LOGINBar Star.
Pesta ulang tahun malam itu diselenggarakan di sebuah ruang VIP. Karena tidak terlalu akrab dengan semua orang yang hadir, Renaria hanya duduk diam di samping June, meneguk minumannya seperti sedang minum air putih. June sedang asyik beradu minum dengan seorang pria, yang sepertinya adalah teman dekat dari si pemilik pesta ulang tahun itu. Sementara itu, pria yang duduk di sisi kiri Renaria tampak seperti seorang tukang bicara. Ia terus-menerus mengobrol tanpa henti, menanyai ini dan itu. Renaria mulai merasa jengkel, lalu mencari alasan asal-asalan untuk meninggalkan ruangan. Ketika ia berjalan melewati June, temannya itu bertanya, “Kau mau aku temani keluar?” Renaria bisa menebak, June sebenarnya ingin tetap di dalam bersama pria yang sedang menemaninya minum, jadi ia menolak dengan halus. Saat itu Renaria sudah sedikit mabuk; langkah kakinya pun mulai goyah. --- Marcell datang ke Star Bar untuk menemani seorang klien penting. Meskipun bar itu milik salah satu temannya, ia jarang datang ke tempat-tempat gemerlap seperti ini. Wanita yang mengelilinginya di luar sana sudah lebih dari cukup; datang ke bar yang penuh asap dan kebisingan begini terasa tidak menarik baginya. Ketika Marcell berjalan ke arah bar, matanya tertuju pada wajah yang familier, gadis yang tadi pagi dilihatnya di lift. Sekarang, ia mengenakan gaun gaya putri, tampak seperti boneka kecil. Gadis itu duduk di depan bar, benar-benar terlihat tidak sejalan dengan suasana disekitarnya. Di sampingnya ada seorang pria yang menatap dadanya dengan pandangan mesum, sementara ia sendiri sedang memegang segelas Margarita berwarna kuning pucat dan menyesapnya perlahan. Melihat tatapan Marcell yang terlihat melamun, sekretarisnya, Annq, mengikuti arah pandangannya dan juga melihat Renaria. “Presiden, itu kan gadis yang datang wawancara pagi ini. Anda kenal dengannya?” tanya Anna. Marcell menggeleng. “Tidak kenal.” Mereka kemudian masuk ke ruang VIP. Klien yang mereka temui malam itu adalah Tuan Smith. Sepanjang acara, pikiran Marcell melayang entah ke mana. Untung saja Annq yang mendampingi mereka pandai menemani minum, sehingga Tuan Smith tampak senang sepanjang malam. Bagaimanapun juga, Anna adalah seorang wanita cantik, ditemani wanita seperti itu, tentu siapa pun akan merasa gembira. Namun, pikiran Marcell tetap tertuju pada Renaria di luar sana. Yang ada di benaknya saat itu hanyalah, kalau gadis itu mabuk, pasti akan jadi sasaran empuk orang lain. Akhirnya ia tak tahan lagi. Tanpa peduli kontrak yang belum ditandatangani, ia bangkit dari tempat duduknya dan berkata, “Malam ini sampai di sini saja. Lain kali kita lanjutkan.” Tuan Smith melihat wajah dingin Marcell dan hanya tertawa kecil. Mereka sudah bekerja sama selama bertahun-tahun, jadi ia tahu betul kalau pria ini jarang menunjukkan ekspresi seperti itu. “Sepertinya pacar kecilmu membuatmu kesal, ya?” candanya. Anna ikut tersenyum. “Yang bisa membuat Presiden kita yang dingin dan elegan khawatir seperti ini, pasti bukan wanita biasa, bukan?” Dingin dan elegan... Marcell menatap tajam Anna, memperingatkannya agar tidak asal bicara, lalu keluar dari ruang VIP. Begitu keluar, ia melihat Renaria masih di tempat yang sama, hampir tak bisa duduk tegak, tubuhnya sudah lemas. Pria di sampingnya tampak sedang berusaha mendekatinya, bahkan tangannya yang kotor sudah mulai merangkul bahunya. Entah kenapa, Marcell merasa marah, seolah ada orang yang berani menyentuh barang miliknya. Rasa tidak nyaman itu membuatnya benar-benar kesal. Ia melangkah cepat ke arah Renaria, merebut gelas dari tangan gadis itu, lalu meneguk isinya sampai habis. Kemudian ia mengangkat gelas kosong itu dan menggoyangkannya di depan Renaria yang setengah sadar. “Sudah habis diminum,” katanya pelan, “sekarang, kita pulang.” Saat itu, Renaria mendongak, tersenyum konyol sambil berkata, “Siapa kamu? Mau bawa aku pulang buat apa?” Wajahnya polos dan manis, seperti anak kecil yang sedang minta permen. Mendengar itu, pria yang duduk di sebelahnya langsung tak bisa diam. Perempuan yang hampir jatuh ke pelukannya ini hendak direbut begitu saja, mana mungkin dia rela. Ia buru-buru menimpali, “Ya! Siapa kamu? Kenapa dia harus ikut kamu pulang?” Sambil berkata begitu, pria itu sudah melingkarkan tangannya di pinggang Renaria, seolah menantang Marcell. Wajah Marcell langsung menggelap. Ia menarik tangan pria itu dengan kasar, lalu menggamit Renaria ke sisinya. “Aku pacarnya.” Renaria langsung mengenalinya. Bukankah ini pria yang ia temui di lift pagi tadi? Ia tersenyum lebar, wajahnya penuh kegembiraan. “Jadi kamu!” Marcell tak mempedulikan pria di sebelah mereka, hanya mengangkat dagu Renaria dengan lembut dan berkata pelan, “Ya, aku.” Namun pria itu rupanya belum menyerah. Ia menarik pergelangan tangan Renaria sambil berkata, “Jangan pergi, kau masih harus minum denganku!” Begitu mendengar kata minum lagi, Renaria langsung semangat seperti tersengat listrik, berusaha melepaskan diri dari pelukan Marcell. Siapa sangka, tubuh mungil itu ternyata punya tenaga yang lumayan besar. Marcell sedikit menyipitkan mata, menatap wajah merah merona Renaria yang seperti apel kecil. Ia menunduk dan menutup bibir gadis itu dengan ciumannya. Rasa manis, bercampur aroma anggur merah, langsung memenuhi udara. Itu adalah ciuman pertama Marcell, dan entah mengapa, ia merasa sulit menghentikannya, ingin mencium lebih dalam lagi. Namun, bukan sekarang. Ia hanya mengecup lembut bibir Renaria, lalu berkata lembut, “Manis kecil, dengar ya, kita pulang dulu. Nanti baru lanjut minumnya.” Renaria menelan ludah pelan dan menjawab samar, “Oh...” Sebenarnya, dia sudah mengantuk dan ingin tidur. Sementara itu, pria yang ditinggalkan hanya bisa mengutuk nasibnya. Ia sudah mengeluarkan banyak uang malam ini demi Renaria, tapi akhirnya tetap gagal mendapatkan apa pun. Gadis di pelukan Marcell kini setengah bergantung di tubuhnya, seperti seekor koala kecil, gemas tapi ceroboh. Tubuhnya terlalu mungil, selain pipinya yang bulat dan lembut, bagian tubuh lainnya tampak kecil dan rapuh. Marcell khawatir kalau sedikit saja ia menggunakan tenaga, gadis itu akan merasa sakit. Ia menahan tubuh Renaria dengan satu tangan, sambil berpikir, harus dibawa ke mana sekarang? Membawanya pulang? Tapi ia tak tahu di mana rumahnya. Kalau tidak dibawa pulang, Apakah ia tega membiarkan gadis mabuk ini tidur di jalan? Ia mengerutkan kening, lalu menepuk lembut kepala gadis itu. “Hey, bocah kecil, rumahmu di mana?” Walau mabuk, Renaria masih bisa merasakan sakit. Ia langsung menatapnya dengan kesal dan bergumam pelan, “Jangan pukul kepalaku, nanti jadi bodoh.” Ia cegukan kecil, lalu mendekatkan wajahnya ke Marcell, menatap lekat-lekat dan berkata, “June, kok wajah kamu berubah?” Marcell hanya bisa menatap wajah mungil itu yang kini sangat dekat dengannya. Sejujurnya, tak peduli pakaian apa yang dikenakan Renaria, ia selalu tampak seperti boneka kecil. Namun malam ini, gaun putih bergaya putri yang dipakainya membuatnya terlihat makin manis, seolah diukir dari giok. Rambut panjangnya terurai sampai pinggang, kulitnya seputih salju dan tampak begitu lembut. Matanya yang setengah terbuka memberi kesan setengah sadar setengah terlelap. Marcell biasanya tidak pernah mengulangi ucapannya. Namun kali ini, menghadapi gadis kecil di hadapannya, ia benar-benar menyerah. Ia mendesah dalam hati. Meski gadis ini bicara dua kalimat penuh, semuanya tidak nyambung sama sekali. Ya Tuhan...Kekuatan genggaman Marcell terlalu besar hingga membuat lengan Renaria terasa nyeri.Wajah mungil Renaria mengerut kesakitan, ia berusaha melepaskan diri.“Kamu mau bangun sendiri, atau harus aku cium dulu baru kamu mau bangun?”Marcell menatap wajah Renaria sambil mengucapkan ancaman itu.“Tidak mau!” Karena lengannya sakit, Renaria pun mulai kesal. Ia membalas dengan nada keras, menolak untuk mengalah.Sejak kecil, bahkan Ayah dan Ibunya tidak pernah memarahinya.Semakin ia memikirkannya, semakin terasa perih di hatinya. Kenapa lelaki itu begitu galak padanya, bahkan berulang kali mengancam? Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.Marcell yang melihat air mata di sudut mata Renaria tiba-tiba menjadi panik.Awalnya, ia hanya berniat menakut-nakuti gadis itu. Tak disangka, gadis kecil itu malah benar-benar menangis.Entah mengapa, Melihat tangisannya membuat hatinya terasa lembut dan hangat.Ia menyesal sudah memarahinya barusan.Dengan lembut, Marcell mengusap air mata di wajah
Wajah Renaria semakin memerah, suaranya terdengar penuh amarah.“Siapa yang mengizinkanmu menciumku!”Marcell tahu, gadis kecil di depannya ini sedang malu.Terus terang, aroma tubuhnya sungguh memikat—lembut, manis seperti es krim vanila.Bukan seperti wanita lain yang selalu diselimuti bau parfum menyengat.Seandainya gadis kecil itu tidak menggigitnya sampai sakit, mungkin ia belum akan melepaskannya.Namun sekarang, si kucing kecil itu sudah menunjukkan cakarnya.Kalau ia terus menekan lebih jauh, mungkin benar-benar akan menakuti si kecil ini.Jadi, Dia dengan santai ia menggesekkan kartu akses di pintu.Bip!“Selama kau belum memberiku Seratus lima puluh ribu dollar, kau harus tetap tinggal di Grup Imperial.”Marcell mengelus kepala Renaria pelan, nada suaranya terdengar lembut namun tetap mengandung peringatan.Renaria dengan jengkel menepis tangannya.Marcell malah melangkah lebih dekat, mendekat ke arahnya.Renaria segera mundur satu langkah, menempel ke pintu seperti hendak
Yakup membuka pintu dan membiarkan Renaria masuk sendiri.Karena Yakup tidak ikut masuk, Renaria merasa agak gugup. Setiap langkahnya ia ambil dengan hati-hati.Dekorasi di dalam ruangan itu jauh lebih mewah. Ada jendela besar dari lantai hingga ke langit-langit, karpet hitam, dan sebuah layar putih raksasa.Renaria merasa seolah dirinya melangkah ke dunia yang hanya memiliki dua warna, hitam dan putih.Ia pernah mendengar, orang yang hanya menyukai warna hitam dan putih biasanya adalah orang kolot. Terbayang olehnya wajah pria di dalam lift tempo hari, datar dan kaku, memang benar-benar seperti orang kuno.Begitu melangkah lebih jauh, ia melihat meja kerja dari kayu hitam pekat. Di sampingnya, sebuah kursi tinggi berwarna hitam menghadap membelakanginya.“Permisi, saya karyawan baru, Renaria,” ucapnya sopan saat tiba di depan meja kerja itu.Kursi tinggi itu perlahan berputar, memperlihatkan sosok pria yang hari itu ia lihat di dalam lift.Dialah atasannya yang baru, Marcell. Ia bers
Meskipun sebenarnya tidak begitu menyukai Celina, Renaria tetap menyapa dengan ramah.Namun, Celina yang angkuh itu hanya melirik sekilas dan sama sekali tidak menanggapi. Bahkan, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, seolah-olah Renaria hanyalah udara.Benar-benar wanita yang sombong, pikir Renaria.Ia memang tidak suka bergaul dengan orang seperti itu, tipe yang selalu menjadikan dirinya pusat segalanya, merasa diri paling hebat, dan memandang rendah orang lain.Ketika Celina tidak menanggapi sapaan itu, Yakup, yang baru keluar dari kantor, justru tersenyum ramah dan menyapa Renaria.“Wah, ini dia kerabat jauhnya Presiden kita,” gumam beberapa karyawan yang melihatnya.Sejak kemarin, Yakup memang masih bertanya-tanya tentang hubungan antara Renaria dan Marcell.Akhirnya, Yakup menyimpulkan sendiri: Mungkin saja dia kerabat jauhnya Presiden.Melihat Yakup menyapa Renaria begitu ramah, hati Celina jadi tidak tenang.Namun Yakup sama sekali tidak menoleh padanya, hingga Celina dengan
Turun dari bus, masih harus berjalan sekitar lima belas menit lagi untuk sampai ke Gedung Komersial Imperial.Karena waktu sudah hampir menunjukkan pukul sepuluh, dan ia takut terlambat, Renaria mempercepat langkahnya.Saat menyeberang jalan, lampu hijau baru saja berubah menjadi merah. Sebuah mobil melaju lurus ke arahnya dengan kecepatan tinggi.Mobil itu melaju sangat cepat. Ketika sopirnya melihat Renaria, ia bahkan sempat membunyikan klakson berkali-kali.Saat berusaha menghindar, Renaria malah menginjak udara kosong dan jatuh di trotoar.Waktu itu, jalanan tidak terlalu ramai.Tubuhnya terhempas keras hingga kepalanya terasa berputar, bahkan kacamatanya jatuh dan pecah di atas aspal.Untungnya, ia masih selamat. Hanya saja, lututnya sedikit lecet dan terasa perih.Mobil itu pun berhenti di depan.Seorang pria paruh baya yang mengenakan kacamata hitam turun dari kursi pengemudi. Dagu pria itu terangkat tinggi, dengan ekspresi penuh kesombongan.Melihat Renaria terjatuh di tanah,
Dari kejauhan, June sudah melihat Renaria berdiri di bawah gedung rumahnya.Tubuh Renaria tampak sangat kurus, seolah bisa tertiup angin dan terbang begitu saja.June memarkir mobilnya, lalu turun sambil membawa sekantong besar barang.Renaria tidak terlalu memperhatikan apa yang dibawa June.Rumah Renaria berada di lantai tiga.Saat mereka menaiki tangga, suasana terasa sunyi.Keduanya sama-sama berpikir, bagaimana harus memulai pembicaraan agar suasana tidak canggung saat membahas kejadian semalam.June naik ke atas sambil menghitung anak tangga. Setiap lantai ada sebelas anak tangga, jadi ketika hitungannya sampai tiga puluh.Bagaimanapun juga, seseorang harus lebih dulu membuka mulutnya.Namun, ketika hitungannya baru sampai dua puluh, Renaria lebih dulu berbicara.“June, semalam aku benar-benar tidak apa-apa. Aku hanya mabuk, lalu tertidur lama begitu sampai di rumah.”June tidak menjawab.“June, kau tahu tidak, besok aku sudah bisa mulai bekerja.”Saat mengatakan itu, wajah Rena







