"Boleh melihat, maksud, Om?"
Saking terkejutnya, Eka sampai terperanjat bangun. Kini pandangnya dan Mahardika saling bertemu dalam garis lurus.Semula tersulut emosi, kini terkesan canggung karena baru sadar jarak yang tercipta hanya beberapa sentimeter saja.Mahardika tertawa kecil, "kamu itu, memang polos, Dek." Dia menekan kening Eka, hingga sedikit terdorong."Apa yang kamu pikirkan? Kamu mau lihat punya saya sekarang?" godanya kemudian.Eka yang gelagapan buru-buru berbalik badan, menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah."Dih, Om kegeeran. Siapa juga yang mau lihat? Udah lah, aku ngantuk. Mau tidur aja," kata Eka mengelak, lalu mengayunkan kakinya menjauh dari Mahardika.Dia bisa gila dan lepas kendali, jika terus disudutkan seperti ini.Mahardika melipat kedua tangannya di dada, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Astaga ... Dia sangat menggoda dan menggemaskan. Pantas saja, kakek sangat menyukainya," gumamnya dan menyentuh kening dengan sebelah tangan. Menertawakan tingkah polos dan gengsi sang istri.Setelah puas tertawa, Mahardika pun menyusul Eka."Kamu ngapain, Dek?"Eka sedang sibuk menepuk-nepuk sofa dan merapikan bantal. Sepertinya sudah siap untuk tidur."Aku enggak mau tidur satu ranjang sama Om. Jadi, aku tidur di sofa aja lebih aman," jawab Eka, kemudian duduk dan menutupi tubuhnya dengan selimut.Kening Mahardika semakin mengerut tajam, "kamu jangan ngawur, Dek. Nanti, kalau orang tua kita tahu kamu tidur di sofa, apa kata mereka?"Dia sedikit meninggikan suaranya, yang semula gemas, kini seperti orang kesal."Om tenang saja. Mereka enggak akan tahu. Selama Om diam." Eka menjawabnya entang.Mahardika tidak bisa diam begitu saja, terlebih lagi ini menyangkut kebahagiaan seseorang."Ayo ikut, saya!" Mahardika menarik tangan Eka. Menggenggamnya sangat kuat, sehingga membuat Eka tidak nyaman.Apa-apa tarik tangan. Sedikit-sedikit ditarik. Memangnya ia kambing? Eka menggerutu dalam hatinya."Om, lepasin aku!" rengek Eka, cuma bisa pasrah. Mengingat, sangat sulit menaklukkan Mahardika."Duduk kamu!" perintah Mahardika.Eka duduk di tepi ranjang, melipat kedua tangan di dada, menggembungkan pipinya dan membuang pandangan ke sisi berbeda. Wajahnya cemberut kesal.Mahardika menghela napas panjang, lalu duduk berjongkok dan menatap manik zahel sang istri."Saya mohon, tatap mata saya," pinta Mahardika lembut. Namun, Eka tak menggubrisnya."Enggak mau! Memangnya ada apa di mata, Om? Paling juga belek," celetuknya asal kena.Ada gelak tawa yang hadir dari ucapannya sendiri. Eka menahan senyumannya, tapi tak berselang lama ia kembali memasang wajah cemberut.Mahardika membuang napas panjang. Beginilah jika menghadapi wanita yang sedang ngambek."Saya tahu, kamu tidak mau tidur satu ranjang bukan? Alasannya karena takut disentuh oleh saya. Tanpa kamu mengatakannya, saya sudah mengerti. Sikap kamu telah menjelaskan segalanya."Mahardika menyusun kata demi kata dengan bahasa yang sopan dan nada suara lembut. Sedangkan Eka, masih mempertahankan gengsinya yang tinggi.Mendapati sang istri yang masih kekeh dengan sifat keras kepalanya, Mahardika pun tersenyum kecil sembari menghela napas panjang dari waktu ke waktu."Baiklah. Saya akan berkata sesuatu dan kamu harus mendengarkannya karena saya tidak akan mengulanginya. Kamu mengerti?"Eka mengerakkan kepalanya satu arah, "kalau Om mau ngomong, ya ngomong aja. Enggak usah pake basa basi segala."Itulah kalimat yang keluar dari mulut gadis yang kini berstatus istri orang itu. Sangat ketus. Tidak ada lembutnya sama sekali, tapi apa yang Mahardika berbuat? Dia tidak membalasnya menggunakan kekerasan pisik, melainkan ditanggapi dengan senyuman, yang mampu meredam emosi Eka untuk sesaat."Dengarkan baik-baik kalimat ini. Saya berjanji tidak akan meminta hak saya, bilamana kamu tidak mengizinkannya. Saya akan menunggu sampai kamu benar-benar siap, menerima saya dengan sepenuh hati dan keikhlasan. Saya tahu, sebenarnya kamu tidak menginginkan pernikahan ini terjadi. Namun, kamu tetap menerima pernikahan ini demi kebahagiaan ayahmu."Eka termangu. Kalimat kali ini sungguh menggetarkan hatinya. Ia merasakan sengatan listrik bertegangan tinggi menyambar tubuhnya dalam beberapa detik.Ekor matanya melirik Mahardika yang masih duduk berjongkok sembari memasang wajah datar, tapi ada sedikit senyuman terukir di sana."Ah, sudahlah. Aku mau tidur. Udah ngantuk banget."Eka pun beranjak bangun. Ada rona merah di pipinya yang coba ia sembunyikan. Mahardika menangkap bahwa istrinya sedang salah tingkah sekarang. Dikarenakan gengsinya yang tinggi, ya seperti inilah jadinya.Eka pun berbaring di pinggir ranjang, lalu menari selimut menutupi tubuhnya. Hanya kepala saja yang terlihat.Mahardika masih betah di posisinya, memandangi sang istri yang sudah terpejam. Dia tahu, kalau Eka sebenarnya belum tidur, hanya pura-pura demi menutupi rasa malunya."Ya sudah kalau begitu, selamat tidur, Dek," ucap Mahardika, kemudian berjalan menjauh dari ranjang.Mahardika melihat jam di sudut sana. Ternyata sudah pukul 03:30. Tidak terasa, berdebat dengan Eka, memakan waktu tiga puluh menit.Mahardika duduk di sofa yang sebelumnya akan ditempati Eka. Sebenernya ia merasa sangat lelah.Benar kata orang, setelah menikah pasti badan terasa pegal-pegal seperti menahan beban ratusan kilogram.Mahardika memainkan ponselnya beberapa menit, sebelum akhirnya merebahkan tubuhnya di sofa. Perlahan-lahan rasa kantuk pun menyerang. Tanpa berlama-lama lagi, Dika pun pergi menyapa mimpi.Sementara itu, Eka masih kesulitan untuk tidur. Matanya masih terjaga padahal ia sudah sangat mengantuk.Eka berbalik badan. Sungguh! Ucapan suaminya masih terngiang-ngiang. Ia tidak habis pikir, Mahardika memperlakukannya sangat lembut sampai ia kehabisan kata-kata.Setelah berhasil mengendalikan pikirannya, Eka baru sadar kalau Mahardika ternyata tidak tidur di ranjang."Kemana dia?" Eka beranjak bangun dan menyibak selimutnya. Tak pakai lama, ia pun turun dari ranjang.Baru beberapa langkah, Eka pun tertegun. Hatinya tersentuh begitu dalam, ketika mendapati sang suami yang tertidur pulas di atas sofa.Inikah laki-laki yang menurutnya kasar dan tidak memiliki kepedulian terhadap wanita? Benarkah yang dikatakan banyak orang soal suaminya di luaran sana?Eka mengayunkan kakinya kembali setelah terdiam kurang dari satu menit. Dia menghampiri Mahardika. Apa yang terjadi selanjutnya?Ya. Eka menarik selimut yang tertindih oleh kaki suaminya, lalu Eka menyelimuti tubuh Mahardika. Perlakuannya memang berbanding terbalik dengan yang tadi. Sekarang ia begitu lembut dan dewasa.Eka tersenyum tipis, sebelum akhirnya melenggang pergi tanpa kata."Maafin, aku ya, Ayu. Aku minta Eka untuk ajak kamu ke sini," ungkap Ar seraya menghela napas berat.Ar mengajak Ayu untuk berjalan-jalan santai, menelusuri keramaian di pameran. Hembusan angin malam dan kencangnya musik di sana, menambah kesan romantis bagi dua insan yang sedang mabuk asmara. "Iya, Aa. Enggak apa-apa. Ayu paham kok, apa yang Aa rasakan. Soalnya Ayu pun, merasakan hal yang sama, yang mungkin Aa rasakan sekarang."Seketika itu juga, Ar menghentikan langkahnya. Dia berdiri menatap calon istrinya itu. Keduanya berdiri telah di depan komedi putar. "Kamu mau tahu enggak, Yu. Sebenarnya apa yang aku rasakan sekarang?"Gadis cantik itu berpikir keras. Beberapa detik berselang, dia menggeleng cepat. "Tidak tahu! Ayu kan, bukan cenayang yang bisa membaca isi pikiran Aa," jawabnya sedikit bercanda.Ar pun merasa gemas dibuatnya. Terasa ketegangan itu, seakan berangsur hilang. Kendati demikian, Ar masih merasa gugup. Memikirkan hari H, yang tinggal menghitung jari, membuatnya
TUJUH HARI MENUJU HARI H.Eka sekeluarga sudah berada di Bandung, sebab resepsi pernikahan akan diadakan di Bandung, di tempat mempelai wanita.Persiapan sudah hampir selesai, surat undangan pun telah disebarkan. Acaranya akan digelar di rumah Ayu. "Ayolah, Dek. Bantu kakak!" mohon Ar dengan sungguh-sungguh sambil menarik-narik tangan Eka supaya mau membantunya."Kenapa harus aku yang datang ke rumahnya Teh Ayu? Kenapa enggak Kak Ar aja yang ke sana? Kak Ar yang punya urusan, bukan aku!" Eka menolaknya tegas seraya menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Arkana."Ayolah, Dek! Kali ini aja bantu aku, Dek. Soalnya aku enggak berani datang ke rumahnya Ayu," ungkap Ar ragu-ragu."Enggak berani kenapa, Kak?" Eka melotot dan berkacak pinggang. Dia menatap heran, bisa-bisanya Kak Ar tidak berani datang ke rumah Ayu, padahal sebentar lagi ia akan menjadi suaminya Ayu. Ar diam, kemudian membuang napas panjang. "Kalau aku yang ke sana, pastinya enggak dibolehin buat ketemu Ayu. Aku ma
"Dim, gue tau. Lu bukan cowok brengsek kayak di luaran sana. Lu cowok setia. Sebenarnya lu bukannya enggak tertarik sama cewek, tapi lu takut ... Apa yang pernah lu alami dulu sama Lia, terulang lagi."Ar beranjak bangun dari tempat duduknya, sementara Dimas langsung mendongak, ketika nama 'Lia' lolos dari mulut Ar begitu saja.Dimas merasakan gendang telinganya ingin pecah, saat Ar mengulik kembali masa lalunya."Lu cinta banget kan sama si Lia, sayangnya tuh cewek malah selingkuh. Akhirnya melakukan hubungan terlarang dan si Lia hamil."Dimas menahan diri untuk tidak meledak-ledak. Namun, dia mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Ada gejolak hebat, mengaduk-aduk di rongga dadanya.Kisah masa lalu, yang tidak akan pernah Dimas lupakan sampai kapan pun juga. Sekaligus menjadi, titik awal dirinya enggan mendekati wanita."Lia tuh cewek enggak bener, Dim. Buktinya, setelah ketahuan selingkuh, enggak lama kemudian dia hamil. Apa itu disebut cewek baik-baik, Dim?""Tuhan, lebih sayang sa
"Om, aku pengen minum kopi dingin," pinta Eka memelas, seraya melepaskan pelukannya dan sorot mata berbinar-binar. Dika mengerutkan keningnya. "Kopi dingin?" Kurang paham dengan apa yang diinginkan Eka. "Iya, Om. Kayaknya seger gitu, pagi-pagi ngopi dingin," jawabnya enteng seraya cengengesan seperti bocah yang ingin dibelikan es krim."Tidak boleh!" tegas Dika, setelah tahu niat sang istri. "Kenpaa enggak boleh, Om? Aku pengen minum kopi dingin." Eka sedikit memaksa. "Jangan kebanyakan minum es, Dek. Nanti radang tenggorokan," ungkap Dika mengingatkan. Namun, bukan Eka kalau langsung menyerah."Dikit aja, Om. Ya ... Suamiku yang ganteng, manis dan baik hati," bujuknya disertai rayuan maut."Tidak boleh, tetap tidak boleh! Meskipun sedikit atau banyak, tetap saja tidak boleh!" ucap Dika dengan tegas. Sekali dia mengambil keputusan, tidak bisa diganggu gugat. Saat ini, apa pun yang Eka konsumsi harus diperhatikan dengan baik. Tidak bisa asal pilih. "Ah, Om mah jahat. Padahal cuma
Hari berikutnya. Pagi yang cerah pun telah menyapa. Dika dan Eka bersiap untuk pergi jalan-jalan, menikmati hari yang penuh bahagia itu. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, keduanya harus berhenti di halaman depan.Di sana, sosok pemuda dua puluh lima tahun, berdiri gagah di samping motor sportnya. Baik Dika maupun Eka sudah tidak asing lagi dengan pemuda tersebut. Dialah yang kemarin membonceng Eka hingga ke rumah ini."Mau apa lagi, kamu datang ke sini?" Belum apa-apa, Dika sudah tersulut emosi. Dia mempercepat langkahnya, menghampiri pemuda itu. Mengikis jarak di antara keduanya.Eka tampak panik, lantaran tidak biasanya sang suami, bersikap demikian kepada orang baru."Om, tunggu dulu!" Eka mencoba menahannya. Namun, Dika sudah lebih dulu menarik kerah baju Dimas. "Ngapain lagi kamu datang ke sini, ah? Apa tidak cukup, kamu memukul wajah saya?" Dika berdengus kesal. Dia meninggikan suara dan menatap tajam lawan bicaranya.Alih-alih merasa takut, Dimas malah tersenyum kecil, seo
Di tempat terpisah. Masih di hari yang sama. Dimas pun sudah sampai di kosannya, setelah mengantar Eka pulang ke rumah.Dimas merebahkan tubuhnya di atas kasur lantai yang ukurannya muat untuk satu orang saja.Dia menatap langit-langit kamar kosannya yang sederhana. Hanya lampu LED menjadi penerang di ruangan ini.Dalam diamnya, Dimas kembali membayangkan, momen saat Eka memeluk pinggangnya sangat erat. Meskipun sudah berlalu beberapa jam. Akan tetapi, kesan dari pelukan itu, masih sangat terasa hingga detik ini.Selama perjalanan, Eka memang tidak mengatakan sepatah kata pun. Namun, Dimas bisa merasakan, kalau Eka saat itu sangat ketakutan. "Kira-kira, kenapa ya, dia tadi?" Dimas pun bergumam dan bertanya-tanya. Masalah apa yang sedang Eka hadapi, sehingga membuatnya sangat ketakutan seperti itu? Mungkinkah semua ini menyangkut pria yang dikatakannya sebagai 'Penculik' itu?Dimas menerka dan menebak kemungkinan yang ada. Namun, dia tidak sepenuhnya yakin dengan dugaan yang ada di d