Mahardika didesak kakeknya untuk menikah dengan Eka Maheswari. Keluarga Wijaya dan Saputra, sudah sejak lama menjalin hubungan dekat. Namun, Mahardika dan Eka terpaut usia yang cukup jauh, kira-kira sembilan tahun. Pada akhirnya membuat Mahardika harus sabar menghadapi sikap Eka yang kekanak-kanakan. Momen apa saja yang terjadi di dalam rumah tangga Mahardika dan Eka?
View More"Mau pergi kemana kamu?" tanya pria paruh baya, yang seluruh rambutnya sudah memutih itu, pada seorang pemuda tampan tiga puluh tahun yang rapi dengan setelan jas hitam, dasi kupu-kupu dan celana panjang warna senada.
Pemuda bernama Mahardika itu, menghentikan langkahnya sembari menghela napas panjang, "ya, apa lagi kakek, selain ke kantor. Aku harus menghadiri rapat penting dengan beberapa petinggi perusahaan. Rapatnya akan dimulai satu jam lagi."Mahardika melihat arloji yang melingkar di lengan kirinya. Keningnya sedikit mengerut karena jalanan pasti akan sangat ramai di jam-jam segini."Duduklah! Ada hal penting yang ingin kakek bicarakan denganmu," pinta pria tujuh puluh lima tahun itu, mengiba.Mahardika mengangguk pelan. Padahal ia ingin menolak. Namun, diurungkannya karena yang meminta adalah sang kakek."Sebenarnya, apa yang ingin kakek bicarakan denganku?" Kini giliran Mahardika yang bertanya."Batalkan, rapat itu!" tegas pria paruh baya itu, tanpa berkedip."Dibatalkan, maksud kakek?" Mahardika menaikkan sebelah alisnya setengah terkejut."Iya, setiap hari kau selalu saja sibuk dengan pekerjaan. Tidak pernah ada waktu untuk keluarga dan memikirkan masa depanmu. Apa kau tidak ingin berkeluarga?"Pria paruh bayar bernama lengkap Bambang Wijaya itu, bertanya dengan nada serius. Menyandarkan kepalanya ke belakang sambil melipat kedua tangan di dada.Mahardika kembali menghela napas panjang, "aku belum siap berkeluarga. Aku masih ingin mengembangkan usaha keluarga kita." Kemudian dia beranjak bangun.Mahardika sudah bisa menebak arah pembicaraan ini dan tidak ingin melanjutkannya. Dia mengancingi jasnya, hendak pergi."Duduk kamu!" titah Bambang, tegas."Sudahlah, Kakek. Jangan lanjutkan obrolan ini. Mahardika sedang tidak ingin membahas apa pun mengenai jodoh." Helaan napasnya sangat panjang dan berat.Seketika senyuman memudar dari wajah tampan nan rupawan itu. Suasan hatinya berubah tidak enak sekarang."Tapi, kamu harus menikah, Nak. Usiamu sudah tiga puluh tahun. Sampai kapan kamu akan sendiri, sedangkan ayah dan bundamu sudah ingin menggendong cucu. Kekek pun, ingin melihatmu ada yang mengurus," kata Bambang Wijaya sedikit bergetar suaranya.Lagi-lagi, Mahardika membuang napas berat. "Bukankah kakek pernah mengatakan, kalau jodoh akan datang dengan sendirinya. Lantas, mengapa Dika harus mencari, jikalau dia bisa datang sendiri?"Bambang Wijaya menepuk keningnya. Tidak habis pikir dengan pola pikir cucu kesayangannya itu. Mahardika memang pandai di dunia bisnis, terbilang sangat sukses, tapi caranya mengartikan ucapan orang tua, sangatlah payah."Terserah padamu saja, tapi kakek ingin hari ini kau membatalkan seluruh agendamu!" tegas Bambang Wijaya tanpa bisa diganggu gugat."Alasannya?" Mahardika mempertanyakan keinginan kakeknya."Karena kita semua akan pergi melamar.""Ngelamar? Kakek ingin kita ngelamar di perusahaan mana lagi? Kita sudah memiliki banyak perusahaan di beberapa kota. Perkebunan kelapa sawit dan tambang batubara," jawab Mahardika polos.Kembali Bambang Wijaya menepuk keningnya sambil geleng-geleng kepala. Dia mengikis jarak. Kini posisinya dengan Mahardika kurang dari atau meter. Saking gemasnya dengan kepolosan sang cucu, Bambang Wijaya pun menyentil kening Mahardika."Aduh kakek, sakit," keluh Mahardika spontan sambil mengusap keningnya."Melamar, bukan ngelamar. Maksudnya melamar seorang gadis." Pria paruh baya itu merapatkan gigi-giginya karena gemas plus kesal dalam satu waktu.Mahardika diam sejenak. Kalimat terakhir Kakeknya perlu ditelaah lebih lama."Kamu tuh, sudah dewasa, Dika. Sudah seharusnya kamu berumah tangga. Dulu, ayah kamu menikah di usia 25 tahun, sedangkan kamu tiga puluh tahun, belum memiliki pendamping. Ayah dan Bunda sudah sama-sama sepakat untuk menikahkan kamu dengan Eka ...""Eka, anaknya Om Teguh Saputra?" sahut Mahardika cepat, mengarahkan pandangannya pada sosok wanita cantik, yang datang dari arah dapur."Bunda mau, kamu bertemu Eka hari ini karena pernikahan kalian sudah ditetapkan," ucap wanita yang akrab disapa bunda tersebut.Mahardika tidak mengiyakan, tapi tidak juga menolak. Diam seperti patung batu untuk beberapa saat.***Balaraja, Tangerang Banten.Kediaman keluarga Saputra. Keluarga sederhana yang memiliki rumah makan cukup terkenal di kawasan Balaraja.Rumah dengan lantai dua dan memiliki halaman luas yang ditumbuhi banyak pepohonan dan tanaman hias itu, membuat siapa pun yang melihatnya merasa tenang."Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh," ucap Bambang Wijaya dan keluarga saat berdiri di depan pintu."Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," balas Teguh Saputra, berdiri tepat di bibir pintu."Kalian masuk saja duluan. Aku harus terima telpon dulu. Tidak lama. Lima menit saja," kata Mahardika, di sela-sela sambutan hangat.Dia tidak bisa mengabaikan sambungan telepon satu ini karena menyangkut proyek besar yang sedang dikerjakannya.Bambang Wijaya geleng-geleng kepala. Selalu saja seperti itu. Sambungan telpon datang diwaktu yang tidak tepat.Setelah itu, Sang tuan rumah segera membersihkan tamu spesial itu untuk masuk."Ayo, silahkan duduk. Mohon maaf keadaannya seperti ini," ucap Teguh, merendah.Bambang Wijaya, Frans dan Annata duduk di sofa yang ada di sana. Tak henti-henti senyuman terukir di wajah masing-masing. Kedatangan mereka, semata-mata untuk melamar anak bungsu dari keluarga Saputra.Sementara itu, Mahardika yang belum masuk ruangan lantaran harus menerima sambungan telpon terlebih dahulu, tampak menyudahi pembicaraannya dengan seseorang yang jauh di sana.Saat berbalik badan, Mahardika melihat ada sosok gadis mungil, memakai kaos lengan panjang dan celana jins itu, sedang berjalan mengendap-endap di antara pohon mangga dan pohon jambu. Gerak geriknya yang mencurigakan sungguh memantik rasa penasaran Mahardika.Kening Mahardika mengerut, lantaran dia mengenal gadis tersebut. Wajahnya tidak asing, meskipun sudah lama tidak bertemu."Mau pergi kemana dia? Mengapa gayanya seperti musang yang hendak menerkam ayam warga?" gumam Mahardika terheran-heran.Demi menjawab rasa penasarannya, Mahardika berlari guna mengikuti gadis tersebut.Tepat saat di depan gerbang, gadis itu menghentikan langkahnya. "Di mana kuncinya." Dia merogoh-rogoh tas selempang warna biru itu."Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" ucap Mahardika mengejutkan.Gadis mungil itu, terperanjat. Bahunya sampai bergerak sedikit. Dia berbalik badan. Aksinya ternyata sudah diketahui seseorang. Padahal dia sudah memastikan, keadaan sepi. Hari ini memang cukup sial baginya."Apa yang Om Dika lakuin di sini?" tanya gadis itu, polos."Ah, Om? Siapa yang kamu panggil Om?" Mahardika mengerutkan keningnya."Maafin, aku ya, Ayu. Aku minta Eka untuk ajak kamu ke sini," ungkap Ar seraya menghela napas berat.Ar mengajak Ayu untuk berjalan-jalan santai, menelusuri keramaian di pameran. Hembusan angin malam dan kencangnya musik di sana, menambah kesan romantis bagi dua insan yang sedang mabuk asmara. "Iya, Aa. Enggak apa-apa. Ayu paham kok, apa yang Aa rasakan. Soalnya Ayu pun, merasakan hal yang sama, yang mungkin Aa rasakan sekarang."Seketika itu juga, Ar menghentikan langkahnya. Dia berdiri menatap calon istrinya itu. Keduanya berdiri telah di depan komedi putar. "Kamu mau tahu enggak, Yu. Sebenarnya apa yang aku rasakan sekarang?"Gadis cantik itu berpikir keras. Beberapa detik berselang, dia menggeleng cepat. "Tidak tahu! Ayu kan, bukan cenayang yang bisa membaca isi pikiran Aa," jawabnya sedikit bercanda.Ar pun merasa gemas dibuatnya. Terasa ketegangan itu, seakan berangsur hilang. Kendati demikian, Ar masih merasa gugup. Memikirkan hari H, yang tinggal menghitung jari, membuatnya
TUJUH HARI MENUJU HARI H.Eka sekeluarga sudah berada di Bandung, sebab resepsi pernikahan akan diadakan di Bandung, di tempat mempelai wanita.Persiapan sudah hampir selesai, surat undangan pun telah disebarkan. Acaranya akan digelar di rumah Ayu. "Ayolah, Dek. Bantu kakak!" mohon Ar dengan sungguh-sungguh sambil menarik-narik tangan Eka supaya mau membantunya."Kenapa harus aku yang datang ke rumahnya Teh Ayu? Kenapa enggak Kak Ar aja yang ke sana? Kak Ar yang punya urusan, bukan aku!" Eka menolaknya tegas seraya menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Arkana."Ayolah, Dek! Kali ini aja bantu aku, Dek. Soalnya aku enggak berani datang ke rumahnya Ayu," ungkap Ar ragu-ragu."Enggak berani kenapa, Kak?" Eka melotot dan berkacak pinggang. Dia menatap heran, bisa-bisanya Kak Ar tidak berani datang ke rumah Ayu, padahal sebentar lagi ia akan menjadi suaminya Ayu. Ar diam, kemudian membuang napas panjang. "Kalau aku yang ke sana, pastinya enggak dibolehin buat ketemu Ayu. Aku ma
"Dim, gue tau. Lu bukan cowok brengsek kayak di luaran sana. Lu cowok setia. Sebenarnya lu bukannya enggak tertarik sama cewek, tapi lu takut ... Apa yang pernah lu alami dulu sama Lia, terulang lagi."Ar beranjak bangun dari tempat duduknya, sementara Dimas langsung mendongak, ketika nama 'Lia' lolos dari mulut Ar begitu saja.Dimas merasakan gendang telinganya ingin pecah, saat Ar mengulik kembali masa lalunya."Lu cinta banget kan sama si Lia, sayangnya tuh cewek malah selingkuh. Akhirnya melakukan hubungan terlarang dan si Lia hamil."Dimas menahan diri untuk tidak meledak-ledak. Namun, dia mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Ada gejolak hebat, mengaduk-aduk di rongga dadanya.Kisah masa lalu, yang tidak akan pernah Dimas lupakan sampai kapan pun juga. Sekaligus menjadi, titik awal dirinya enggan mendekati wanita."Lia tuh cewek enggak bener, Dim. Buktinya, setelah ketahuan selingkuh, enggak lama kemudian dia hamil. Apa itu disebut cewek baik-baik, Dim?""Tuhan, lebih sayang sa
"Om, aku pengen minum kopi dingin," pinta Eka memelas, seraya melepaskan pelukannya dan sorot mata berbinar-binar. Dika mengerutkan keningnya. "Kopi dingin?" Kurang paham dengan apa yang diinginkan Eka. "Iya, Om. Kayaknya seger gitu, pagi-pagi ngopi dingin," jawabnya enteng seraya cengengesan seperti bocah yang ingin dibelikan es krim."Tidak boleh!" tegas Dika, setelah tahu niat sang istri. "Kenpaa enggak boleh, Om? Aku pengen minum kopi dingin." Eka sedikit memaksa. "Jangan kebanyakan minum es, Dek. Nanti radang tenggorokan," ungkap Dika mengingatkan. Namun, bukan Eka kalau langsung menyerah."Dikit aja, Om. Ya ... Suamiku yang ganteng, manis dan baik hati," bujuknya disertai rayuan maut."Tidak boleh, tetap tidak boleh! Meskipun sedikit atau banyak, tetap saja tidak boleh!" ucap Dika dengan tegas. Sekali dia mengambil keputusan, tidak bisa diganggu gugat. Saat ini, apa pun yang Eka konsumsi harus diperhatikan dengan baik. Tidak bisa asal pilih. "Ah, Om mah jahat. Padahal cuma
Hari berikutnya. Pagi yang cerah pun telah menyapa. Dika dan Eka bersiap untuk pergi jalan-jalan, menikmati hari yang penuh bahagia itu. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, keduanya harus berhenti di halaman depan.Di sana, sosok pemuda dua puluh lima tahun, berdiri gagah di samping motor sportnya. Baik Dika maupun Eka sudah tidak asing lagi dengan pemuda tersebut. Dialah yang kemarin membonceng Eka hingga ke rumah ini."Mau apa lagi, kamu datang ke sini?" Belum apa-apa, Dika sudah tersulut emosi. Dia mempercepat langkahnya, menghampiri pemuda itu. Mengikis jarak di antara keduanya.Eka tampak panik, lantaran tidak biasanya sang suami, bersikap demikian kepada orang baru."Om, tunggu dulu!" Eka mencoba menahannya. Namun, Dika sudah lebih dulu menarik kerah baju Dimas. "Ngapain lagi kamu datang ke sini, ah? Apa tidak cukup, kamu memukul wajah saya?" Dika berdengus kesal. Dia meninggikan suara dan menatap tajam lawan bicaranya.Alih-alih merasa takut, Dimas malah tersenyum kecil, seo
Di tempat terpisah. Masih di hari yang sama. Dimas pun sudah sampai di kosannya, setelah mengantar Eka pulang ke rumah.Dimas merebahkan tubuhnya di atas kasur lantai yang ukurannya muat untuk satu orang saja.Dia menatap langit-langit kamar kosannya yang sederhana. Hanya lampu LED menjadi penerang di ruangan ini.Dalam diamnya, Dimas kembali membayangkan, momen saat Eka memeluk pinggangnya sangat erat. Meskipun sudah berlalu beberapa jam. Akan tetapi, kesan dari pelukan itu, masih sangat terasa hingga detik ini.Selama perjalanan, Eka memang tidak mengatakan sepatah kata pun. Namun, Dimas bisa merasakan, kalau Eka saat itu sangat ketakutan. "Kira-kira, kenapa ya, dia tadi?" Dimas pun bergumam dan bertanya-tanya. Masalah apa yang sedang Eka hadapi, sehingga membuatnya sangat ketakutan seperti itu? Mungkinkah semua ini menyangkut pria yang dikatakannya sebagai 'Penculik' itu?Dimas menerka dan menebak kemungkinan yang ada. Namun, dia tidak sepenuhnya yakin dengan dugaan yang ada di d
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments