“Dasar kalian bodoh! Aku sudah katakan berkali-kali untuk menjaga diri! Aku tidak akan peduli apapun yang kalian lakukan asal jangan sampai membuat masalah! Otak kalian tidak mampu mencerna hal sederhana semacam ini?!” Billy, sang produser murka.
Manik miliki sang produser mengarah ke Max, membentaknya dengan keras. “Kau yang paling bodoh!”
“Tidak bisakah kau menahan diri dan tidak tidur dengan sembarang wanita? Kau lihat dulu siapa lawanmu sebelum menancapkan benih! Kau akan menghancurkan karirmu kalau terus terlibat dengan wanita tidak jelas dan membuatnya hamil!”
“Siapa yang kau sebut wanita sembarangan?!” Zoe membentak tidak kalah keras.
Zoe baru saja menghancurkan kesempatannya untuk berkarir saat melakukannya. Tapi Zoe tidak peduli. Billy baru saja merendahkannya.
“Aku kekasihnya. Kami telah berhubungan bertahun-tahun! Aku bukan wanita sembarangan! Wanita itu yang murahan! Kau lihat sendiri, kan?”
Iris yang lebih pantas disebut jalang. Wanita itu dan Max baru bertemu pagi tadi, dan saat siang mereka sudah hampir bersenggama.
“Tapi dia Iris White dan kau bukan siapa-siapa! Dia bisa mendukung karir Max menjadi lebih baik, sedang kau hanya beban yang akan membawa Max tenggelam ke dasar lautan! Kau melihat bedanya?!”
Sesak. Zoe nyaris tidak bisa bernapas karena kalimat-kalimat yang dinyatakan oleh sang produser. Ia tidak bisa membantah. Ia juga sebenarnya tahu beban apa yang akan ditimpakannya untuk Max, karena itu Zoe menahan diri untuk tidak mengatakan kehamilannya sampai hari ini.
“Sudah, gugurkan saja bayi itu! Max tidak memerlukan beban lain saat ini!” ucap Billy tanpa memedulikan Zoe yang hatinya runtuh mendengar perintah itu.
“Tidak!” Zoe langsung menolak dan menangkup perutnya. Ia mungkin tidak merencanakan kehamilan itu, tapi Zoe tidak akan pernah membunuhnya.
“Zoe, aku mohon. Jangan keras kepala.”
Suara itu tidak membentak seperti Billy, tapi menyayat hati Zoe dengan lebih dalam.
Zoe perlahan berpaling memandang ayah dari bayinya, yang baru saja meminta untuk menggugurkan kandungannya.
“Kau… kau ingin aku membunuh anakmu sendiri?” Bibir Zoe gemetar. Sementara air matanya yang tertahan amarahnya pada Billy, turun lagi dengan mudahnya.
“Zoe, karirku…”
“Ini anakmu! Yang ada di dalam tubuhku adalah anakmu! Kau ingin aku membunuhnya?”
Zoe mengulang pertanyaan itu, berharap Max akan mempunyai jawaban lain. Tapi pria itu tetap sama. Ia menggeleng sambil menjauh dari Zoe.
“Max…”
Zoe berusaha meraihnya, tapi Billy menghalangi.
“Pilih yang mana? Kalau kau ingin bersamanya, kau harus terus menjadi managernya, bukan ibu dari anaknya. Kalau kau ingin mempertahankan bayi itu, maka pergi! Tinggalkan New York, dan jangan mendekatinya lagi!” Billy mengultimatum.
“Apa… Aku tidak… kau tidak boleh melakukannya! Aku… kami saling mencintai! Max, kau tidak bisa begini! Aku sedang mencoba mempertahankan anak kita!”
Zoe mencoba meraih Max yang nyaris tersembunyi di belakang Billy, tapi Billy kembali mencegah dengan mendorong Zoe menjauh.
Dorongan yang terlalu keras, dan tubuh Zoe terlalu ringan.
“MAX!” Zoe menjerit dengan tangan menggapai saat tubuhnya tersedot ke bawah. Menghantam pegangan tangga besi, sebelum jatuh terguling.
Zoe bisa merasakan hantaman di sekujur tubuhnya, juga mendengar teriakan Max memanggil namanya, sebelum semua dunianya gelap gulita.
***
Zoe sadar, tapi ia tidak sanggup bicara maupun bergerak. Ia seperti hidup di dalam mimpi berwarna-warni dengan suara-suara aneh di sekeliling.
Ada satu suara konstan yang selalu didengarnya. Saat kesadarannya datang, Zoe biasanya akan mencoba untuk melihat, tapi tidak cukup kuat dan kembali terhanyut.
Zoe juga terkadang mendengar percakapan di sekitarnya. Tawa dan yang lainnya, tapi ia tidak bisa mengerti. Hanya sayup obrolan yang bergantian. Sampai akhirnya ia bisa mendengar dengan jelas.
“Kau masih tidur juga hari ini.”
Zoe membuka mata dengan bersusah payah untuk melihat siapa yang bicara padanya.
“DOKTER! Pasien sadar!”
Zoe bisa membuka mata. Ia bahkan melihat seseorang berlari walau semua masih buram.
Zoe mencoba mengangkat tangannya, tapi berat. Nyaris tidak bisa bergerak. Maka ia memusatkan kekuatannya pada satu hal saja, mencoba memperjelas pandangan.
Zoe mengedipkan mata beberapa kali untuk menghilangkan kabut membayang, lalu akhirnya bisa mengenali ruang tempatnya berada. Ia terbaring di rumah sakit. Pantas saja tadi ada yang ribut memanggil dokter.
Dan dokter itu datang saat Zoe sudah sangat sadar. Ia bisa menggerakkan mata sesuai lampu, tapi tangan dan kakinya tidak mampu bergerak sesuai perintah otaknya.
“Fungsi motorik tidak akan bisa kembali secara langsung. Akan membutuhkan waktu mengingat durasi kehilangan kesadaran yang lama. Tapi jangan khawatir, ini tidak berhubungan dengan cedera. Ini hanya karena kau tidak bergerak selama beberapa bulan.”
“Hmm…”
Zoe tentu saja terkejut dan ingin bertanya apa maksudnya berbulan-bulan, tapi ia tidak mampu bicara. Lidahnya tidak bergerak membentuk kata.
“Tenang dulu. Dengarkan aku.” Dokter itu menahan bahu Zoe. Memintanya tenang.
“Apa kau ingat kejadian apa yang membuatmu berada di rumah sakit?” Dokter pria berambut pirang itu bertanya pelan.
Zoe sesaat bingung, tapi kemudian air matanya berlinang. Karena ingatan itu kembali. Billy mendorong tubuhnya sampai jatuh dari tangga.
“Aku anggap itu sebagai jawaban iya.” Dokter itu melihat air mata Zoe, lalu melanjutkan penjelasannya.
“Kau terluka cukup parah.”
Mata Zoe membulat lebar. “Mmm…Ghhh…”
Dia kembali terbata ingin mengucapkan sesuatu, tapi tidak mampu. Zoe lalu memakai mata untuk melihat ke bawah—ke arah perutnya.
Terlihat dokter itu menggeleng dengan wajah menyesal.
“Maafkan kami, tapi bayi dalam kandunganmu tidak bisa selamat. Dia meninggal dalam kecelakaan itu.”
Air mata Zoe yang pertama menerjemahkan duka itu. “GHHH! AAGHH!” Tapi ia tidak mampu mengatakan apapun. Menangis dalam sunyi adalah sesak. Zoe ingin berteriak, melepaskan duka yang menindih dadanya, tapi hanya suara dengus dan rintihan yang keluar dari bibirnya. Bahkan untuk memaki saja Zoe tidak mampu. Zoe ingin marah pada Billy, ia ingin marah pada Max yang tidak membelanya, ingin marah pada Iris yang memulai semua nasib sialnya, tapi semua tertahan di tenggorokannya. “Aku mohon tenang dulu. Penjelasannya masih panjang.” Dokter itu menyela, dengan wajah menyesal. Ia tidak ingin mengganggu duka Zoe, tapi ia harus menyelesaikan penjelasan. Dengan mata yang masih basah, Zoe memandang dan mengedip padanya. Memintanya untuk meneruskan. Pikirannya masih kacau, tapi Zoe ingin mendengar semua. “Bagian kepalamu terbentur dengan keras, dan kau menjalani operasi untuk menyingkirkan gumpalan darah. Sekarang kau sudah sehat, tapi dengan rambut lebih pendek mungkin, karena kami harus mencu
DUA TAHUN KEMUDIAN“Zoe, bangun! Ada tamu VVIP! Kau yang pergi!”Zoe berdiri dari sofa yang menjadi tempatnya tidur, memandang orang yang baru saja membangunkannya dengan wajah jengkel, tapi kemudian Zoe tersenyum. Ia mengenali orang itu.Tiana, wanita berusia empat puluhan yang juga pemilik strip club tempatnya bekerja saat ini.Zoe mengambil tali yang biasa dipakai untuk menggantungkan name tag, tapi bukan name tag yang tergantung di ujungnya. Ada tumpukan kartu dengan aneka tulisan yang bisa dipilih. Tapi Tiana rupanya tidak sabar.“Ya.. ya… aku tahu kau akan berterima kasih. Tapi nanti saja. Dia bukan orang yang penyabar, dan ingin bersenang-senang malam ini.”Tiana mengambil kartu ucapan itu dari tangan Zoe, melemparkannya ke atas meja. Zoe memandangnya dengan kecewa, karena ia baru menemukan cara yang lebih cepat selain menulis untuk berkomunikasi.“Maaf, tapi tidak malam ini. Aku akan melihatnya besok, oke? Aku harus mempersiapkanmu. Pakai ini.”Tiana tidak biasanya kasar, tapi
Rencana nekat terbentuk dalam benak Zoe. Rencana yang benar-benar nekat. Wolf masih terus mengamati Zoe–terutama wajahnya. Zoe menegakkan lehernya, memberi akses agar Wolf melihat wajahnya lebih jelas. Zoe berada di angle yang tepat, Wolf seharusnya tidak menilainya lumayan lagi. “Aku lihat dulu bagaimana," kata Wolf, sambil meletakkan minumannya di atas meja yang ada di hadapannya. Bukan meja biasa. Meja itu adalah panggung Zoe. Bundar, memiliki lebar yang cukup agar penari bisa bergerak aman dan bebas, lalu ada tonggak besi di tengahnya. “Aku permisi. Aku harap kau menyukainya.” Tiana berpamitan. Seiring detak suara sepatu Tiana yang semakin samar karena pintu ruangan itu telah tertutup, detak jantung Zoe semakin keras. Ia biasanya tidak lagi gugup dan langsung bekerja dengan profesional, tapi kali ini berbeda. Ia harus berhasil membuat Wolf tertarik padanya. Harus bisa membuatnya meminta pelayanan full sevice agar meninggalkan kesan. “Kau pilih lagu sendiri.” Wolf mengulurkan
Zoe mengangguk menjawab pertanyaan Wolf. Tulisan itu tidak salah. Tapi tentu permintaan itu dianggap salah oleh Wolf. Pria yang ternyata memiliki iris berwarna hijau pekat itu, memandang Zoe seolah ia baru saja bertemu dengan wanita gila. “Apa kau ingin uang lebih? Kalau hanya sekedar uang lebih… Aku akan memberikannya. Tubuhmu lumayan rasanya. Tapi tidak ini.” Wolf menjentikkan kertas itu dari tangannya, sampah menurutnya. “Mmmm…” Zoe mengeluarkan gumaman sambil melambaikan tangan karena panik. Takut kalau Wolf akan pergi. Tapi gumaman itu justru membuat Wolf—yang baru akan memakai kemejanya kembali berhenti, dengan wajah bertanya-tanya. Bisa melihat kalau Zoe kesulitan bicara. “Apa kau bisu?” Wolf memakai bahasa isyarat. Tapi Zoe justru tidak mengerti bahasa isyarat itu. Ia kembali menuliskan jawaban di kertas, lalu mengulurkannya. “Aku tidak tuli, tapi aku memang tidak bisa bicara. Masalah syaraf di otak. Panjang. Aku tidak ingin menjelaskannya. Tapi aku tetap ingin menikah d
Zoe menelan ludah. Ia ingin menggeleng—karena ini adalah keputusan paling berani yang pernah diambilnya seumur hidup. Ia terjun ke alam yang sama sekali tidak punya bayangan seperti apa.Tapi balas dendam itu menggoda. Sakit hatinya yang tidak pernah terbalaskan itu—yang menggerogoti hatinya setiap kali melihat wajah Max di papan billboard, tidak untuk diabaikan juga.Billy, Max, dan Iris. Mereka membuatnya menjadi bisu—menghancurkan bakat dan mimpinya. Membunuh anaknya.Zoe lalu mengangguk, lalu menunjukkan catatan singkat yang dibuatnya. “Ya, aku tahu.” “Well, kalau begitu mari kita uji.” Wolf tersenyum.“Berlututlah dan cium kakiku. Ini tingkat penghambaan yang aku inginkan.” Wolf mengangkat kakinya yang masih telanjang juga, menyilangkannya. Menunggu Zoe.Permintaan yang jelas mengekspresikan penyerahan diri yang absolut, sesuai dengan tulisan Zoe. Zoe kembali tidak menyangka penawaran itu akan terjadi dengan sangat cepat dengan bentuk yang cukup menantang.Mencium kaki adalah p
“Kau yakin akan melakukan ini? Bagaimana… Sebentar.” Tiana rupanya masih sulit menerima meski ia sudah membaca catatan dari Zoe. Ia memeriksanya sekali lagi, sementara Zoe tengah membereskan barang-barangnya. Tidak banyak, hanya peralatan make up dan beberapa sepatu boot yang dibelinya sendiri. Selain itu, kostumnya kebanyakan milik Tiana. Hari ini, Zoe akan pindah ke rumah Wolf. “Dia bukan tipe orang yang bisa kau jadikan suami, Zoe. Kau tahu itu bukan?” Tiana meraih tangan Zoe, memintanya mempertimbankan. Zoe meraih kartu yang tergantung di lehernya dan menunjukkan kata ‘aku tahu’. Banyak kata umum yang tergantung di sana, termasuk ‘terima kasih’, ‘tidak’, ‘oke’. Kata-kata singkat yang tidak perlu ditulisnya lagi. “Lalu kenapa… Jangan katakan kau masih belum melupakan…” Zoe menepuk tangan Tiana, lalu mengetik kalimat pada ponsel yang juga bergantung di lehernya. “Mereka membunuh anakku, membuatku tak bisa bicara! Aku tidak akan lupa!” Zoe menunjuk tulisannya itu beberapa kal
Zoe melangkah memasuki rumah yang tentu saja sangat mewah itu dengan amat perlahan. Takut jika langkahnya akan membuat lantai marmer yang diinjaknya retak. Lantai rumah Wolf begitu berkilau, sampai sesaat Zoe mengira lantai itu terbuat dari kaca. Padahal meski ia menari tap dance di atasnya, lantai itu akan baik-baik saja. “Kamar Mr. Wolf ada di atas. Akan saya antarkan.” Stefan–pria yang tadi menjemput dan mengantarnya sampai ke rumah itu, menarik koper bawaan Zoe, mengajaknya ke lantai dua. Zoe sebenarnya belum selesai mengagumi area lantai dasar rumah itu, yang mana sangat mewah. Penuh karya seni berupa patung dan lukisan, lalu ada ruang terbuka yang diisi taman indoor. Tatanan jenis modern minimalis. Tapi pemandangan di lantai dua juga tidak terlalu buruk. Zoe bisa melihat pemandangan kota New York di kejauhan dari dinding kaca yang terbuka lebar di seluruh lantai dua. Rumah itu tidak terletak di dalam kota New York, tapi juga tidak terlalu jauh. Daerah suburban sempurna, ya
“Clay, diam dulu.” Wolf meminta Clay, teman—sekaligus lawan bicaranya sejak tadi untuk berhenti bicara. Ia tengah membaca pesan dari Zoe dengan takjub. Isinya terlalu mengejutkan pastinya. “Sejak kapan kau menerima pesan?” Clay heran, karena tahu Wolf anti menulis pesan. Ia lebih suka menelepon, dan biasanya orang yang menghubungi ponsel Wolf, cukup tahu untuk tidak mengirim pesan. “Dia belum tahu… oh… Tidak bisa.” Wolf baru saja mengangkat ponsel ke telinga untuk menghubungi Zoe, tapi kemudian ingat kalau Zoe tidak akan bisa membalas panggilannya. Maka Wolf juga menulis pesan akhirnya. “Kau itu membalas apa? Siapa yang bisa membuatmu mengirim pesan?” Clay semakin penasaran. Mereka ada di tengah pembicaraan bisnis. Tidak biasanya wolf akan menghentikan pembicaraan hanya karena panggilan maupun pesan. Tapi kini Clay melihat wolf bersusah payah mengetik sambil mengerutkan kening. Jempolnya bergerak sangat lambat di permukaan layar ponsel. Ada alasan kenapa Wolf tidak suka mengir