Eka melipat kedua tangannya di dada, wajahnya sedikit ditekuk. Mahardika melirik sang istri yang seperti sedang melafalkan mantra.
"Ah, sekarang aku tahu!" Eka langsung berdiri, tindakannya yang mendadak membuat Mahardika terkejut."Tahu apa?" tanya Dika sedikit meninggikan suara. Saking terkejutnya, dia mengelus dada. Spontan, jantungnya seperti ingin berpindah tempat.Istrinya memang kadang-kadang ya."Iya, aku tahu, alasan Bunda tidak marah." Eka memandang laki-laki yang kini telah sah menjadi suaminya itu."Mungkin dia berpikir untuk tidak memarahiku karena kita baru saja menikah. Aku yakin, beberapa hari kemudian, Bunda akan marah dan jengkel kalau aku tidak bangun pagi."Eka pun memulainya lagi. Mahardika geleng-geleng kepala untuk kesekian kalinya. Kesabarannya sedang diuji sekarang. Dia tidak habis pikir kenapa istrinya masih saja membahas hal sepele dan tidak penting? Sudah begitu, menuduh yang bukan-bukan."Bagaimana ini, Om. Aku sangat malu bertemu Bunda nanti," celotehnya lagi.Mahardika yang sudah sangat geram pun, tiba-tiba menarik tangan Eka. Membawanya masuk dalam pelukan. Eka melebarkan matanya seperti ingin melompat keluar.Di waktu bersamaan, Mahardika menempelkan bibirnya dengan bibir ranum Eka.Dia mencium Eka, supaya sang istri tidak lagi mengatakan hal omong kosong yang membuat gendang telinganya seolah ingin pecah.Ini adalah ciuman pertama Mahardika, kepada wanita selain ibunya. Begitu juga dengan Eka. Itu pun biasanya Eka mencium pipi ayahnya dan bukan bibir.Eka yang berhasil mendapatkan kesadarannya, lantas mendorong bidang dada Mahardika, sehingga momen penyatuan itu berakhir.Keduanya sama-sama canggung. Namun, Mahardika tidak menyesali perbuatannya. Meskipun hanya berlangsung sebentar, tetap menyisakan kesan luar biasa.Aliran listrik bertegangan tinggi, seolah menyambar tubuhnya ketika melakukan ciuman tadi.Mahardika ingin melakukannya lagi, tapi sayang Eka sudah lebih dulu pergi. Masuk ke kamar mandi dan menguncinya.Mahardika bisa mendengar suara teriakan sang istri di kamar mandi. Pasti istri kecilnya itu, sedang merasa malu."Sentuhan yang sangat hangat. Lain kali kita lakukan lagi," gumamnya nakal.***Beberapa jam telah berlalu. Selama itu juga, Eka selalu menjauh dari Mahardika. Dia sangat takut, suaminya menciumnya lagi seperti tadi pagi.Walaupun sebentar, tapi bekasnya masih terasa sampai sekarang.Pukul 13:00 WIB, setelah makan siang. Mereka pun meninggal hotel.Mahardika dan Eka berada dalam satu mobil yang sama. Duduk berdampingan di kursi belakang.Mahardika memiliki supir pribadi yang akan mengantarnya kemana pun ia mau.Eka duduk sedikit menjauh dari Mahardika. Sengaja karena masih terbayang-bayang dengan insiden pagi ini.Eka terus saja melihat keluar jendela. Sedangkan Mahardika diam tak memberikan komentar. Padahal dalam hatinya, ia sedang merasa gemas.Sesekali Mahardika melirik Eka, mengarahkan pandangannya pada bibir ranum sang istri."Apaa si, Om, lihat-lihat kayak gitu?" tanya Eka ketus.Dia memergoki Mahardika sedang memperhatikannya penuh makna."Memangnya kenapa kalau saya lihatin kamu? Apakah salah kalau suami memandangi istrinya terus menerus? Apakah tindakan saya adalah sesuatu yang dosa?" Mahardika balik menjatuhkan pertanyaan.Eka tidak menjawab dan malah membuang pandangannya lagi. Sangat malas jika harus berdebat.Mahardika tertawa kecil. Kesabarannya sungguh sedang diuji coba. Berbicara dengan Eka, sama saja seperti mengajak ngobrol bocah tiga tahun. Bikin tegang yang bawah. Eh, maksudnya bikin naik darah.***Setelah menempuh perjalanan lebih dari satu setengah jam, mobil pun memasuki perkarangan rumah berlantai dua."Rumah siapa ini?" tanya Eka penuh takjub."Ini rumah kita, Dek. Rumah ini yang menjadi maskawin di pernikahan kita," jawab Mahardika disertai senyuman tipis."Yuk, kita keluar!" ajaknya lembut.Eka mengangguk. Selanjutnya dia keluar dari mobil. Mahardika berjalan menghampiri sang istri."Masuk yuk!" ajaknya kembali. Kali ini ingin menggandeng tangan Eka."Sebentar, Om. Kok aku belum pernah lihat rumah ini ya? Kapan Om Dika membelinya?"Dika pun geleng-geleng kepala untuk yang kesekian kalinya di hari ini. Masih sempat-sempatnya Eka bertanya, untuk hal yang menurutnya sangat sepele."Saya membeli rumah ini sudah lama sekali. Kamunya saja yang tidak pernah mau ikut jika diajak untuk melihatnya."Mendapat jawaban yang seperti menyalahkan, Eka pun berkacak pinggang sambil menatap lurus sang suami yang tinggi badannya 179 cm itu."Ih, kapan Om mengajakku untuk melihat-lihat rumah? Seingatku tidak pernah. Kita saja jarang bertemu. Dalam satu tahun, kita tuh cuma bertemu dua atau tiga kali.""Sungguh? Sepertinya kamu salah menghitungnya. Setiap satu Minggu sekali, saya bertemu dengan ayahmu di kebun stroberi yang ada di Bandung. Terlihat setiap bulan, saya bisa bertemu ayahmu lima sampai enam kali," beber Mahardika cukup panjang dan gamblang."Ih, mana boleh begitu. Tidak bisa dihitung lah. Om bertemu dengan ayah, bukan denganku. Ya berbeda lah, Om." Eka berkilah.Dia paling sulit mengalah. Setiap kali berdebat, pokoknya dia harus menang. Begitulah Eka dan sekarang, Mahardika harus mempertebal kesabarannya."Ya sudah. Saya minta maaf kalau begitu. Saya salah karena tidak pernah mengajak kamu jalan-jalan. Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga lupa dengan keluarga. Apa kamu puas sekarang?"Eka pun terkekeh, cengengesan seperti tidak merasa bersalah sama sekali."Iya, aku maafin Om," ucapannya enteng.Benar-benar tidak memiliki niatan untuk menghormati suami. Untungnya Mahardika memiliki kesabaran seluas samudra, sehingga dia masih bisa tersenyum menghadapi Eka, yang tidak mau mengalah."Ya sudah. Ayo, kita masuk!" ajaknya lagi dan kali ini Eka mengangguk."Pak. Tolong bawakan koper-kopernya ya," pinta Mahardika, pada Pak Rudi, selaku supir pribadinya.Pak Rudi mengangguk, lalu dia mengangkat koper itu satu persatu, dikarenakan ukuran kopernya besar-besar."Assalamualaikum ..." Mahardika pun mengucap salam. Hal sama dilakukan Eka."Waalaikumsalam." Seorang wanita membalas salam. Ia datang dengan langkah terburu-buru sambil mengelap tangannya yang basah."Selamat datang, Pak Dika. Apakah dia, Nyonya Eka?" tanya wanita itu memastikan.Mahardika mengangguk sambil merangkul bahu Eka. Dalam kesempatan kali ini, Eka tidak memberontak. Mahardika merasa senang."Iya, dia adalah istri saya. Mulai hari ini, dia akan menjadi Nyonya rumah ini," ucap Mahardika lantang.Eka yang merasa tidak nyaman pun, lantas menarik tangan Mahardika untuk lepas dari bahunya.Alih-alih kesal, Mahardika malah menunjukkan senyuman lebar. Dia selalu tertawa dengan tingkah gengsi istrinya."Selamat datang, Nyonya Muda. Perkenalkan nama saya Endang. Nyonya Muda bisa memanggil saya Bi Endang."Dia memperkenalkan namanya di hadapan Eka. Sikapnya sangat hormat dan patuh."Baik, Bi. Terima kasih sambutannya." Eka tersenyum canggung."Bi, apa kamarnya sudus siap?" tanya Mahardika."Sudah Tuan. Seperti yang Tuan perintahkan. Siapkan dua kamar," balas Bi Endang ramah."Dua kamar? Untuk apa dua kamar?" Eka ngerutkan keningnya."Ya, untuk kita lah, Dek. Memangnya untuk siapa lagi? Bukankah kamu tidak mau tidur satu kamar dengan saya? Itulah mengapa saya minta Bi Endang untuk menyiapkan dua kamar, supaya kamu merasa nyaman."Mahardika tersenyum, tapi tidak dengan Eka."Ya, untuk kamu lah, Dek. Masa iya untuk selingkuhan saya? Kamu kira, saya akan sekejam itu ke kamu?" Mahardika memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. Ada setitik senyuman di wajah tampan nan menawan itu. "Kamu sendiri yang bilang, kalau kamu tidak mau satu ranjang dengan saya. Jadi, saya minta Bi Endang, untuk menyiapkan satu kamar lagi untuk kamu," sambungnya dan mengakhiri kalimatnya.Eka diam. Ada keheningan di antara keduanya. Isi kepala yang semula seperti rak buku itu, kini kosong melompong. "Kenapa diam, Dek? Apa ada yang salah dengan keputusan saya?"Pertanyaan Dika, sedikit menyadarkan Eka dari pikirannya sendiri. "Baiklah, kalau Om ingin yang seperti ini. Bi Endang, antarkan saya ke kamar."Setelah berkata demikian, Eka langsung melenggang pergi. Bi Endang mengangguk pelan, lalu mengekor di belakang. Sementara Mahardika sedang geleng-geleng kepala, ketika melihat istrinya seperti memiliki dua kepribadian ganda. Semula diam, seperti orang ketakutan. Namun, han
Sore hari sebelum Maghrib. Eka keluar dari kamarnya setelah beristirahat sejak siang. Sebenarnya tidak ada hal yang Eka lakukan saat di kamar, selain bermain ponsel. Sesekali ia keluar kamar dan bertanya pada Bi Endang soal Mahardika. Sang suami sedang sibuk di ruangannya. Eka pun tidak ingin mengganggu. Terlebih lagi, dia dan Mahardika tidak seakrab itu, meskipun sudah sah menjadi suami istri. Eka menuruni anak-anak tangga. Hidungnya kembang kempis, mencium aroma yang sangat harum dan menggugah selera makannya. Eka membayangkan saat menyantap makanan ini dengan nasi hangat, tempe goreng dan lalapan. Cacing-cacing dalam perutnya pun langsung berdemo. Minta diberi makan secepatnya. "Aromanya enak banget. Ini pasti, Bi Endang yang masak," tebak Eka sambil mempercepat langkahnya karena penasaran, siapa yang sedang memasak.Tepat di ujung anak tangga, Eka pun melihat Bi Endang yang sedang berjalan dari arah luar sambil menenteng tas belanjaan di tangan kiri dan kanan. "Bi Endang," pa
"Om, besok aku mau ke rumah ayah," kata Eka sambil mengelap bibirnya dengan tipis, setelah menyelesaikan makan malamnya. "Iya, Dek, tapi maaf saya tidak bisa anter kamu. Nanti, kamu diantar supir aja ya," balas Dika sembari meraih buah apel yang ada di sana. "Soalnya saya harus menghadiri rapat besok," sambungnya dan mengupas kulit apel itu. "Enggak mau! Om harus anter aku pokoknya. Titik, enggak pake koma!" tegas Eka dengan tatapan mengarah tajam pada sang suami."Lagian kenapa si, Om udah kerja aja? Kita kan baru selesai nikah. Ngapain harus sibuk sama pekerjaan? Masih ada waktu nanti-nanti untuk pekerjaan," terusnya mengomel.Dika mengerjapkan matanya pelan dan mengulas senyuman tipis. "Baiklah, Tuan Putri. Saya akan minta Robi untuk mewakilkan saya dalam rapat tersebut. Jadi, saya bisa mengantarkan kamu ke rumah Ayah. Apa kamu puas, Dek?""Terima kasih, suamiku yang ganteng," ucap Eka sambil mengambil buah apel yang sudah dikupas kulitnya itu dari tangan Dika. Tanpa merasa bers
Adzan subuh pun berkumandang. Eka perlahan-lahan membuka matanya, bersamaan dengan suara lembut memanggilnya."Bangun, Dek. Sudah waktunya sholat subuh."Suara lembut itu terus mendorong Eka untuk bangun dari alam mimpi. Lambat laun kesadarannya mulai terkumpul."Heum, iya, Om," gumam Eka sembari mengucek matanya."Ya udah, saya wudhu duluan ya, nanti kamu nyusul," kata sang pemilik suara lembut, yang tidak lain adalah sang suami.Eka mengangguk. Sepasang mata indah itu, masih terbuka sebagian saja. Namun, bayangan ketampanan sang suami sudah terlihat. Meskipun belum sepenuhnya.Lima menit kemudian, Eka pun keluar dari kamar mandi. Wajahnya sudah terlihat sangat segar, setelah membasuhnya dengan air."Om Dika." Eka menghampiri Dika yang duduk di atas sajadahnya."Iya, Dek?" "Maaf, Om. Aku enggak sholat subuh ... Soalnya itu ..." Eka menjeda kalimatnya karena ragu untuk dilanjutkan.Dika mengerjapkan matanya, lalu tersenyum lembut. "Ya sudah, kamu istirahat aja. Kemarin saya sudah min
Pukul 09:05 WIB."Jangan ada yang ketinggalan, Dek." Dika memperingatkan dan Eka langsung mengangguk yakin."Tidak ada yang kubawa selain hp. Semua barang-barang kan sudah di mobil. Om Dika sendiri yang mengurusnya tadi."Dika membuang napas lembut. Memang benar ia telah memerintahkan supirnya untuk membawa beberapa barang untuk bertemu ayah mertuanya nanti.Setelah menikah, ini kali pertama keduanya pulang ke rumah orang tua. Dika sangat menantikan dan Eka sangat merindukan ayahnya."Assalamualaikum ..."Langkah sepasang pengantin baru itu, terhenti di bibir pintu, saat seorang wanita cantik mengucap salam."Waalaikumsalam," jawab keduanya serentak."Mas Dika." Tanpa merasa malu, wanita itu langsung memeluk Mahardika sangat erat. "Aku sangat merindukanmu, Mas," ucapnya mesra sambil memasang raut wajah memelas.Dilihat dari penampilannya, ia tampak sopan, tapi itu saat mengucap salam saja. Selepas itu, ia seperti wanita penghibur yang tidak memiliki urat malu. Dika mematung beberapa
"Kita enggak usah ke rumah ayah, ya. Aku takut kamu ...""Enggak mau!" Belum sempat Dika menuntaskan kalimatnya, Eka sudah lebih dulu menyambar sambil melepaskan pelukannya. Seperti biasa, dia menggembungkan pipinya, menunjukkan ketidaksukaannya tanpa bisa ditutupi. "Atas dasar apa kita tidak jadi ke rumah ayah? Kita sudah niat untuk pergi ke sana, lantas kenapa harus dibatalkan?" Raut wajahnya kembali galak seperti raja hutan yang hendak menerkam seekor kijang. Dika membuang napas panjang. Istrinya benar-benar memiliki kepribadian ganda. Setiap waktunya bisa berubah tanpa bisa diterka. "Saya takut mood kamu tidak bagus akibat kejadian tadi, ditambah kamu sedang datang bulan ...""Apa hubungannya datang bulan dengan bertemu ayah?"Skak! Pertanyaan Eka membuat Mahardika diam dan memutar otaknya cepat. Tatapan tajam sang istri, membuat fokusnya terpecah belah. "Saya hanya takut, kamu bakalan meluapkan semua emosi kepada ayah, sedangkan ayah sama sekali tidak tahu soal masalah Nadi
Malam harinya. Eka dan Dika pun meninggalkan kediaman Teguh Saputra. Sebenarnya, Dika mengusulkan untuk menginap di sana. Namun, Eka tidak mau. Dia ingin pulang saja. Sebagai suami. Ya, Dika menuruti permintaan tersebut. "Siang tadi, siapa yang menelpon?" tanya Eka, di tengah-tengah keheningan malam, jalanan Kota Tangerang. "Heum, Robi yang menelpon. Kenapa?"Eka menggeleng sembari menyandarkan kepalanya di bahu sang suami. "Aku ngantuk, Om.""Iya, tidurlah, Dek." Dika mengelus lembut pipi Eka. Namun, fokusnya tepat pada jalan. Perlahan-lahan Eka pun memejamkan matanya. Entah ia benar-benar terlelap atau hanya sekedar ingin menikmati kenyamanan yang entah kapan terakhir kali ia rasakan?Dika pun menurunkan kecepatan mobilnya. Tidak mau, mengusik istirahat Eka, yang sepertinya sangat kelelahan itu. Perjalanan yang seharusnya ditempuh satu jam itu, menjadi satu setengah jam. Sebelum memasuki pekarangan rumah, Dika lebih dulu mengirim pesan singkat pada penjaga rumahnya, untuk membu
"Ada apa, Dek?" Dika buru-buru menghampiri Eka yang berteriak tadi. Langkahnya terhenti ketika melihat Eka yang langsung menatapnya penuh kebingungan. "Kenapa enggak ada darah?" Mimik wajahnya begitu datar. "Darah apa?" tanya balik Mahardika, yang sebenernya tidak mengerti arti dari darah yang dimaksudkan?"Itu loh ..." Eka mengangkat kepalanya. Ragu untuk menyelesaikan kalimatnya.Apa itu disebutnya? Eka kesulitan merangkai kata-katanya. "Apa, Dek? Kalau ngomong sampai tuntas dong. Saya kan enggak ngerti yang kamu maksud. Darah apa?"Eka menghela napas panjang, "itu loh Om ... Darah perawan ..."Dika berpikir sejenak, mencoba mengartikan maksud kalimat yang terpotong-potong itu. Darah perawan? Bukankah itu judul sebuah film? Heum ... Dika pun mengerutkan keningnya. "Masa iya, Om enggak ngerti? Kan kita semalam habis ..."Pada kalimat berikutnya, barulah Dika paham arah pembicaraan ini. Meskipun Eka belum menuntaskan kalimatnya. "Oh, maksudnya darah setelah melakukan malam perta