Perempuan itu tidak memiliki pilihan lain, paginya tadi diisi oleh makian sang kekasih yang memintanya untuk segera membawakan barang yang dianggap sebagai jimat keberuntungannya.
Zoe berlari menaiki tangga, sementara tangannya memegangi perut. Ia ingin berhati-hati, agar janinnya tidak terganggu. Jika bisa Zoe akan memilih tidak berlari, tapi tidak mau juga membuat penampilan Max---kekasihnya sendiri gagal.
Dengan langkah terseok, Zoe menuju ruang ganti tempat Max menunggu.
“INI!” Zoe menghambur membuka pintu, dan bergegas mengacungkan kaos kaki---jimat keberuntungan milik Max-- ke udara.
Tanpa kaos kaki bau itu, Max tidak percaya diri untuk bernyanyi---merasa penampilannya akan gagal. Kepercayaan bodoh, tapi Max sangat peduli. Ia tahu Zoe akan mendukung apapun yang dibutuhkan kekasihnya saat ini.
“Astaga, Zoe! Jangan mengagetkan seperti itu. Kau akan membuat Iris takut.” Max yang sudah rapi memakai kostum menegur sementara merebut kaos kaki itu dari tangan Zoe.
“Siapa…”
Sambil menghapus berkeringat, Zoe menatap wanita amat cantik dengan rambut panjang lurus tengah duduk di kursi rias Max.
“Iris White!” Zoe memekik. Dia penyanyi yang saat ini sedang naik daun, kepopulerannya bahkan mengalahkan Max.
Iris mengangguk samar menanggapi seruan Zoe, lalu kembali menunduk memandang kertas di tangannya.
“Program Director acara tadi datang, dan menyarankan aku untuk berduet dengan Iris sebagai penghormatan terakhir untuk salah satu penyanyi legenda yang meninggal kemarin. Kami akan membawakan lagunya.” Max menjelaskan keberadaan Iris pada Zoe, yang memandang dengan kebingungan.
"Itu luar biasa!” Zoe memekik girang. Kesempatan untuk berduet dengan Iris di acara televisi nasional dengan rating melebihi dua puluh persen---dan disiarkan hampir di seluruh negara bagian Amerika, adalah pencapaian cemerlang. Pasti banyak penggemar Iris yang akan melirik Max setelah ini.
Zoe mengangkat kedua tangan, ingin memeluk Max—merayakan, tapi Max menolak dan kerutan di kening. Teguran juga agar Zoe bisa lebih tenang, tidak membuatnya malu. Meski tanpa kata, Zoe menghafal isyarat mata Max itu, karena sudah sering melihatnya.
“Dia siapa?” Iris bertanya menunjuk Zoe.
“Ini Zoe. Managerku. Zoe Anderson.”
Max memperkenalkan sebelum Zoe bisa bicara. Jika sudah seperti itu, Zoe terpaksa tersenyum. Ia mengerti Max harus menjaga namanya. Penggemarnya kebanyakan adalah wanita. Produser Max dengan keras telah memperingatkan agar hubungan mereka tidak tersebar.
“Zoe Anderson.” Zoe mengulurkan tangan ke arah Iris.
Iris hanya mengangguk lalu berpaling pada Max yang sudah duduk di sampingnya, seolah tangan Zoe tak kasat mata.
Zoe bergegas menarik tangannya, menyibukkan diri. Zoe menyalahkan dirinya sendiri, karena mengira Iris akan mau menjabat tangannya. Penyanyi terkenal sepertinya jelas tidak akan menganggap Zoe berada dalam level yang sama.
Zoe mengambil botol minum setelah merasakan tenggorokannya kering akibat berlari. Sesekali matanya melirik ke arah Max dan Iris yang sibuk mendiskusikan bagian masing-masing dari lagu yang akan mereka bawakan.
Zoe iri dan cemburu. Bukan cemburu kepada Iris karena dekat dengan Max, tapi iri pada kesempatan yang didapat mereka berdua.
Zoe berangkat dari garis awal yang sama dengan Max. Sama-sama bermimpi untuk bisa bersinar bersama, tapi saat ini Max sudah jauh melesat, sementara Zoe masih berada di garis awal, bahkan mundur. Zoe tidak ingat kapan terakhir melatih suaranya. Menjadi manager Max sangat menyita waktu.
Tapi hanya itu yang bisa dilakukannya saat ini. Produser Max berjanji, akan memberinya kesempatan untuk bernyanyi lagi. Mungkin setelah anaknya lahir nanti.
“Kalian harus bersiap!” Salah satu kru siaran masuk mengabarkan.
Dengan gesit, Zoe mengambil gitar Max yang telah dipoles olehnya sampai mengkilat, dan menyerahkannya di dekat pintu.
“Rapikan dirimu. Kau membuatku malu, Zoe.” Max berbisik dengan wajah marah, lalu keluar sambil membanting pintu di depan hidung Zoe. Ia seharusnya mengikuti Max, untuk membantu memenuhi apapun permintaannya nanti, tapi Zoe tidak membuka pintu itu.
“Aku kacau karena kau.” Zoe bergumam. Ia tidak akan berani memprotes keras.
Emosi Max akhir-akhir ini mudah sekali terpancing. Ia akan marah pada kesalahan sekecil apa pun—seperti telur yang terlalu matang atau jendela yang terbuka terlalu lebar. Bahkan Max membuang kopi yang dibuatnya hanya karena kurang manis. Zoe tidak ingin mencari masalah lagi jika mengingat itu.
Ia bahkah belum membahas soal kehamilannya pada Max. Belum menemukan waktu yang tepat diantara semua kesibukan Max. Namun, Zoe paham kalau beban menjadi terkenal juga tidak mudah. Zoe akan mencoba untuk mengerti lagi hari ini.
Zoe menghempaskan diri di sofa, memejamkan mata untuk menghilangkan penat. Ia mengelus perutnya yang terasa sedikit nyeri akibat berlari tadi.
***
"Dimana Max?”
Zoe bangun tergagap, saat seseorang mengguncang bahunya.
“Di... bernyanyi.” Zoe menjawab sementara matanya melirik jam dan membelalak. Ia tertidur dan lebih dari dua jam. Zoe melewatkan semua durasi syuting.
Pria yang membangunkannya---produser Max, kini melotot marah. Ia sedang bersama dua orang yang juga tampak tidak sabar. Salah satunya menenteng kamera layaknya wartawan.
“Kau tidak becus! Bagaimana seorang manajer kehilangan artisnya?!” bentaknya.
“Maaf, mungkin Max bersama Iris. Mereka berduet tadi.” Zoe menunjuk ke luar ruangan. Ruang ganti Iris berjarak dua ruang dari tempat Max. Zoe melihatnya tadi saat berlari.
“Oh, aku melihatnya tadi. Mereka sangat luar biasa, suara mereka cocok berpadu. Apa setelah ini mereka akan bekerja bersama?” Wartawan itu tampak tertarik.
"Nanti... jangan ditulis dulu."
Tidak ingin mendengar apapun lagi, Zoe berjalan cepat keluar sambil merapikan rambut. Mereka semua mengikutinya.
“Max? Apa kau di dalam?” Produser itu berseru dari luar pintu ruang ganti Iris. Tapi, ia langsung membuka pintu sebelum ada balasan.
“Max…”
Zoe melihat bokong telanjang Max, berlari panik mencari celananya yang tercecer, sementara Iris tampak menggapai gaun yang tergeletak di lantai.
Tidak perlu cenayang untuk menebak apa yang baru saja terjadi di dalam ruangan itu sebelum Billy--produser Max membukanya. Pemandangan bokong itu bukan hal baru untuk Zoe. Ia baru melihatnya tadi pagi, saat Max bangun dari ranjang. Mereka tidur bersama tadi malam. Max mencumbunya tadi malam, sampai nyaris membuat Zoe melewatkan alarm pukul tiga pagi. Zoe harus bangun sepagi itu untuk menyiapkan barang-barang yang akan dibawa Max. Usaha yang dilakukannya dengan sukarela. Tanpa keluhan. Zoe tidak pernah ingin mengeluh, meski bebannya semakin lama semakin berat. Ia rela melakukannya demi Max. Demi pria yang saat ini mencoba memakai celana dalamnya, karena baru saja tidur dengan wanita lain. "Apa ini?" Billy bertanya tidak terdengar marah, ia bahkan tampak puas saat melihat orang yang membawa kamera itu mengambil gambar Iris dan Max bergantian. “Awas kalau kau menulis hal buruk tentangku!” Ancaman itu dari Iris, yang tengah memakai bajunya. “Tidak akan. Aku tidak ingin bermusuhan
“Dasar kalian bodoh! Aku sudah katakan berkali-kali untuk menjaga diri! Aku tidak akan peduli apapun yang kalian lakukan asal jangan sampai membuat masalah! Otak kalian tidak mampu mencerna hal sederhana semacam ini?!” Billy, sang produser murka. Manik miliki sang produser mengarah ke Max, membentaknya dengan keras. “Kau yang paling bodoh!” “Tidak bisakah kau menahan diri dan tidak tidur dengan sembarang wanita? Kau lihat dulu siapa lawanmu sebelum menancapkan benih! Kau akan menghancurkan karirmu kalau terus terlibat dengan wanita tidak jelas dan membuatnya hamil!” “Siapa yang kau sebut wanita sembarangan?!” Zoe membentak tidak kalah keras. Zoe baru saja menghancurkan kesempatannya untuk berkarir saat melakukannya. Tapi Zoe tidak peduli. Billy baru saja merendahkannya. “Aku kekasihnya. Kami telah berhubungan bertahun-tahun! Aku bukan wanita sembarangan! Wanita itu yang murahan! Kau lihat sendiri, kan?” Iris yang lebih pantas disebut jalang. Wanita itu dan Max baru bertemu pag
Air mata Zoe yang pertama menerjemahkan duka itu. “GHHH! AAGHH!” Tapi ia tidak mampu mengatakan apapun. Menangis dalam sunyi adalah sesak. Zoe ingin berteriak, melepaskan duka yang menindih dadanya, tapi hanya suara dengus dan rintihan yang keluar dari bibirnya. Bahkan untuk memaki saja Zoe tidak mampu. Zoe ingin marah pada Billy, ia ingin marah pada Max yang tidak membelanya, ingin marah pada Iris yang memulai semua nasib sialnya, tapi semua tertahan di tenggorokannya. “Aku mohon tenang dulu. Penjelasannya masih panjang.” Dokter itu menyela, dengan wajah menyesal. Ia tidak ingin mengganggu duka Zoe, tapi ia harus menyelesaikan penjelasan. Dengan mata yang masih basah, Zoe memandang dan mengedip padanya. Memintanya untuk meneruskan. Pikirannya masih kacau, tapi Zoe ingin mendengar semua. “Bagian kepalamu terbentur dengan keras, dan kau menjalani operasi untuk menyingkirkan gumpalan darah. Sekarang kau sudah sehat, tapi dengan rambut lebih pendek mungkin, karena kami harus mencu
DUA TAHUN KEMUDIAN“Zoe, bangun! Ada tamu VVIP! Kau yang pergi!”Zoe berdiri dari sofa yang menjadi tempatnya tidur, memandang orang yang baru saja membangunkannya dengan wajah jengkel, tapi kemudian Zoe tersenyum. Ia mengenali orang itu.Tiana, wanita berusia empat puluhan yang juga pemilik strip club tempatnya bekerja saat ini.Zoe mengambil tali yang biasa dipakai untuk menggantungkan name tag, tapi bukan name tag yang tergantung di ujungnya. Ada tumpukan kartu dengan aneka tulisan yang bisa dipilih. Tapi Tiana rupanya tidak sabar.“Ya.. ya… aku tahu kau akan berterima kasih. Tapi nanti saja. Dia bukan orang yang penyabar, dan ingin bersenang-senang malam ini.”Tiana mengambil kartu ucapan itu dari tangan Zoe, melemparkannya ke atas meja. Zoe memandangnya dengan kecewa, karena ia baru menemukan cara yang lebih cepat selain menulis untuk berkomunikasi.“Maaf, tapi tidak malam ini. Aku akan melihatnya besok, oke? Aku harus mempersiapkanmu. Pakai ini.”Tiana tidak biasanya kasar, tapi
Rencana nekat terbentuk dalam benak Zoe. Rencana yang benar-benar nekat. Wolf masih terus mengamati Zoe–terutama wajahnya. Zoe menegakkan lehernya, memberi akses agar Wolf melihat wajahnya lebih jelas. Zoe berada di angle yang tepat, Wolf seharusnya tidak menilainya lumayan lagi. “Aku lihat dulu bagaimana," kata Wolf, sambil meletakkan minumannya di atas meja yang ada di hadapannya. Bukan meja biasa. Meja itu adalah panggung Zoe. Bundar, memiliki lebar yang cukup agar penari bisa bergerak aman dan bebas, lalu ada tonggak besi di tengahnya. “Aku permisi. Aku harap kau menyukainya.” Tiana berpamitan. Seiring detak suara sepatu Tiana yang semakin samar karena pintu ruangan itu telah tertutup, detak jantung Zoe semakin keras. Ia biasanya tidak lagi gugup dan langsung bekerja dengan profesional, tapi kali ini berbeda. Ia harus berhasil membuat Wolf tertarik padanya. Harus bisa membuatnya meminta pelayanan full sevice agar meninggalkan kesan. “Kau pilih lagu sendiri.” Wolf mengulurkan
Zoe mengangguk menjawab pertanyaan Wolf. Tulisan itu tidak salah. Tapi tentu permintaan itu dianggap salah oleh Wolf. Pria yang ternyata memiliki iris berwarna hijau pekat itu, memandang Zoe seolah ia baru saja bertemu dengan wanita gila. “Apa kau ingin uang lebih? Kalau hanya sekedar uang lebih… Aku akan memberikannya. Tubuhmu lumayan rasanya. Tapi tidak ini.” Wolf menjentikkan kertas itu dari tangannya, sampah menurutnya. “Mmmm…” Zoe mengeluarkan gumaman sambil melambaikan tangan karena panik. Takut kalau Wolf akan pergi. Tapi gumaman itu justru membuat Wolf—yang baru akan memakai kemejanya kembali berhenti, dengan wajah bertanya-tanya. Bisa melihat kalau Zoe kesulitan bicara. “Apa kau bisu?” Wolf memakai bahasa isyarat. Tapi Zoe justru tidak mengerti bahasa isyarat itu. Ia kembali menuliskan jawaban di kertas, lalu mengulurkannya. “Aku tidak tuli, tapi aku memang tidak bisa bicara. Masalah syaraf di otak. Panjang. Aku tidak ingin menjelaskannya. Tapi aku tetap ingin menikah d
Zoe menelan ludah. Ia ingin menggeleng—karena ini adalah keputusan paling berani yang pernah diambilnya seumur hidup. Ia terjun ke alam yang sama sekali tidak punya bayangan seperti apa.Tapi balas dendam itu menggoda. Sakit hatinya yang tidak pernah terbalaskan itu—yang menggerogoti hatinya setiap kali melihat wajah Max di papan billboard, tidak untuk diabaikan juga.Billy, Max, dan Iris. Mereka membuatnya menjadi bisu—menghancurkan bakat dan mimpinya. Membunuh anaknya.Zoe lalu mengangguk, lalu menunjukkan catatan singkat yang dibuatnya. “Ya, aku tahu.” “Well, kalau begitu mari kita uji.” Wolf tersenyum.“Berlututlah dan cium kakiku. Ini tingkat penghambaan yang aku inginkan.” Wolf mengangkat kakinya yang masih telanjang juga, menyilangkannya. Menunggu Zoe.Permintaan yang jelas mengekspresikan penyerahan diri yang absolut, sesuai dengan tulisan Zoe. Zoe kembali tidak menyangka penawaran itu akan terjadi dengan sangat cepat dengan bentuk yang cukup menantang.Mencium kaki adalah p
“Kau yakin akan melakukan ini? Bagaimana… Sebentar.” Tiana rupanya masih sulit menerima meski ia sudah membaca catatan dari Zoe. Ia memeriksanya sekali lagi, sementara Zoe tengah membereskan barang-barangnya. Tidak banyak, hanya peralatan make up dan beberapa sepatu boot yang dibelinya sendiri. Selain itu, kostumnya kebanyakan milik Tiana. Hari ini, Zoe akan pindah ke rumah Wolf. “Dia bukan tipe orang yang bisa kau jadikan suami, Zoe. Kau tahu itu bukan?” Tiana meraih tangan Zoe, memintanya mempertimbankan. Zoe meraih kartu yang tergantung di lehernya dan menunjukkan kata ‘aku tahu’. Banyak kata umum yang tergantung di sana, termasuk ‘terima kasih’, ‘tidak’, ‘oke’. Kata-kata singkat yang tidak perlu ditulisnya lagi. “Lalu kenapa… Jangan katakan kau masih belum melupakan…” Zoe menepuk tangan Tiana, lalu mengetik kalimat pada ponsel yang juga bergantung di lehernya. “Mereka membunuh anakku, membuatku tak bisa bicara! Aku tidak akan lupa!” Zoe menunjuk tulisannya itu beberapa kal