Tapi Adrian kembali menutup mulutnya. Dia tidak akan melakukan itu! Biarkan wanita bisu itu tetap di sana, di sofa yang sempit. Ia kembali memejamkan mata dan memaksa dirinya untuk segera tidur dengan lelap.Pagi harinya, sinar matahari menerobos perlahan melalui celah tirai kamar. Liora baru saja selesai dari kamar mandi dan merapikan bantal dan selimutnya di sofa itu. Dia pun kembali duduk di sana.Adrian terbangun. Duduk di pinggiran tempat tidur, meregangkan tubuhnya lalu menoleh pada Liora.Mereka sama-sama menoleh, namun saat itu pula Liora menjauhkan tatapannya yang datar. Melihat Adrian tetap seperti musuh, penjahat dan ia ingin suatu waktu bisa lepas darinya."Aku akan membawamu ke panti siang ini," ucap Adrian datar. "Sesuai janjiku."Sekilas saja, perubahan terlihat jelas di wajah Liora. Matanya membulat ringan, sorotnya seperti berbinar. Senyum lebar muncul meski hanya sekejap, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar bahagia d
Makan malam berlangsung dalam diam. Sedikit tegang setelah apa yang terjadi hari ini. Hanya denting sendok dan garpu yang sesekali terdengar. Adrian duduk di kursi utama meja makan, menyendok makanannya perlahan tanpa ekspresi. Di seberangnya, Juliana dan Camila saling bertukar pandang namun sama-sama menunggu waktu yang tepat untuk berbicara.Akhirnya, Juliana yang membuka suara lebih dulu. “Adrian, ngomong-ngomong soal Clara, kamu jadi kan menikah dengannya?”Adrian meletakkan sendoknya perlahan. Ia menatap ibunya dengan dingin. “Mama yakin Clara masih mau menikah denganku... setelah tahu kondisiku sekarang? Sudah menikah?” tanyanya.Juliana menaikkan alis.“Mama pasti mengerti maksudku. Aku tinggal satu rumah dengan wanita bisu. Berita kami beredar di mana-mana. Foto ciuman itu tersebar. Apa Clara tidak bertanya-tanya? Apa dia tetap mau?” Adrian menatap ibunya lurus, suaranya terdengar tenang cenderung tidak tertarik
Liora tidak menjawab, namun dia tidak terlihat takut pada ancaman Adrian. Bukanlah lelaki itu pernah berkata kalau dia jijik padanya? Dia menatapnya datar, tanpa takut dan tidak melawan.Adrian belum melanjutkan kalimatnya yang menggantung. Dia menatap manik mata yang sembab dan sendu. Terlihat benar-benar pasrah. “Kau benar-benar pasrah?” lanjutnya, ragu. Seakan bukan itu kalimat lanjutan dari kalimatnya sebelumnya.Tiba-tiba dia melepas dagu Liora dan beranjak pergi menjauhinya.“Yang pasti, awas kalau kau sampai macam-macam. Ingat anak-anak panti!” gumam Adrian. Dia pun menghilang ke dalam kamar mandi.Dia menutup pintu, menarik napas panjang, dan mulai melepas satu per satu pakaiannya. Kemeja, celana, lalu arlojinya, sebelum akhirnya ia melangkah ke bawah pancuran.Air dingin mengguyur tubuhnya. Membasuh sisa amarah dan kebingungan yang berkecamuk dalam pikirannya. Tapi bukannya tenang, bayangan wajah Liora justru semakin jelas di balik matanya yang terpejam.Wajah pucatnya. Matan
“Ma! Mama!” panggil Adrian sedikit berteriak. Juliana dan Camila pun keluar dari kamar mereka. Menghampiri Adrian di ruang tengah. “Mama!” “Iya iya Adrian?! Ada apa? Mama di sini,” sahut Juliana mendekat. Sahutannya begitu santai. Camila hanya diam. “Ma, aku ingin tahu... apa maksud Mama melarang Bibi memberi Liora makan?” Juliana menegakkan punggung. Camila menatap kakaknya datar, seolah bersiap untuk konfrontasi lain. “Dia bukan nyonya di rumah ini,” sahut Juliana datar. “Kalau dia lapar, kenapa tidak turun dan makan sendiri?” “Ma?!” suara Adrian mulai meninggi. “Kalian sendiri kan yang tidak suka ada orang asing yang makan di rumah ini bersama kalian?” Camila hendak menyela, tapi Adrian melanjutkan dengan suara dingin menusuk. “Kalau sampai dia mati secepat ini di rumah kita, apa Mama pikir nama baik keluarga ini akan selamat? Apa Mama pikir publik sudah sepenuhnya percaya dengan citra yang aku bangun?!” Juliana mendengus. “Tapi mau sampai kapan? Yang ada Mama
Adrian duduk tegak di balik meja kerjanya, jas dilepas, dasi dilonggarkan dan tangan menekan pelipis seperti tengah menahan sakit kepala. Di hadapannya berdiri seorang pria yang lebih muda darinya, sekretaris pribadi sekaligus asistennya. Namanya Gavin, yang setia sejak awal Adrian memimpin perusahaan.Gavin pun duduk di hadapan Kay. Dia membuka tablet dan menyodorkannya ke Adrian. “Berita hari ini semua mendukung narasi pasangan harmonis. Tidak ada lagi yang membahas kasus lama. Publik percaya, Bos.”Adrian mengangguk pelan. “Bagus! Itu kabar yang sangat baik! Itulah yang kuharapkan.” Dia menggosok dagunya.Gavin melirik tuannya sejenak, lalu bicara hati-hati. “Lalu… soal kelanjutan kontrak pernikahan, apa Bos ingin saya mulai menyusun pasal pemutusan?”Adrian mengangkat alis. “Masih terlalu dini untuk itu. Kita lihat saja nanti,” jawabnya datar.Gavin menatapnya sedikit ragu. Lalu ia berkata dengan suara pelan, seolah menahan godaan untuk tidak lancang. “Kalau boleh jujur… wanita it
Adrian mengecup ujung bibir Liora, sepintas dan cepat, karena dia tahu kamera masih mengintai mereka. Liora ingin marah tapi kaku. Matanya menatap Adrian dengan keterkejutan. Momen itu berlanjut begitu saja hingga Adrian memajukan mobilnya meninggalkan mal.Di dalam mobil, keheningan terasa begitu pekat. Liora masih terpaku, sentuhan singkat bibir Adrian masih terasa dingin di ujung bibirnya. Dia menatap lurus ke depan, berusaha menyembunyikan keterkejutan dan amarah yang sebenarnya sedang menguasainya. Apa dia benar-benar akan diam dan melakukan semuanya demi akting dan manipulasi seorang Adrian? Tangannya mengepal. Dia ingin marah, tapi kemarahan Adrian bisa lebih menghancurkannya.Adrian sendiri sesekali melirik Liora. Ada senyum tipis tersungging di bibirnya, senyum kepuasan karena rencananya berjalan mulus. Namun, ada kerlingan aneh di matanya, saat melihat Liora mengepalkan tangan.“Kau marah tentang yang tadi?” suara dingin itu menyapa.Liora tidak menatapnya dan tidak menjawab