Beberapa jam berikutnya. Lebih tepatnya pukul 08:00 WIB.
Pintu kamar pun ada yang mengetuk. Mahardika kebetulan sudah bangun pun, lantas mengayunkan kakinya menuju pintu. Penasaran, siapa yang pagi-pagi sudah datang bertamu."Iya, sebentar." Suaranya tidak terlalu besar karena takut akan membangunkan Eka, yang masih terlelap dalam mimpi.Mahardika menggenggam kenop pintu, kemudian menariknya dan pintu pun terbuka."Bunda?" katanya setengah terkejut."Kamu sudah bangun, Sayang? Bunda ganggu kamu ya?" tanya Annata ragu."Enggak kok, Bun. Ada apa Bunda datang? Masih pagi ini loh, Bun.""Mana Eka? Dia belum bangun ya?" Annata melayangkan pertanyaan lain."Iya, Bunda. Sepertinya dia sangat kelelahan. Jadi, belum bangun deh. Memangnya kenapa, Bunda?" Kening Mahardika sedikit mengerut.Annata terkekeh geli, "heum, tidak perlu dibangunkan. Biarkan dia tidur. Pasti dia capek setelah ... Ehem."Wanita lima puluh tahun itu, tak melanjutkan kalimatnya. Dia menutupi mulutnya dengan sebelah tangan."Ehem ... Apa Bunda? Kalau ngomong tuh yang jelas, Bun. Jangan bikin Dika penasaran.""Astaghfirullah, kamu ini. Masa si gitu aja enggak ngerti? Kamu ya, masih aja pura-pura polos."Annata geleng-geleng kepala dan menertawakan putra semata wayangnya itu, meskipun sudah menikah, tetap terlihat lucu."Ah, Bunda, apaan si?" tanya Mahardika malu-malu.Semula ia memang tidak mengerti, tapi akhirnya ia paham apa yang dimaksudkan Annata. Wajahnya sedikit merona dan terlihat sangat lucu di mata wanita yang telah melahirkannya itu."Kamu ya. Awalnya, selalu menolak untuk menikah, tapi setelah sah, malah kamu semangat banget. Sampai Eka kewalahan tuh," goda Annata lagi sambil mencubit pinggang Mahardika.Mahardika pun ingin menanggapi hal tersebut dengan jujur. Namun, ia mengurungkan niatnya lantaran harus menjaga kerahasian rumah tangannya.Mahardika membiarkan bundanya berfantasi dengan pikirannya sendiri."Ya sudah, masuk sana. Nanti Eka bangun terus cari kamu gimana? Jangan biarkan dia merasa kesepian.""Iya, Bunda." Mahardika mengangguk dan sedikit tersenyum.Setelah berkata demikian, Annata pun lantas melenggang pergi dari kamar sang pengantin baru. Membiarkan keduanya merajut cinta sebagaimana mestinya.Mahardika pun menutup kembali pintu kamar. Selanjutnya berjalan menuju tempat tidur. Dia tersenyum kecil sebab Eka masih terlelap di sana.Mahardika memperhatikan Eka dari kejauhan sambil melipat kedua tangan di dada. Dia senyum-senyum sendiri, ketika mengingat kejadian semalam. Betapa menggemaskannya ekspresi Eka ketika sedang merajuk.Pipinya yang sedikit chuby, lalu mengembung lantaran merasa kesal itu, terlihat sangat lucu. Bulat seperti kue bakpao. Mungkin jika disentuh akan membal dan kenyal.Memikirkannya membuat Mahardika tertawa kecil.Ketika asyik dengan pikirannya sendiri, Mahardika melihat posisi tidur Eka yang berubah. Semula menghadap kemarin, kini berputar ke arah sebaliknya.Kebetulan Mahardika membuka jendela kamar supaya cahaya matahari dapat masuk. Saat itulah, Mahardika melihat Eka yang sedikit terusik dengan cahaya tersebut.Buru-buru Mahardika berlari ke arah jendela dan segera menarik gorden. Sehingga cahaya matahari tidak lagi masuk ruangan.Mahardika bernapas lega, ketika melihat Eka yang masih tertidur pulas. Kemudian, dia menatap kembali sang istri dengan lekat.Diperhatikan kembali Eka yang masih terpejam. "Dia cantik saat tidur." Kalimat pujian itu, lolos begitu saja dari mulutnya.Belum selesai dia memandang sang istri, tiba-tiba Eka membuka matanya perlahan-lahan. Mahardika pun gelagapan dibuatnya.Astaga ... Sampai Eka melihatnya sedang berdiri di sana, mungkin mulutnya yang lemes itu, akan berceloteh sembarangan.Mahardika buru-buru pergi ke sofa, lalu duduk di sana. Berpura-pura memainkan ponsel. Sementara itu, Eka pun sudah membuka matanya lebar-lebar dan tersadar kemudian.Dia langsung duduk setelah melihat jam dinding, yang menunjukkan pukul delapan lewat lebih.Eka melihat sekelilingnya dan mencari keberadaan Mahardika. Ternyata sedang duduk di sofa.Eka turun dari tempat tidur dan bergegas menghampiri sang suami."Kenapa Om, enggak bangunin aku?" tanyanya dengan nada kesal.Mahardika mengangkat kepalanya, lalu mematikan ponsel yang hanya digenggamnya itu. Memasang wajah polos, seolah tidak tahu apa-apa."Iya, karena saya tidak tega membangunkan kamu. Saya lihat, kamu tidurnya nyenyak sekali," jawab Mahardika santai.Eka menghentakkan kakinya beberapa kali, "ah, Om mah gitu. Seharusnya Om bangunkan aku tadi. Aku enggak enak sama bunda karena bangun kesiangan. Nanti, yang ada aku dianggap menantu malas."Mahardika menaikkan sebelah alisnya, "maksud kamu?" tanyanya keheranan."Aduh Om, masa gitu aja enggak paham si? Itu loh, aku sering baca novel di aplikasi hijau. Kalau menantu seharusnya bangun pagi-pagi, terus beres-beres rumah. Bikin sarapan buat suaminya, terus apa lagi ya? Aku lupa, tapi ah. Aku kesiangan karena Om Dika."Dia mengomel dan menyalahkan suaminya untuk hal sepele.Mahardika yang gemas pun geleng-geleng kepala, lalu beranjak bangun dan menyentuh kening istrinya dengan jari telunjuk. Sedikit ditekan."Kamu itu, terlalu banyak baca novel rumah tangga. Terlebih lagi, kamu sepertinya masih terjebak dalam dunia mimpi, sehingga bicaranya ngalor ngidul."Dika melipat kedua tangannya di dada. Ada sedikit senyuman di wajahnya. Sejujurnya ia ingin tertawa, tapi takut Eka semakin mengomel."Heum, Om mah, enggak ngerti perasaan aku si. Aku takut Bunda marah karena aku bangun kesiangan."Eka kembali mengungkapkan kegelisahan hatinya dan lagi-lagi membuat Mahardika geleng-geleng kepala."Tadi Bunda udah ke sini ...""Terus apa kata Bunda? Bunda pasti marah karena aku belum bangun."Eka begitu panik, sangat panik malah. Sampai tidak bisa berpikir jernih. Sebelum pernikahan, dia sudah belajar bagaimana menjadi menantu yang baik dari membaca novel dan searching di beberapa web."Bunda enggak bilang apa-apa. Dia cuma tanya apa kamu sudah bangun atau belum. Ya, saya kasih tahu saja kalau kamu belum bangun."Mahardika sedikit memainkan intonasi suara serta kalimatnya, sehingga Eka yang mendengarnya semakin gelagapan."Terus apa kata Bunda? Apa Bunda marah?"Duh lucunya Eka saat panik. Bukan sedang ngambek saja ia terlihat imut, saat sedang gelisah pun terlihat menggemaskan. Mahardika pun membatin."Sudah saya katakan, Bunda tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak marah apa lagi mengomel. Bunda terlihat sangat senang karena kamu tidurnya nyenyak."Eka pun seketika merasa ngebleng. Dia menelaah kembali ucapan suaminya. Benarkah ibu mertuanya itu bersikap demikian?Melihat Eka yang diam, Mahardika pun merasa iba. "Sudah, jangan kamu pikirkan. Jangan samakan Bunda dengan mertua di novel-novel online. Bunda bukanlah ibu mertua jahat atau nenek sihir seperti yang digambarkan dalam dunia fiksi. Bunda adalah wanita yang menyayangi anak-anaknya," ucap Mahardika sambil mengerjapkan matanya.Setelah mendengar perkataan itu, Eka pun bernapas lega dan tersenyum lebar."Ah, syukurlah, aku mendapatkan ibu mertua yang baik." Eka pun duduk di sofa sambil membuang napas panjang.Hatinya merasa plong sekarang.Mahardika menatap kembali sang istri. Dia tersenyum sumringah, sekaligus bersyukur karena dipertemukan dengan wanita yang tulus dan juga polos."Maafin, aku ya, Ayu. Aku minta Eka untuk ajak kamu ke sini," ungkap Ar seraya menghela napas berat.Ar mengajak Ayu untuk berjalan-jalan santai, menelusuri keramaian di pameran. Hembusan angin malam dan kencangnya musik di sana, menambah kesan romantis bagi dua insan yang sedang mabuk asmara. "Iya, Aa. Enggak apa-apa. Ayu paham kok, apa yang Aa rasakan. Soalnya Ayu pun, merasakan hal yang sama, yang mungkin Aa rasakan sekarang."Seketika itu juga, Ar menghentikan langkahnya. Dia berdiri menatap calon istrinya itu. Keduanya berdiri telah di depan komedi putar. "Kamu mau tahu enggak, Yu. Sebenarnya apa yang aku rasakan sekarang?"Gadis cantik itu berpikir keras. Beberapa detik berselang, dia menggeleng cepat. "Tidak tahu! Ayu kan, bukan cenayang yang bisa membaca isi pikiran Aa," jawabnya sedikit bercanda.Ar pun merasa gemas dibuatnya. Terasa ketegangan itu, seakan berangsur hilang. Kendati demikian, Ar masih merasa gugup. Memikirkan hari H, yang tinggal menghitung jari, membuatnya
TUJUH HARI MENUJU HARI H.Eka sekeluarga sudah berada di Bandung, sebab resepsi pernikahan akan diadakan di Bandung, di tempat mempelai wanita.Persiapan sudah hampir selesai, surat undangan pun telah disebarkan. Acaranya akan digelar di rumah Ayu. "Ayolah, Dek. Bantu kakak!" mohon Ar dengan sungguh-sungguh sambil menarik-narik tangan Eka supaya mau membantunya."Kenapa harus aku yang datang ke rumahnya Teh Ayu? Kenapa enggak Kak Ar aja yang ke sana? Kak Ar yang punya urusan, bukan aku!" Eka menolaknya tegas seraya menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Arkana."Ayolah, Dek! Kali ini aja bantu aku, Dek. Soalnya aku enggak berani datang ke rumahnya Ayu," ungkap Ar ragu-ragu."Enggak berani kenapa, Kak?" Eka melotot dan berkacak pinggang. Dia menatap heran, bisa-bisanya Kak Ar tidak berani datang ke rumah Ayu, padahal sebentar lagi ia akan menjadi suaminya Ayu. Ar diam, kemudian membuang napas panjang. "Kalau aku yang ke sana, pastinya enggak dibolehin buat ketemu Ayu. Aku ma
"Dim, gue tau. Lu bukan cowok brengsek kayak di luaran sana. Lu cowok setia. Sebenarnya lu bukannya enggak tertarik sama cewek, tapi lu takut ... Apa yang pernah lu alami dulu sama Lia, terulang lagi."Ar beranjak bangun dari tempat duduknya, sementara Dimas langsung mendongak, ketika nama 'Lia' lolos dari mulut Ar begitu saja.Dimas merasakan gendang telinganya ingin pecah, saat Ar mengulik kembali masa lalunya."Lu cinta banget kan sama si Lia, sayangnya tuh cewek malah selingkuh. Akhirnya melakukan hubungan terlarang dan si Lia hamil."Dimas menahan diri untuk tidak meledak-ledak. Namun, dia mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Ada gejolak hebat, mengaduk-aduk di rongga dadanya.Kisah masa lalu, yang tidak akan pernah Dimas lupakan sampai kapan pun juga. Sekaligus menjadi, titik awal dirinya enggan mendekati wanita."Lia tuh cewek enggak bener, Dim. Buktinya, setelah ketahuan selingkuh, enggak lama kemudian dia hamil. Apa itu disebut cewek baik-baik, Dim?""Tuhan, lebih sayang sa
"Om, aku pengen minum kopi dingin," pinta Eka memelas, seraya melepaskan pelukannya dan sorot mata berbinar-binar. Dika mengerutkan keningnya. "Kopi dingin?" Kurang paham dengan apa yang diinginkan Eka. "Iya, Om. Kayaknya seger gitu, pagi-pagi ngopi dingin," jawabnya enteng seraya cengengesan seperti bocah yang ingin dibelikan es krim."Tidak boleh!" tegas Dika, setelah tahu niat sang istri. "Kenpaa enggak boleh, Om? Aku pengen minum kopi dingin." Eka sedikit memaksa. "Jangan kebanyakan minum es, Dek. Nanti radang tenggorokan," ungkap Dika mengingatkan. Namun, bukan Eka kalau langsung menyerah."Dikit aja, Om. Ya ... Suamiku yang ganteng, manis dan baik hati," bujuknya disertai rayuan maut."Tidak boleh, tetap tidak boleh! Meskipun sedikit atau banyak, tetap saja tidak boleh!" ucap Dika dengan tegas. Sekali dia mengambil keputusan, tidak bisa diganggu gugat. Saat ini, apa pun yang Eka konsumsi harus diperhatikan dengan baik. Tidak bisa asal pilih. "Ah, Om mah jahat. Padahal cuma
Hari berikutnya. Pagi yang cerah pun telah menyapa. Dika dan Eka bersiap untuk pergi jalan-jalan, menikmati hari yang penuh bahagia itu. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, keduanya harus berhenti di halaman depan.Di sana, sosok pemuda dua puluh lima tahun, berdiri gagah di samping motor sportnya. Baik Dika maupun Eka sudah tidak asing lagi dengan pemuda tersebut. Dialah yang kemarin membonceng Eka hingga ke rumah ini."Mau apa lagi, kamu datang ke sini?" Belum apa-apa, Dika sudah tersulut emosi. Dia mempercepat langkahnya, menghampiri pemuda itu. Mengikis jarak di antara keduanya.Eka tampak panik, lantaran tidak biasanya sang suami, bersikap demikian kepada orang baru."Om, tunggu dulu!" Eka mencoba menahannya. Namun, Dika sudah lebih dulu menarik kerah baju Dimas. "Ngapain lagi kamu datang ke sini, ah? Apa tidak cukup, kamu memukul wajah saya?" Dika berdengus kesal. Dia meninggikan suara dan menatap tajam lawan bicaranya.Alih-alih merasa takut, Dimas malah tersenyum kecil, seo
Di tempat terpisah. Masih di hari yang sama. Dimas pun sudah sampai di kosannya, setelah mengantar Eka pulang ke rumah.Dimas merebahkan tubuhnya di atas kasur lantai yang ukurannya muat untuk satu orang saja.Dia menatap langit-langit kamar kosannya yang sederhana. Hanya lampu LED menjadi penerang di ruangan ini.Dalam diamnya, Dimas kembali membayangkan, momen saat Eka memeluk pinggangnya sangat erat. Meskipun sudah berlalu beberapa jam. Akan tetapi, kesan dari pelukan itu, masih sangat terasa hingga detik ini.Selama perjalanan, Eka memang tidak mengatakan sepatah kata pun. Namun, Dimas bisa merasakan, kalau Eka saat itu sangat ketakutan. "Kira-kira, kenapa ya, dia tadi?" Dimas pun bergumam dan bertanya-tanya. Masalah apa yang sedang Eka hadapi, sehingga membuatnya sangat ketakutan seperti itu? Mungkinkah semua ini menyangkut pria yang dikatakannya sebagai 'Penculik' itu?Dimas menerka dan menebak kemungkinan yang ada. Namun, dia tidak sepenuhnya yakin dengan dugaan yang ada di d